Opini
Toilet sebagai Kanvas: Estetika Subversif dalam Cerpen “Corat-coret di Toilet” Karya Eka Kurniawan

Published
2 weeks agoon
By
Mitra Wacana

Resti Anggraini mahasiswa Sastra Indonesia,Universitas Andalas
Sastra memiliki keterkaitan dengan kehidupan manusia,baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Karya karya sastra menggambarkan keadaan dan mencerminkan realitas yang ada di lingkungan manusia. Topik yang dibahas oleh pengarang dalam karyanya merupakan hasil pikiran terhadap situasi sosial tertentu. Karyanya menggambarkan keadaan yang terjadi di masyarakat.
Sebagai salah satu jenis karya sastra cerpen hanya menceritakan satu kehidupan saja atau tidak memiliki konflik yang banyak dan berlarut larut. Cerpen merupakan cerita yang padat hal ini membuat cerpen menjadi suatu penceritaan yang dangkal. Seperti cerpen Corat coret di Toilet kumpulan cerpen karya Eka Kurniawan.
Cerpen “Corat-coret di Toilet” ini salah satu karya sastra Indonesia kontemporer yang secara cemerlang menggabungkan unsur estetika dengan kritik sosial. Melalui ruang toilet yang tampaknya remeh, dianggap tempat pembuangan, cerpen ini menyuarakan keresahan kolektif masyarakat yang hidup dalam represi dan ketidakadilan. Coretan-coretan anonim di dinding toilet menjadi media alternatif bagi suara-suara yang tidak mendapat tempat di ruang publik yang resmi. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana unsur estetika dalam cerpen tersebut tidak hanya berfungsi sebagai keindahan semata, tetapi juga sebagai bentuk perlawanan sebuah estetika subversif yang lahir dari pinggiran.
Secara teoritis, tulisan ini menggunakan pendekatan estetika sosial, yaitu pandangan bahwa karya sastra selalu berhubungan erat dengan struktur sosial tempat ia dilahirkan. Estetika sosial memandang bahwa keindahan karya tidak berdiri sendiri, tetapi membawa misi sosial yang melekat dalam bahasa, gaya, dan simbol yang digunakan. Toilet sebagai latar utama cerpen menjadi simbol ruang marjinal, tempat di mana suara-suara terpinggirkan bisa muncul secara bebas meski dalam bayang-bayang ketersembunyian.
Toilet bukan sekadar latar fisik, melainkan menjelma menjadi simbol kekotoran baik secara harfiah maupun metaforis. Kekotoran ini tidak hanya merujuk pada kondisi fisik ruangannya yang jorok dan kumuh, tetapi juga merepresentasikan kekacauan sosial, kebusukan moral, dan kemacetan berpikir dalam sistem pendidikan dan politik. Toilet menjadi ruang pembuangan, tempat hal-hal yang dianggap menjijikkan dan tidak layak ditampilkan ditumpuk dan disembunyikan. Namun justru di ruang itulah muncul bentuk-bentuk ekspresi paling jujur dari mahasiswa: protes, keluhan, dan kritik sosial.
Toilet dalam cerpen ini berfungsi sebagai ruang subaltern, yaitu ruang yang dihuni oleh kelompok yang tidak memiliki kekuasaan untuk berbicara dalam struktur dominan. Dalam struktur sosial yang menindas, toilet menjadi tempat yang jujur dan bebas. Coretan di toilet bukan sekadar vandalisme, tetapi ekspresi politik yang muncul karena tidak adanya saluran komunikasi yang resmi dan aman. Ketika mahasiswa dalam cerpen mulai membaca dan mencermati isi toilet, mereka menemukan bahwa dinding tersebut menyimpan kegelisahan kolektif yang tidak bisa mereka temukan dalam forum-forum formal. Melalui simbolisasi toilet sebagai ruang kotor, Eka Kurniawan menyampaikan bahwa dalam masyarakat yang menindas kebebasan berpikir, suara-suara kebenaran hanya dapat muncul dari pinggiran, dari tempattempat yang dibuang dan dianggap tidak penting. Dengan demikian, toilet menjadi metafora kuat bagi kondisi sosial yang membusuk, sekaligus ruang subversif tempat resistensi terhadap kemapanan bisa lahir.
