Pada 21 April 2014 yang lalu, Mitra Wacana mengadakan talkshow di radio Eltira dengan tema Semangat Kartini untuk Perjuangan Perempuan dengan narasumber Enik Maslahah dan Imelda Zuhaida.
Kita tahu bahwa setiap 21 April merupakan hari yang sangat bersejarah bagi Indonesia terutama kaum perempuan, karena hari itulah lahir Sang Pencerah, Kartini yang semasa hidupnya selalu berusaha menyadarkan masyarakat akan pentingnya memberikan akses pendidikan kepada masyarakat, terutama perempuan. Kartini melihat betapa timpangnya kehidupan pendidikan masa itu, di usia yang relative sangat muda Kartini berhasil mencetus Sekolah Kepandaian Putri, berusaha melawan jeratan budaya dan kebijakan pemerintah yang tak punya sensitivitas pentingnya pendidikan perempuan bagi kehidupan.
Beberapa butir dari cita-cita perempuan yang dinamis, yaitu meningkatkan pendidikan bagi kaum perempuan, baik dari kalangan miskin maupun atas, serta reformasi sistem perkawinan, dalam hal ini menolak poligami yang merendahkan perempuan. Kartini juga seorang feminis yang anti kolonialisme dan anti feodalisme. Diikuti oleh tokoh-tokoh perempuan lainnya, terutama cita-citanya tentang pendidikan bagi kaum perempuan. Di Jawa Barat, Dewi Sartika menyebarkan pandangan yang sama, dan di daerah Minangkabau, Sumatra Barat, Rohana Kudus berbuat serupa pula.
Meskipun demikian Kartini yang menjadi simbol gerakan perempuan Indonesia. Hari lahirnya, 21 April, selalu dirayakan oleh organisasi-organisasi perempuan dewasa ini. Adanya kaum perempuan di sekolah-sekolah, universitas-universitas, atau dll, biasanya disebut-sebut sebagai bukti tentang taraf emansipasi yang telah dicapai oleh perempuan Indonesia; dan diadakan pula lomba untuk mencari siapa di antara para peserta yang berwajah paling mirip dengan Kartini, tentu saja mirip secara lahiriah, bukannya dalam jiwa pemberontakan dan kemerdekaannya. Dalam tahun 1969 Kartini bahkan dinyatakan sebagai “Pahlawan Nasional.”
Ironisnya, perayaan Hari Kartini tidak dibarengi dengan semangat pembebasan yang diagung-agungkan oleh wanita yang lahir di Rembang pada tanggal 21 April 1879 ini. Kita luput dengan semboyan beliau “Kita harus membuat sejarah, kita mesti menentukan masa depan kita yang sesuai dengan keperluan serta kebutuhan kita sebagai kaum wanita dan harus mendapat pendidikan yang cukup seperti halnya kaum laki-laki”, betapa Kartini sangat mendambakan pendidikan yang setara antara laki-laki dan perempuan.
Hari ini, kita masih saja melihat begitu banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan, menjadi korban ketimpangan sosial, tentu Kartini belum bisa bergembira melihat anggaran pemerintah yang masih sangat minim untuk kepentingan kesejahteraan perempuan. Sudah hapal diluar kepala kita, tertuang didalam UUD 1945 bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan. Ini seharusnya menjadi penyulut pemerintah dalam memberikan akses pendidikan yang setara kepada seluruh rakyat Indonesia.
Tetapi memang, kita tidak dapat menyalahkan seluruh kekerasan atau ketimpangan sosial yang terjadi pada perempuan kepada pemerintah. Selain soal aturan, struktur, atau kebijakan pemerintah (visible power) kita juga harus sadar bahwa masih ada dimensi kekuasaan lain yang menjerat perempuan yaitu perspektif tokoh masyarakat, tokoh adat, atau aturan non formal yang tidak memiliki perspektif kesetaraan (hidden power), juga nilai-nilai yang memang telah lama melekat pada diri perempuan yang menyebabkan perempuan merasa wajar jika terjadi kekerasan pada dirinya (invisible power).
Maka, harus ada sinergitas gerakan antara pemerintah, stakeholder, dan perempuan sendiri dalam mewujudkan kesejahteraan perempuan. Agar tidak lagi terjadi ketimpangan yang sangat besar
Menjadi agenda mendesak bersama yaitu mengintegrasikan gender ke dalam seluruh kebijakan dan program baik pemerintah maupun non- pemerintah, yang kedua adalah advokasi, dan yang ketiga adalah menciptakan genarasi- generasi perempuan muda sebagai agen transformasi gender. (imzh)