web analytics
Connect with us

Opini

Meneladani Semangat Juang Kartini

Published

on

R.A-Kartini

Oleh Analta Inala (Pendamping komunitas Kecamatan Sentolo)

Siapakah yang akan menyangkal bahwa wanita memegang peranan penting dalam hal pendidikan moral pada masyarakat. Dialah orang yang sangat tepat pada tempatnya. Ia dapat menyumbang banyak (atau boleh dikatakan terbanyak) untuk meninggikan taraf moral masyarakat. Alam sendirilah yang memberikan tugas itu padanya. – penggalan nota R.A. Kartini tahun 1903 yang dipublikasikan melalui berbagai surat kabar.

Kartini, dilahirkan pada 21 April 1879, merupakan pahlawan perempuan yang namanya selalu dikenang  sampai sekarang. Dikenal sebagai pahlawan yang giat memperjuangkan hak-hak perempuan dalam bidang pendidikan, keseteraan antara perempuan dan laki-laki, kesetaraan antara rakyat biasa dengan kalangan bangsawan. Kartini juga dikenal melalui ide-pemikirannya  tentang emansipasi wanita yang di tuangkan dalam tulisan surat yang dikirimkan kepada sahabatnya.

Pada zaman Kartini, pendidikan tidak mudah di akses oleh rakyat “kecil”, apalagi perempuan. Dalam catatan sejarah, Kartini terpaksa berhenti sekolah karena dipingit oleh laki-laki pilihan orang tuanya. Akan tetapi, sikap dan perjuangan Kartini tidak pernah pudar meski aksesnya terbatas ruang dan waktu. Kartini tetap membaca buku-buku milik kakak dan ayahnya. Kartini belajar dari lingkungan sekitarnya, bahkan dari orang yang  ditemuinya. Salah satu perjuangan heroik Kartini ketika mendirikan sekolah perempuan. Atas jasanya, Kartini menjadi pahlawan nasional perempuan yang diperingati setiap tahun pada 21 April oleh rakyat Indonesia.

Jika melihat semangat Kartini dalam memperjuangkan hak perempuan dan kegigihannya terus belajar agar bermanfaat bagi sekitar, maka bagaimana kita meneladani Kartini di era sekarang ? Beberapa hal yang dapan menjadi contoh diantaranya yaitu; menjadi perempuan yang berani mengambil peran bagi kemanfaatan lingkungan sekitarnya, berada pada garis terdepan dalam penyelesaian permasalah perempuan,  mengambil peran dalam pembangunan desanya, menjadi ibu yang pintar yang mendidik anak-anaknya dengan baik, menjadi teman diskusi yang cerdas untuk suaminya, dan tidak lelah untuk belajar dari  lingkungan sekitarnya.

Mencoba meneladani perjuangan Kartini untuk  era saat ini, mengingatkan penulis terhadap para perempuan yang tergabung dalam Pusat Pembelajaran Perempuan dan Anak (P3A) yang terdapat di Kabupaten Kulon Progo. Kelompok P3A yang beranggotakan perempuan mantan buruh migran Indonesia yang bekerja di luar negeri berkumpul, dan belajar bersama, mendiskusikan pengalamannya bekerja di luar negeri, bahkan tidak sedikit  dari mereka menjadi penyintas perdagangan orang. Berjuang agar tidak ada lagi perdagangan orang yang membahayakan masyarakat terutama perempuan dan anak merupakan salah satun upaya P3A.  Dalam perjalanannya, kelompok P3A tidak membatasi anggota dari mantan  buruh migran, namun dari masyarakat luas.

Dalam suatu kesempatan, para anggota P3A berkumpul belajar bersama dalam Omah Perempuan Sinau Desa (OPSD). Mereka  belajar tentang gender, hak asasi manusia, pencegahan perdagangan orang, kepemimpinan perempuan dan sampai pada alur perencanaan desa.  Mereka juga mendapatkan bekal pengetahuan analisa sosial dan advokasi. Belajar untuk mengenali permasalahan yang ada di sekitarnya dan mengadvokasinya, terutama yang berkaitan dengan kekerasan pada perempuan dan anak,  perdagangan manusia yang korbannya kebanyakan perempuan dan anak. Anggota P3A juga memperoleh pengetahuan lain yang kerap dijumpai di tengah masyarakat, yaitu mengenai pencegahan intoleransi, radikalisme ektremisme dan terorisme. Pengetahuan tentang hal tersebut di atas dipandang penting untuk perempuan dan anak, mengingat ada pelaku teror perempuan yang melibatkan anak.