Estetika subversif dalam cerpen ini tampak jelas pada pemilihan simbol, gaya bahasa, dan ironi. Coretan di toilet, dengan segala keburukannya, menyimpan kejujuran dan keberanian. Narasi cerpen disampaikan dengan gaya yang satiris dan ironis, memperlihatkan ketegangan antara yang resmi dan yang liar, yang sopan dan yang jujur. Dengan cara ini, Eka Kurniawan menghadirkan estetika yang tidak hanya memanjakan keindahan kata, tetapi juga menggugah kesadaran sosial pembaca. Coretan seperti “jangan percaya dosen!” atau “kampus ini busuk!” bukanlah ekspresi tanpa makna, melainkan bentuk perlawanan dari mereka yang tidak punya suara di ruang akademik yang otoriter.
Gaya bahasa cerpen yang lugas namun penuh ironi membuat pesan sosialnya semakin kuat. Eka tidak menggurui, tetapi membiarkan pembaca menyelami makna simbolik dari coretan-coretan liar itu. Ironi muncul ketika justru toilet tempat yang dianggap kotor dan privat menjadi sumber kebenaran, sementara ruang kelas dan dewan kampus hanya menyebarkan kepalsuan dan ketakutan. Di sinilah letak kekuatan estetika subversif ia hadir dalam bentuk yang tidak terduga, dalam ruang yang marginal, dan dengan suara yang tidak bernama.
Cerpen ini juga menggambarkan bagaimana bahasa bisa menjadi alat resistensi. Bahasa dalam coretan tidak tunduk pada aturan gramatika atau sensor moral, ia mengalir liar, kasar, dan penuh emosi. Namun justru karena itu ia jujur. Bahasa seperti ini menolak menjadi indah dalam pengertian klasik, tetapi menjadi indah dalam konteks estetika sosial karena mampu mewakili jeritan yang terbungkam. Pembaca tidak hanya menikmati cerita, tetapi juga didorong untuk berpikir tentang relasi kuasa, ruang publik, dan hak atas kebebasan berpendapat.
Dengan pendekatan estetika sosial, “Corat-coret di Toilet” terbukti tidak sekadar menawarkan cerita, tetapi juga refleksi kritis terhadap masyarakat. Toilet sebagai latar bukan pilihan estetis semata, tetapi simbol dari kondisi sosial-politik yang menindas ekspresi. Melalui simbol toilet dan coretan, Eka Kurniawan menghadirkan kanvas alternatif bagi mereka yang tak memiliki galeri untuk bersuara. Dalam dunia yang terlalu terkontrol, toilet menjadi ruang demokrasi yang tak terduga.
Sebagai penutup, dapat disimpulkan bahwa cerpen ini menunjukkan bagaimana ruang-ruang marjinal bisa menjadi sumber kekuatan estetik dan politis. Estetika subversif yang ditawarkan oleh “Corat-coret di Toilet” adalah sebuah ajakan untuk mendengar suara dari tempat-tempat yang tidak biasa. Dalam dunia yang sarat dengan sensor dan penindasan, sastra mampu menghadirkan bentuk-bentuk keindahan yang menggugah dan membebaskan.
Opini
Puisi ‘Dendam’ Karya Chairil Anwar: Estetika dan Semiosis Peirce Cinta Aulia Margaretha Habeahan

