Opini
Catatan Tentang Iman, Harapan dan Ruang Berbagi di Kelurahan Baciro

Published
2 weeks agoon
By
Mitra Wacana
Dari sebuah aula berukuran cukup besar di sisi utara Kota Yogyakarta, saya menyaksikan peristiwa yang jarang terjadi dalam iklim sosial kita yang belakangan mudah menyulut emosi. Orang-orang dari latar belakang agama dan kepercayaan berbeda duduk bersama, mendiskusikan tentang cara mencegah intoleransi, radikalisme dan ektremisme. Disana, tidak ada jargon-jargon berlebihan, dan bahkan tidak disorot oleh lensa kamera. Hanya orang-orang yang ingin mendengar, dan didengar.
Program itu, “Merajut Kolaborasi Lintas Iman dalam Pencegahan Intoleransi, Radikalisme, dan Ekstremisme”. Pelaksananya adalah Perkumpulan Mitra Wacana, bekerja sama dengan Yayasan Keadilan dan Perdamaian Indonesia (YKPI). Sekilas, tampak seperti program biasa yang sering digelar oleh organisasi masyarakat sipil. Tapi di kelurahan Baciro, Kapanewon Gondokusuman, program ini menjadi “ruang langka” dan berhasil menyentuh sisi kemanusiaan yang kerap kali terabaikan dalam diskursus kebijakan atau wacana media sosial; keberanian untuk membuka diri pada yang berbeda.
Saya bukan pelaksana langsung (insider) dari program ini, namun, bagian dari Mitra Wacana. Saya mengamati dari luar (outsider), menyambangi lokakarya, menjadi salah satu pemantik diskusi, menyimak laporan evaluasi, membaca cerita perubahan yang ditulis para partisipan aktif, dan mencermati bagaimana sebuah inisiatif ini justru bisa menjadi contoh proses membangun perdamaian tanpa bantuan pengeras suara.
Salah satu cerita yang paling membekas bagi saya adalah dari Lutfiyah, seorang perempuan dari komunitas Ahmadiyah. Ia menyebutkan bahwa untuk pertama kalinya, merasa bisa membicarakan tentang keyakinannya tanpa merasa cemas akan dicibir atau disingkirkan. Boleh jadi, hal ini bukanlah suatu kisah dramatis. Hanya saja, di tengah kepungan masyarakat yang kerap mencurigai mereka sebagai yang “tidak lazim”, keberanian seperti itu sungguh pantas diapresiasi – bahkan dirayakan.

