Rilis
Yuk Ikuti Talkshow Kejahatan Seksual, Kejahatan Kemanusiaan

Published
7 years agoon
By
Mitra Wacana
Tema : Kejahatan Seksual, Kejahatan Kemanusiaan
Narasumber : Sri Sulandari (SAMIN)
Hari/Tanggal : Selasa, 30 Januari 2018
Jam : 10.00-11.00 WIB
Radio : Radio Smart FM
Host : Veronica
Berita tentang kejahatan seksual di media seolah tiada habisnya. Siapapun sekarang rentan menjadi korban dan pelaku. Arus perkembangan digital yang begitu besar turut menyumbang dampak negatif dengan meningkatnya pelecehan seksual, pencabulan, hingga pemerkosaan. Kabar terbaru tentang kejahatan seksual yang dialami oleh siswa MTs di daerah Bantul oleh gurunya sendiri menambah panjang catatan buruk di dunia pendidikan. Atas dalih suka sama suka, guru tersebut tega menghamili siswanya. Dengan status korban yang masih anak-anak, maka hal ini tidak dibenarkan. Meskipun berjanji akan menikahinya, namun ini bukan solusi tepat sebagai penyelesaian.
Kita semua tahu bahwa sekarang ini sekolah bukan lagi tempat yang aman bagi anak-anak. Guru yang seharusnya menjadi orang tua kedua ternyata tidak bisa menjalankan tugas dan fungsinya. Jika seorang guru yang bertugas mendidik saja berlaku seperti itu, lantas bagaimana dengan masyarakat non guru? Kasus pencabulan oleh guru tersebut meskipun sudah ditangani secara hukum namun meninggalkan permasalahan sosial, psikis dan kesehatan, juga masa depan bagi korbannya. Akankah kasus ini akan selesai tanpa masalah setelah pelaku dihukum dan menikahi korban? Dari kasus ini, hendaknya bisa menjadi pelajaran bagi orang tua agar selalu waspada terhadap keamanan putra-putrinya.
Anak-anak dan remaja membutuhkan tempat tumbuh dan berkembang secara nyaman dan aman. Mereka berhak menikmati keceriaan dalam belajar tanpa ada rasa takut, ancaman, dan kekerasan. Kekerasan seksual yang dilakukan kepada mereka akan memiliki dampak sistemik yang akan mempengaruhi masa depannya. Oleh karena itu, kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan yang harus diputus mata rantainya. (Muna)
You may like
Publikasi
Sinau Sareng Mitra Wacana: Menakar Ulang Mitigasi Bencana yang Inklusif bagi Kelompok Rentan