Published
2 days agoon
20 June 2025By
Mitra Wacana

Cinta Aulia Margaretha Habeahan
Mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Andalas
Estetika adalah cabang filsafat yang mempelajari keindahan. Estetika merupakan bagian dari seni, seni yang berhubungan dengan keindahan. Menurut Aristoteles (1993:28) keindahan menyangkut pada keseimbangan dan keteraturan ukuran, yakni ukuran material, dan pandangannya dengan ini berlaku untuk benda-benda alam maupun untuk karya seni buatan manusia. Bagi karya sastra, estetika sebagai aspek-aspek keindahan sastra yang didominasi oleh gaya bahasa. Keindahan bahasa tidak terkandung dalam bentuk huruf melainkan dalam isi suatu karya. Maka dari itu, estetika dan sastra memiliki hubungan yang begitu erat, di mana estetika berperan sebagai landasan dalam memahami dan menciptakan keindahan suatu karya sastra.
Karya sastra begitu banyak memiliki keindahan gaya bahasa terutama yaitu puisi. Puisi merupakan ungkapan atau curahan hati penyair dan kumpulan bahasa yang setiap baitnya memiliki makna. Salah satu puisi yang memiliki keindahan bahasa yaitu puisi ‘Dendam’ karya Chairil Anwar, yang ditulis pada 13 Juli 1943, dalam buku kumpulan puisi yang berjudul Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949).
Dalam puisi ‘Dendam’ karya Chairil Anwar ini bukan hanya sebuah lontaran emosi saja, melainkan suatu luapan kata-kata kelam, kegelisahan batin, dan pencarian makna dalam kehidupan. Melalui larik-larik yang pendek dan iteratif, Chairil menggambarkan dendam batin manusia yang tidak dapat diluapkan secara langsung.
Namun, melihat lebih jauh, puisi ini dapat dibedah melalui elemen estetika – dari segi pendekatan estetika dan semiosis (tanda dan makna). Berikut puisi ‘Dendam’ karya Chairil Anwar:
Dendam
Berdiri tersentak
Dari mimpi aku bengis dielak
Aku tegak
Bulan bersinar sedikit tak nampak
Tangan meraba ke bawah bantalku
Keris berkarat kugenggam di hulu
Bulan bersinar sedikit tak nampak
Aku mencari
Mendadak mati kuhendak berbekas di jari
Aku mencari
Diri tercerai dari hati
Bulan bersinar sedikit tak nampak
13 Juli 1943
Sumber: Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949)
Semiosis yang digunakan Charles Sanders Peirce sebagai tindak pertandaan, proses pertandaan, atau proses semiotis. Sehingga, dapat menelusuri bagaimana makna-makna tersembunyi dalam puisi yang dibentuk melalui system tanda.
- Dari mimpi aku bengis dielak
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kata bengis yaitu kejam, penderitaan, tajam dan pedas; sedangkan kata dielak ialah imbuhan yang membentuk kata kerja pasif dari kata elak yaitu menghindar. Maka, dari bait ini dapat disimpulkan ia terbangun dari mimpinya dengan perasaan yang kejam dan ada keinginan untuk membalas dendam.
- Bulan bersinar sedikit tak nampak
Dalam bait ini bulan melambangkan perasaan, kemampuan, bahkan harapan, dan puisi ini ditandai dengan kegelapan, cahaya bulan yang tak terlihat lagi. Maka, dimaknai sebagai harapan yang nyaris hilang.
- Keris berkarat kugenggam di hulu
Kata keris sebagai simbol warisan, kekuatan, dan sekaligus kekerasan. Karat di keris menyiratkan bahwa dendam itu lama tersimpan, bukan sekadar amarah sesaat. Maka, kata keris dan berkarat membawa konotasi kekerasan, dan warisan dendam lama.
- Diri tercerai dari hati
Bait ini menandakan ia tak hanya marah, tapi juga mendapatkan kehampaan dari hati, sekaligus kehilangan hubungan dengan jiwanya sendiri.
Maka, melalui pendekatan estetika dapat ditemukan bahwa keindahan dalam puisi ‘Dendam’ ini adanya kegelapan, dendam, dan kekosongan. Chairil Anwar tidak menunjukkan kedamaian, tapi memperlihatkan luka dan menghadirkan perasaan dan penderitaan dalam puisinya. Melalui semiosis Peirce, dapat dipahami bahwa puisi ini dapat system tanda yang kompleks. Dari kata-kata seperti keris, bulan, dan diri tercerai menjadi tanda-tanda yang menciptakan makna begitu terikat dengan trauma, kegelisahan batin, dan kekosongan hidup.

Puisi ‘Dendam’ Karya Chairil Anwar: Estetika dan Semiosis Peirce Cinta Aulia Margaretha Habeahan

Nilai Metafora Pada Puisi “ Hujan Deras di Waktu Senja”
