web analytics
Connect with us

Opini

Waspada Tindak Kekerasan Seksual Pada Anak

Published

on

child abuse

Oleh Arif Sugeng Widodo

Kasus kekerasan seksual akhir-akhir ini diberitakan cukup massif hampir di seluruh media masa baik cetak maupun elektronik. Diawali dengan pemberitaan kasus pelecehan seksual pada murid di sekolah JIS (Jakarta Internasional School) muncul juga kasus di Jogjakarta, Sulawesi dan beberapa wilayah lain. Dari segi peristiwanya sendiri, beberapa kasus sebenarnya kejadiannya sudah berlangsung lama tapi karena tidak terungkap dan belum ada yang melapor kejadian itu terus berulang. Pemberitaan yang massif dari media tersebut membuka kesadaran kita bahwa anak-anak dalam posisi rentan mendapatkan tindakan kekerasan seksual. Yang parahnya pelakunya bukanlah orang asing semata/orang yang tidak dikenal, banyak kasus pelakunya adalah orang-orang terdekat. Dari berbagai kejadian tersebut perlu respon yang serius dari berbagai pihak.

Dari berbagai kasus yang pernah ada, tercatat pelaku kekerasan kebanyakan adalah orang terdekat, dari keluarga sendiri (ayah,saudara,paman), lalu dari tetangga, dari teman,guru, petugas sekolah dll. Menjadi pertanyaan besar tentunya, bagaimana orang-orang yang mestinya melindungi dan mengayomi serta memberikan contoh tega merusak masa depan anak-anak yang mestinya dilindunginya.

Selain banyak pelaku adalah orang terdekat, yang menjadi pertanyaan besar kedua adalah banyaknya kasus yang muncul,tidak saja akhir-akhir ini karena kasus JIS tapi kasus-kasus yang muncul sebelumnya juga tidak kalah heboh. Dalam pemberitaan VOA tercatat 1600 kasus asusila dan kekerasan fisik pada tahun2013, itu yang tercatat di Unit Perlindungan dan Anak Bareskrim Mabes Polri. Jumlah kasus 1600 tentulah bukan jumlah yang sedikit apalagi dalam rentang satu tahun. Kalau di rata-rata tiap bulan 133,3 kasus, berarti setiap hari kurang lebih ada 4,4 kasus pencabulan dan kekerasan yang ada menimpa anak-anak Indonesia. Banyak kasus tersebut tentu tidak hanya diterima sebagai fakta sosial tapi juga perlu usaha untuk menjawab pertanyaan bagaimana kasus itu bisa muncul dan bagaimana mengatasinya.

Kalau kita lihat berbagai kasus pelakunya adalah orang-orang terdekat maka perlu upaya pencegahan yang bersifat massif melalui kampanye dan sosialisasi perlindungan terhadap anak dari berbagai bentuk tindakan kekerasan dan diskriminatif. Memaksimalkan kelompok-kelompok masyarakat untuk kampanye dan sosialisasi pencegahan kekerasan terhadap anak bisa menjadi langkah konkrit yang bisa dilakukan untuk mencegah agar berbagai macam kasus terhadap anak tidak terulang. Kelompok pengajian, pkk, posyandu, pertemuan Rt, tim ronda kampung dll merupakan salah satu wadah yang bisa dimaksimalkan.

Apalagi saat ini sudah ada undang-undang desa, warga desa bisa membuat semacam upaya-upaya pencegahan kekerasan terhadap anak melalui peraturan desa. Upaya-upaya pencegahan kekerasan terhadap anak bisa dilakukan secara sistematis dan terprogram. Partisipasi warga bisa menjadi lebih besar dengan adanya peraturan desa tersebut. Di kota-kota besar usaha-usaha pencegahan juga bisa dilakukan dengan sama-sama memaksimalkan peran organisasi, komunitas, dan instansi-instansi yang ada.

Di sekolah yang selama ini juga banyak ditemui berbagai kasus kekerasan terhadap anak perlu melakukan pengawasan yang dilakukan secara terus menerus. Perlu ada tindakan yang sistematis dan terprogram dari sekolah agar kasus kekerasan terhadap anak tidak kembali terjadi. Dinas pendidikan perlu turun tangan mendukung upaya-upaya pencegahan kekerasan terhadap anak khususnya yang terjadi di sekolahan atau dilakukan oleh pegawai maupun guru di sekolah tersebut.