Published
7 days agoon
15 May 2025By
Mitra Wacana
Jumat, 2 Mei 2025 Mitra Wacana berkolaborasi dengan peserta magang YKPI mengadakan diskusi bersama dalam Program Sinau Sareng. Kegiatan yang berlangsung dalam suasana akrab ini mengangkat tema penting dan sering luput dari pembahasan publik: Mitigasi Bencana terhadap Kelompok Rentan yang Inklusif. Diskusi ini menghadirkan narasumber Alfi Ramadhani, Koordinator Divisi Pendidikan dan Pengorganisasian Mitra Wacana, yang membagikan wawasan mendalam tentang pentingnya pendekatan inklusif dalam penanganan kebencanaan.
Diskusi dimulai dengan penjelasan mendasar mengenai klasifikasi bencana. Kak Alfi, sapaan akrab narasumber, menguraikan tiga jenis bencana utama. Pertama adalah bencana alam seperti banjir, tsunami, tanah longsor, gunung meletus, dan angin topan. Kedua, bencana antropogenik yang bersumber dari ulah manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti kecelakaan industri dan konflik peperangan. Ketiga, bencana kompleks, yang merupakan kombinasi dari faktor alam dan manusia, seperti kelaparan, ketimpangan sosial, dan konflik politik.
Menariknya, data menunjukkan bahwa di Indonesia, bencana paling banyak disebabkan oleh faktor hidrometeorologi seperti banjir dan cuaca ekstrem—menyumbang sekitar 90% dari total kejadian. Sementara itu, bencana geologi dan antropogenik masing-masing hanya menyumbang sekitar 7% dan 3%. Perbandingan dengan kondisi di belahan dunia lain, seperti di Palestina, menunjukkan kompleksitas yang lebih tinggi. Di sana, faktor antropogenik seperti konflik bersenjata, krisis politik, dan kemanusiaan memperparah dampak bencana. Bahkan perubahan iklim ekstrem turut menyumbang pada kelangkaan air bersih, yang berdampak luas pada kesehatan, ketahanan pangan, dan kondisi psikologis masyarakat Gaza.
Dari paparan tersebut, semakin jelas bahwa bencana tidak hanya soal alam yang murka. Cara manusia dan sistem sosial menanggapi bencana juga menentukan siapa yang selamat, siapa yang tertinggal. Dalam konteks ini, penanganan bencana yang inklusif menjadi keharusan moral sekaligus strategis.
Sayangnya, dalam praktiknya, kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, penyandang disabilitas, perempuan, masyarakat miskin, kelompok minoritas, dan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) masih sering diabaikan. Mereka kesulitan dalam mengakses bantuan, proses evakuasi, maupun pemulihan pasca-bencana. Kebutuhan spesifik mereka seringkali tak terlihat dalam sistem yang seragam dan tidak responsif terhadap keragaman.
Lebih jauh, orang-orang dengan identitas gender non-normatif kerap mengalami diskriminasi ganda. Selain terdampak bencana, mereka juga menghadapi stigma sosial, keraguan dari pihak berwenang, bahkan penolakan untuk mengakses hak dasar. Infrastruktur yang tidak ramah disabilitas, informasi yang tidak aksesibel, serta layanan yang bias gender menunjukkan bahwa sistem kita masih jauh dari inklusif.
Permasalahan lain yang tak kalah serius adalah minimnya pelibatan kelompok rentan dalam perencanaan mitigasi bencana. Padahal, mereka memiliki pengalaman hidup dan perspektif yang berharga untuk merancang sistem penanggulangan yang lebih adil dan efektif. Ketimpangan dalam distribusi logistik dan layanan hanya akan terus terjadi jika kelompok yang paling terdampak justru tidak dilibatkan sejak awal.
Untuk menjawab tantangan ini, pemerintah perlu mengambil langkah yang lebih berani dan berpihak. Tidak cukup hanya dengan memberi bantuan, pemerintah harus memastikan akses yang setara bagi semua, termasuk kelompok rentan. Pelibatan aktif mereka dalam proses perencanaan hingga evaluasi kebijakan kebencanaan sangat penting untuk menciptakan sistem yang benar-benar adil. Pemerintah juga harus memastikan bahwa program penanggulangan bencana tidak hanya menjangkau, tetapi juga memberikan manfaat nyata yang setara bagi semua golongan.
Diskusi ini menjadi pengingat bahwa mitigasi bencana bukan hanya soal teknis dan logistik, melainkan juga tentang keadilan sosial. Saat kita bicara tentang inklusi, kita sedang bicara tentang siapa yang dianggap penting dalam sistem, dan siapa yang selama ini dikesampingkan. Maka, mari kita dorong semua pihak untuk menjadikan inklusivitas sebagai fondasi dalam setiap langkah penanggulangan bencana—bukan sebagai tambahan, melainkan sebagai prinsip utama.
Penulis : Thoha Ulul A.

Mewaspadai Radikalisme Digital: Mencegah Intoleransi, Radikalisme, dan Ekstremisme di Era Media Sosial

Sinau Sareng Mitra Wacana: Menakar Ulang Mitigasi Bencana yang Inklusif bagi Kelompok Rentan