0-0x0-0-0#
Ada pula Wiji Nurasih, perempuan muda dari jaringan Gusdurian Jogja, yang mengungkapkan bahwa ruang dialog ini sebagai “tempat yang membuat saya merasa utuh.” Kalimat yang tampak biasa saja, tapi sarat makna. Kita tahu, dalam konteks polarisasi klasifikasi, ruang-ruang seperti dialog yang membuat seseorang merasa “utuh” merupakan sebuah anomali yang sungguh layak untuk dirawat terus menerus.
Memang, program hanya berlangsung selama tiga bulan, dengan anggaran tidak sampai Rp. 70 juta. Program ini dilaksanakan sejak Maret hingga Mei 2025, sebagai bagian dari inisiatif kolaboratif antara Mitra Wacana dan YKPI. Namun, dalam waktu relatif singkat itu, telah berhasil memuat rumusan alat deteksi dini gejala intoleransi, dengan melibatkan tokoh agama, aparat, orang muda, konten kreator, dan kelompok minoritas. Bahkan aparat Polsek setempat pun turut serta. Adalah Parjo, salah satu Babhinkabtibmas, menuliskan bahwa program oleh Mitra Wacana telah menyadarkannya akan pentingnya pendekatan yang lebih humanis dalam menangani ekstremisme.
Dalam catatan pelaksanaan program, saya membaca hasil evaluasi bahwa partisipasi peserta mencapai 76%. Kampanye digital yang telah dilakukan mampu menjangkau lebih dari 82.000 tayangan. Sungguh angka yang cukup signifikan untuk ukuran kampanye di komunitas basis. Secara statistik, angka dapat dibaca, namun, yang mengesankan saya adalah bagaimana setiap kegiatan dirancang menjadi ruang setara. Tidak ada yang menggurui. Tidak ada yang diposisikan lebih tinggi karena keyakinannya.
Meskipun begitu, hemat saya, keberhasilan itu menimbulkan satu kegelisahan. Bagaimana jika program ini berhenti? Tidak ada jaminan bahwa benih-benih yang telah ditanam akan tumbuh jika tanah sosial di sekitarnya tidak subur (dirawat). Evaluasi akhir program juga mencatat bahwa belum ada struktur kebijakan atau dukungan kelembagaan yang cukup untuk menopang keberlanjutan. Dengan kata lain, perdamaian agak rentan.
Saya teringat pada ucapan Sri Winarsih, salah satu perempuan penggerak di Baciro. “Kami butuh jejaring dan ruang,” katanya. Kalimat ini semestinya menjadi bahan renungan-pembelajaran bagi banyak pihak, termasuk Mitra Wacana dan terlebih, YKPI. Bahwa program seperti ini tidak akan cukup jika hanya dilaksanakan satu kali. Butuh dukungan jangka panjang, dari pemerintah, dari masyarakat, dan dari kita semua yang percaya bahwa perbedaan bukan alasan untuk bermusuhan.
Pelaksanaan program di Baciro, menurut saya, adalah bukti bahwa perdamaian tidak selalu lahir dari ruang-ruang parlemen atau meja-meja konferensi. Justru tumbuh dari obrolan santai, keberanian untuk mendengar, dan kesediaan melepas klaim kebenaran. Inisiatif semacam ini setidaknya mampu mengikis kecurigaan yang, dalam istilah Charles Kimball (2013), merupakan salah satu akar ketika agama berubah menjadi bencana.
Di tengah narasi-narasi tentang kebangsaan yang kerap saya dengar, upaya semacam ini justru terasa paling konkret, atau bahkan paling mengena. Terlebih, ketika (utamanya) media sosial dipenuhi informasi tentang polarisasi, persekusi, dan ujaran kebencian, program seperti ini menjadi oase. Tidak menyolok, tidak viral, tapi penting dan mengena di relung terdalam. Program ini juga mengingatkan saya bahwa di luar jangkauan lensa kamera konvensional, masih ada orang-orang yang berjuang merawat kemajemukan dan kemanusiaan.
Saya tidak tahu pasti apakah program ini akan dilanjutkan. Tapi saya juga tahu, bahwa program telah meninggalkan jejak dalam kerja-kerja kemanusiaan. Seperti kata tokoh pendidikan dan perdamaian, Daisaku Ikeda yang menyebut perdamaian sejati tidak dibangun oleh kekuatan politik atau kekuasaan, tetapi oleh hati manusia yang terbuka dan mampu memahami penderitaan orang lain.
Wahyu Tanoto
Ketua Perkumpulan Mitra Wacana
Opini
Puisi ‘Dendam’ Karya Chairil Anwar: Estetika dan Semiosis Peirce Cinta Aulia Margaretha Habeahan

Published
2 days agoon
20 June 2025By
Mitra Wacana

Cinta Aulia Margaretha Habeahan
Mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Andalas
Estetika adalah cabang filsafat yang mempelajari keindahan. Estetika merupakan bagian dari seni, seni yang berhubungan dengan keindahan. Menurut Aristoteles (1993:28) keindahan menyangkut pada keseimbangan dan keteraturan ukuran, yakni ukuran material, dan pandangannya dengan ini berlaku untuk benda-benda alam maupun untuk karya seni buatan manusia. Bagi karya sastra, estetika sebagai aspek-aspek keindahan sastra yang didominasi oleh gaya bahasa. Keindahan bahasa tidak terkandung dalam bentuk huruf melainkan dalam isi suatu karya. Maka dari itu, estetika dan sastra memiliki hubungan yang begitu erat, di mana estetika berperan sebagai landasan dalam memahami dan menciptakan keindahan suatu karya sastra.
Karya sastra begitu banyak memiliki keindahan gaya bahasa terutama yaitu puisi. Puisi merupakan ungkapan atau curahan hati penyair dan kumpulan bahasa yang setiap baitnya memiliki makna. Salah satu puisi yang memiliki keindahan bahasa yaitu puisi ‘Dendam’ karya Chairil Anwar, yang ditulis pada 13 Juli 1943, dalam buku kumpulan puisi yang berjudul Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949).
Dalam puisi ‘Dendam’ karya Chairil Anwar ini bukan hanya sebuah lontaran emosi saja, melainkan suatu luapan kata-kata kelam, kegelisahan batin, dan pencarian makna dalam kehidupan. Melalui larik-larik yang pendek dan iteratif, Chairil menggambarkan dendam batin manusia yang tidak dapat diluapkan secara langsung.
Namun, melihat lebih jauh, puisi ini dapat dibedah melalui elemen estetika – dari segi pendekatan estetika dan semiosis (tanda dan makna). Berikut puisi ‘Dendam’ karya Chairil Anwar:
Dendam
Berdiri tersentak
Dari mimpi aku bengis dielak
Aku tegak
Bulan bersinar sedikit tak nampak
Tangan meraba ke bawah bantalku
Keris berkarat kugenggam di hulu
Bulan bersinar sedikit tak nampak
Aku mencari
Mendadak mati kuhendak berbekas di jari
Aku mencari
Diri tercerai dari hati
Bulan bersinar sedikit tak nampak
13 Juli 1943
Sumber: Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949)
Semiosis yang digunakan Charles Sanders Peirce sebagai tindak pertandaan, proses pertandaan, atau proses semiotis. Sehingga, dapat menelusuri bagaimana makna-makna tersembunyi dalam puisi yang dibentuk melalui system tanda.
- Dari mimpi aku bengis dielak
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kata bengis yaitu kejam, penderitaan, tajam dan pedas; sedangkan kata dielak ialah imbuhan yang membentuk kata kerja pasif dari kata elak yaitu menghindar. Maka, dari bait ini dapat disimpulkan ia terbangun dari mimpinya dengan perasaan yang kejam dan ada keinginan untuk membalas dendam.
- Bulan bersinar sedikit tak nampak
Dalam bait ini bulan melambangkan perasaan, kemampuan, bahkan harapan, dan puisi ini ditandai dengan kegelapan, cahaya bulan yang tak terlihat lagi. Maka, dimaknai sebagai harapan yang nyaris hilang.
- Keris berkarat kugenggam di hulu
Kata keris sebagai simbol warisan, kekuatan, dan sekaligus kekerasan. Karat di keris menyiratkan bahwa dendam itu lama tersimpan, bukan sekadar amarah sesaat. Maka, kata keris dan berkarat membawa konotasi kekerasan, dan warisan dendam lama.
- Diri tercerai dari hati
Bait ini menandakan ia tak hanya marah, tapi juga mendapatkan kehampaan dari hati, sekaligus kehilangan hubungan dengan jiwanya sendiri.
Maka, melalui pendekatan estetika dapat ditemukan bahwa keindahan dalam puisi ‘Dendam’ ini adanya kegelapan, dendam, dan kekosongan. Chairil Anwar tidak menunjukkan kedamaian, tapi memperlihatkan luka dan menghadirkan perasaan dan penderitaan dalam puisinya. Melalui semiosis Peirce, dapat dipahami bahwa puisi ini dapat system tanda yang kompleks. Dari kata-kata seperti keris, bulan, dan diri tercerai menjadi tanda-tanda yang menciptakan makna begitu terikat dengan trauma, kegelisahan batin, dan kekosongan hidup.

Puisi ‘Dendam’ Karya Chairil Anwar: Estetika dan Semiosis Peirce Cinta Aulia Margaretha Habeahan

Nilai Metafora Pada Puisi “ Hujan Deras di Waktu Senja”