Upaya pencegahan perlu dilakukan secara massif perlu usaha bersama yang dilakukan tidak hanya secara parsial tapi menyeluruh. Membangun gerakan bersama untuk pencegahan kekerasan seksual adalah kewajiban bersama. Perlu adanya kesadaran bersama bahwa upaya pencegahan ini bisa menyelamatkan jutaan anak-anak Indonesia tidak saja untuk saat ini tapi juga untuk masa depan mereka. Semoga Indonesia terbebas dari predator-predator seks yang merusak masa depan anak-anak kita. Amien..

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Click with Caution: Keeping Indonesian Kids Safe Online

Published

on

Sumber: Freepik
 

Author: Sarah Crockett (Intern from Australia)

The world has become increasingly interconnected, with the use of smartphones and the internet skyrocketing globally. Children and young adults in particular are heavy users of social media and are at the forefront of digital usage. This rise in digital engagement has brought with it a host of opportunities, but also significant risks for young users. As children navigate the online world, they are increasingly exposed to dangers such as cyberbullying, online sexual exploitation, and harmful content. Addressing online safety is thus an urgent priority for all countries. However, Indonesian children in particular have a high rate of access to the internet and all of the potential accompanying issues. 
 
According to the 2023 report by Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), over 80% of children aged 10-17 in Indonesia have access to the internet, with the majority engaging through mobile devices. Popular platforms include TikTok, YouTube, WhatsApp, and Instagram, often used without adequate supervision. While internet use can support learning and creativity, it also poses challenges when digital literacy and parental guidance are lacking. Many parents are less, or totally unfamiliar with some or all of these platforms, making it difficult to warn against same of the dangers of online engagement.
 
Children in Indonesia face a range of online risks. Cyberbullying has become prevalent on social media and there is also a risk of online grooming and sexual exploitation. These issues are exacerbated by the anonymity and accessibility of online communication, the ability of individuals to hide their identity emboldens them in their actions. ECPAT Indonesia noted a significant rise in online child sexual exploitation cases during the COVID-19 pandemic. Exposure to harmful content, including pornography, hate speech, and graphic violence, is also widespread and frequently insufficiently regulated. Girls in particular are more at risk of facing online harassment and discrimination.
 
Indonesia has enacted several laws to address online risks, including Law No. 11/2008 on Electronic Information and Transactions and Law No. 35/2014 on Child Protection. While these frameworks provide a foundation for action, enforcement remains inconsistent, and child-specific digital protections are still evolving. The Ministry of Communication and Information (Kominfo) has launched digital literacy campaigns, but their reach and impact vary. Regional disparities and limited teacher training further constrain effective implementation.
 
To address this growing concern, the Indonesian government is preparing stronger safeguards for children on digital platforms. Inspired by recent steps taken by countries like Australia, Indonesia is considering a law that would restrict access to social media for users under the age of 16. The move follows increasing reports of online abuse and growing concerns among parents, educators, and child protection advocates. There has been a mixed response to this proposed safeguard, with some feeling it is overly restrictive and authoritarian while others feel it is a necessary measure to protect the mental health and safety of Indonesia’s children.
 
Kominfo is also working on interim child protection guidelines. These guidelines aim to regulate digital content, enforce stricter age verification mechanisms, and compel social media companies to take greater responsibility for harmful content on their platforms. While some critics worry about overregulation and the potential to limit young people’s access to information, many experts argue that the safety of children must come first. “Digital literacy alone is not enough,” says a child rights activist based in Jakarta. “We need infrastructure, policy, and corporate accountability to protect our children in cyberspace.”
 
There are various strategies that can be utilised to improve the safety of children online. In the home parents can be empowered with tools and knowledge about how to protect their children’s safety online through workshops. Schools can implement digital literacy programs into the curriculum to help children to understand the potential risks. Reporting systems for instances of online abuse can be created and made readily accessible and child-protection laws can also be enhance and updated to reflect the current online landscape.
 
Online safety for children in Indonesia is a pressing concern requiring coordinated action across sectors. With its growing digital youth population, Indonesia is well-positioned to lead regional efforts in child online protection. Prioritizing inclusive, culturally sensitive, and rights-based strategies will help ensure that all children can explore the digital world safely and confidently.
 
References
• APJII. (2023). Penetrasi & Perilaku Pengguna Internet Indonesia.
• ECPAT Indonesia. (2020). Online Child Sexual Exploitation in Indonesia.
• Kominfo. (2023). Digital Literacy Campaigns.
• Raharjo, B. (2022). Digital Parenting in Indonesia: Challenges and Cultural Contexts.
• UNICEF Indonesia. (2021). Digital Literacy for Children and Adolescents in Indonesia.
• UNICEF Office of Research – Innocenti. (2020). Growing Up in a Connected World.
• UNESCO Jakarta. (2019). Safe Internet Use for Indonesian Youth.

Continue Reading

Trending