Pembelajaran yang diperoleh anggota P3A tidak hanya berhenti pada dirinya sendiri, akan tetapi disebar luaskan kepada masyarakat, melalui sosialisasi atau memberikan pendidikan kepada masyarakat lewat forum-forum warga seperti karang taruna, arisan RT / RW, pertemuan-pertemuan kelompok lain, melalui siaran talkshow radio, membuat film untuk edukasi masyarakat, dan membuat buletin.

Sadar bahwa perjuangan untuk perubahan tidak bisa dilakukan seorang diri, P3A juga menjalin kerjasama dengan organisasi  lain di desa (PKK) serta menjalin komunikasi dengan pemerintah desa, misalnya ketika melaksanakan kegiatan, seperti  diskusi dalam rangka peringatan hari Kartini.  Selanjutnya, turut serta dalam memberikan usulan dalam forum musyawarah desa untuk perencanaan desa. P3A juga menginisiasi terbentuknya forum koordinasi untuk seluruh P3A yang ada di Kulon Progo yaitu Forum Perempuan Kulon Progo pada Maret 2018. Selain itu, melakukan audiensi terhadap dinas-dinas terkait dengan tujuan mewujudkan Kulon Progo bebas dari perdagangan orang.

Tekad kuat anggota P3A yang tanpa pamrih berjuang  untuk terus belajar dan mengedukasi lingkungan sekitarnya, menjadi perempuan-perempuan yang berdaya dan memberikan manfaat untuk masyarakat sekitar menjadi lebih baik, sejalan dengan semangat juang Kartini dan Indonesia yang  berkemajuan tidak hanya sekedar ilusi.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Perempuan 24 Jam, Kisah Seorang Istri dalam The Great Indian Kitchen

Published

on

Pesta telah usai. Musik berhenti. Tawa dan ucapan selamat menguap bersama bunga-bunga yang mulai layu di atas meja. Akan tetapi ada cerita lain di tengah kemeriahan resepsi pernikahan, hidup seorang perempuan justru baru saja dimulai. Bukan dari kamar tidur atau ruang keluarga, tetapi dari dapur.

Dapur, Awal Penjara Domestik?

Dalam film The Great Indian Kitchen, pagi pertama setelah menjadi istri bukan tentang bahagianya bulan madu atau merencanakan masa depan, melainkan dihadapkan dengan rutinitas tanpa henti. Dimulai bangun tidur dilanjutkan memasak, menyuguhkan teh, mencuci piring, menyapu, mengepel, menjemur, menyiapkan peralatan ibadah, bahkan mengulurkan sikat gigi untuk mertuanya. Semua itu berulang setiap hari, tanpa jeda.

Oiya, film ini dirilis di platform Neestream pada 15 Januari 2021. Film tersebut mendapatkan pujian dan meraih sejumlah penghargaan dalam Kerala State Film Award, termasuk Film Terbaik, Skenario Terbaik untuk Jeo Baby, dan Penata Suara Terbaik untuk Tony Babu.

Sang sutradara, Jeo Baby, tidak menambahkan bumbu musik dramatis atau dialog untuk menggugah emosi penonton. Justru melalui keheningan dan repetisi itulah kita bisa merasakan. “Wah tentu hal ini bukan pekerjaan rumah. Suatu rutinitas yang menjelma menjadi penjara bagi perempuan.”

Repetisi dan Tubuh Perempuan yang Kelelahan

Saya menonton sambil gemas campur jengkel. Bukan karena ada adegan kekerasan. Tapi karena tidak ada ruang bernapas, tidak ada jeda sama sekali. Bahkan saat malam hari, ketika kondisi fisik si istri sudah sempoyongan nyaris roboh, ia tetap harus “melayani” suaminya. Tidak ada ruang untuk berkata, “Aku capek.” Bahkan tidak ada kesempatan untuk berkeluh kesah pada suami.

Lebih miris lagi ketika ada adegan istri sedang menjalani siklus biologis menstruasi, yang semestinya bisa menjadi ruang untuk sekedar menghela napas dan istirahat, justru diasingkan. Dianggap kotor dan najis. Tidak layak menyentuh dapur, tidak layak menyentuh siapa pun.

Hemat saya, setiap adegan dalam film ini terasa menyakitkan karena terlalu nyata. Terlalu akrab, terlalu dekat dengan kehidupan banyak perempuan yang saya jumpai setiap hari. Boleh jadi termasuk perempuan di rumahmu, yang kau panggil ibu atau bahkan istri.

Saya bertanya-tanya, seberapa sering kita, para laki-laki, benar-benar memahami beban domestik? Maksud saya bahwa “mengurus rumah” itu sungguh melelahkan. Karena, melipat baju bukan sekedar menumpuk kain jadi rapi. Tapi tentang mengulang-ulang rutinitas yang orang anggap remeh. Karena dapur bukan cuma tentang memproses dan menghidangkan makanan, tapi bisa jadi ruang terkecil yang mengurung “tubuh dan waktu” seorang perempuan.

Dan, ketika perempuan mulai bicara tentang ingin istirahat, ingin waktu untuk diri sendiri, atau tidak ingin hanya jadi “pelayan keluarga”, kenapa ada sebagian dari kita tersinggung? Atau merasa diserang? Padahal, mungkin saja kita belum pernah bertanya kepada istri, “Apa kamu lelah? Kamu bahagia? Atau apa kamu pengen dibantu…,?”

Guyonan “waktu 24 jam itu kurang” yang sering kita dengar dari para perempuan ternyata bukan lelucon belaka. Agaknya lebih pas jika disebut sebagai jeritan yang dibungkus tawa agar tidak dianggap mengeluh. Karena sejak kecil, perempuan diminta (didoktrin) untuk melayani. Harus tahan banting, dipaksa tetap diam meskipun remuk.

Maka ketika tiba waktunya menikah, banyak dari mereka langsung “aktif mode otomatisnya”. Bersikap lembut, menyambut suami sepulang aktivitas, nyiapin kopi, memasak, mengurus anak, menyetrika baju, menemani suami, bahkan mematikan lampu sebelum tidur. Semuanya dikerjakan seolah-olah sebagai kewajiban kodrati. Bagaimana jika nggak bisa? Rasa bersalah langsung datang tanpa diundang.

Mulai dari Berbagi Beban

Ironisnya, saat perempuan mulai memiliki kesempatan di ruang publik seperti sekolah, bekerja, aktif di komunitas, pekerjaan rumah tidak otomatis berubah menjadi tanggung jawab bersama. Mereka harus menjalani dua shift; pagi-siang di luar rumah, malam di dalam rumah. Tanpa gaji, tanpa tunjangan, bahkan tanpa ucapan terima kasih.

Bagaimana dengan laki-laki? Saat ada yang mulai terjun ke dapur untuk memasak, atau menyapu, menjemur pakaian, dan mencuci terkadang malah dianggap “kurang jantan”. Seolah pekerjaan rumah tangga seperti sebagai ancaman buat maskulinitas.

Padahal, sejujurnya kita sama-sama terjebak. Perempuan sedang memendam kelelahan sedangkan laki-laki juga dikurung oleh stereotip dominasi. Tapi anehnya, hanya perempuan yang terus diminta untuk kuat, sabar, dan tidak mengeluh.

Saya menulis ini bukan untuk menyalahkan siapa pun. Tapi mengajak setiap orang untuk bertanya pada diri sendiri, pada teman-teman laki-laki, atau siapa pun yang ingin (atau sedang) membangun rumah tangga. “Apakah kamu sudah siap untuk berbagi beban?”

Hemat penulis, cinta bukan hanya tentang kata-kata manis dan janji hidup bahagia. Namun, tentang keberanian mengambil peran kepada orang yang dicintai, dan dengan ringan mengucapkan, “Sini aku yang mengerjakan, supaya kamu bisa istirahat.”

Kesadaran Baru Bisa Dimulai dari Dapur

Perubahan tidak harus menunggu revolusi. Kadang cukup dari satu piring yang dicuci bersama. Satu sapu yang dipegang tanpa disuruh. Satu kalimat kecil yang keluar dari mulut laki-laki secara sadar, “Sudah sana kamu istirahat, biar aku yang beresin.”

Sebab mungkin, kemerdekaan pertama yang bisa dirasakan perempuan dalam rumah tangga adalah saat tubuhnya tidak lagi dianggap mesin. Saat secara sadar mendapatkan ruang untuk jadi manusia biasa, yang bisa lelah, bisa istirahat, dan boleh berkata, “Hari ini aku ingin diam saja.”

Dan buat para laki-laki, mari jujur. Mungkin yang bikin kamu ngerasa “terancam” itu bukan karena pekerjaan rumahnya, tapi karena kamu belum pernah benar-benar ikut hidup bareng, cuma numpang dilayani. Jadi, sudahkah kamu hari ini bantu cuci piring? Kalau belum, ya… Semoga kamu bukan bagian dari masalah.

Wahyu Tanoto
Pengurus Perkumpulan Mitra Wacana

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending