Opini
Kebangkitan “Malam” oleh Elie Wiesel: Memoar yang Hampir Terlupakan

Published
1 month agoon
By
Mitra Wacana

Dindin Saepudin Penulis
Kesaksian Elie Wiesel dalam “Malam” bukan hanya sekadar memoir tentang bertahan hidup dari Holocaust; ia adalah suara seorang penyintas yang berjuang agar tragedi ini tidak dilupakan. Namun, perjalanan buku ini menuju pembaca tidaklah mudah. Awalnya ditulis dalam bahasa Yiddish dengan panjang naskah mencapai 862 halaman, Wiesel menghadapi hambatan besar dalam menemukan penerbit yang bersedia menerbitkan cerita yang begitu menyedihkan dan memilukan.
Setelah bertahun-tahun berjuang, Wiesel akhirnya mempersingkat naskahnya menjadi sekitar 120 halaman, dan pada tahun 1958, seorang penerbit Prancis merilisnya dengan judul La Nuit. Sejak itu, buku ini telah diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa dan terjual lebih dari 10 juta kopi hingga tahun 2023. Perjalanan Malam dari ketidakjelasan hingga menjadi klasik global menunjukkan bagaimana kesaksian dan sejarah sering kali bergantung pada keberanian individu yang tidak menyerah dalam menyampaikan kebenaran.
Perjalanan dari Penolakan Menuju Keabadian
Ketika Wiesel pertama kali mencari penerbit untuk memoirnya, banyak yang enggan menerima kisah Holocaust yang begitu suram dan penuh penderitaan. Dunia saat itu
masih berusaha bangkit dari trauma Perang Dunia II, dan banyak penerbit merasa bahwa masyarakat belum siap untuk menghadapi kenyataan pahit yang disampaikan dalam buku tersebut.
Namun, Wiesel tidak menyerah. Ia menyadari bahwa keheningan adalah musuh bagi mereka yang ingin mengingat, dan diam hanya akan memperkuat kekuatan lupa. Dengan mempersingkat naskahnya dan memilih pendekatan yang lebih langsung, ia akhirnya menemukan penerbit yang bersedia menerbitkan karyanya.
Dampak Buku yang Tak Terduga
Setelah diterbitkan, *Malam* tidak serta-merta mendapat perhatian besar. Namun, seiring waktu, semakin banyak pembaca yang mengenal kisah Wiesel dan merasakan kekuatan emosional dari tulisannya. Buku ini bukan hanya sekadar cerita pribadi; ia menjadi simbol bagi jutaan korban Holocaust dan pengingat bagi dunia tentang kekejaman yang terjadi.
Seiring bertambahnya jumlah pembaca, pengaruh Wiesel pun meluas. Ia kemudian menjadi seorang aktivis, menyuarakan isu-isu kemanusiaan dan berjuang agar sejarah Holocaust tidak dilupakan. Ia menerima Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1986, sebuah penghargaan atas dedikasinya dalam mempertahankan kesaksian tentang masa kelam sejarah.
Menjadi Saksi: Tanggung Jawab Moral
Perjalanan *Malam* dari manuskrip yang hampir tak diterbitkan hingga menjadi karya klasik mengingatkan kita akan pentingnya kesaksian. Wiesel menunjukkan bahwa tidak cukup hanya mengalami sejarah; seseorang harus berani menceritakannya, bahkan ketika dunia enggan untuk mendengarkan.
Kisah ini mengajarkan bahwa perjuangan untuk mengungkapkan kebenaran sering kali menghadapi rintangan, tetapi dengan keteguhan hati, suara yang berbicara untuk keadilan akan menemukan jalannya. Kebangkitan *Malam* menjadi bukti bahwa kesaksian pribadi bisa mengubah dunia, mengingatkan kita akan pentingnya memahami sejarah agar tragedi seperti Holocaust tidak pernah terulang.
Wiesel telah meninggalkan warisan yang tidak hanya berbentuk tulisan, tetapi juga sebagai pengingat bagi manusia bahwa tidak ada kebungkaman yang boleh mengubur kebenaran. ***
Sekilas Info Penulis
Didin Tulus lahir di Bandung pada 14 Maret 1977. Ia menghabiskan masa kecilnya di Pangandaran, tempat ia menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah pertama. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan menengah atas di SMA YAS Bandung.Didin Tulus, penulis – (Sumber: Koleksi pribadi)
Setelah lulus SMA, Didin Tulus melanjutkan pendidikannya di Universitas Islam Nusantara (Uninus) Fakultas Hukum. Selain itu, ia juga menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, jurusan Seni Rupa.
Aktifitas dan Karir
Didin Tulus memiliki pengalaman yang luas di bidang penerbitan dan kesenian. Ia pernah menjadi marketing pameran di berbagai penerbit dan mengikuti pameran dari kota ke kota selama berbulan-bulan. Saat ini, ia bekerja sebagai editor di sebuah penerbitan independen.
Pengalaman Internasional
Didin Tulus beberapa kali diundang ke Kuala Lumpur untuk urusan penerbitan, pembacaan sastra, dan puisi. Pengalaman ini memperluas wawasannya dan membuka peluang untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan komunitas sastra internasional.
Kegiatan Saat Ini
Saat ini, Didin Tulus tinggal di kota Cimahi dan aktif dalam membangun literasi di kotanya. Ia berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap kesenian dan sastra.
Dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman yang luas, Didin Tulus telah membuktikan dirinya sebagai seorang yang berdedikasi dan berprestasi di bidang kesenian dan penerbitan
You may like
Opini
Catatan dari IGD: Anak Itu Pergi Setelah Disapa Sungai

Published
4 days agoon
14 July 2025By
Mitra Wacana
Oleh : Ferdi Ardian Saputra mahasiswa Sastra Indonesia,Universitas Andalas
Hari itu aku datang ke kampus Universitas Andalas dengan satu tujuan: latihan teater. Kami tengah bersiap untuk sebuah pertunjukan yang akan digelar bulan Juli mendatang. Latihan berjalan seperti biasa di salah satu sudut kampus yang ramai. Tapi suasana mendadak berubah ketika seorang anggota kelompok teater lain tiba-tiba jatuh pingsan.
Perempuan itu kira-kira setinggi bahuku—dan tinggi badanku 175 sentimeter. Ia mengenakan rok hitam, atasan bergaris biru-putih, dan jilbab hitam. Sekelompok teman perempuan dan beberapa senior laki-laki segera mengerubunginya. Bersama salah satu temannya, aku membawanya ke IGD Rumah Sakit Universitas Andalas.
Namun catatan ini bukan tentang dia, bukan tentang Intan—nama perempuan itu—melainkan tentang seseorang yang kutemui secara tak terduga di ruang gawat darurat itu. Seorang anak laki-laki, mungkin seusia murid kelas enam sekolah dasar, terbaring di atas kasur besi, tepat di zona merah—”redline”—ruang rawat bagi pasien paling kritis.
Tubuhnya kecil dan pucat, nyaris tak bergerak. Di sekelilingnya berdiri keluarga—ibu, nenek, sanak saudara. Wajah mereka penuh kecemasan, gelisah, dan mungkin sudah setengah pasrah. Saat itu, seorang dokter perempuan keluar dari ruangan. Ia mengenakan jas putih khas dokter, masker biru, jilbab putih, dan kemeja biru muda yang mengintip dari balik jasnya.
Dengan suara lembut namun serius, ia berbicara kepada ibu anak itu.
“Bu, kami minta izin untuk menangani anak Ibu. Kalau diizinkan, apa pun yang terjadi, Ibu harus ikhlas ya.”
Seketika, dunia seakan diam. Sang ibu menunduk, menahan tangis, lalu mengangguk. Hanya itu. Isyarat kecil yang membawa beban besar: menyerahkan nasib anaknya sepenuhnya pada tangan-tangan medis.
Aku berdiri agak jauh, hanya bisa menyaksikan. Tapi rasa penasaran mendorongku bertanya pada seorang nenek yang duduk tak jauh dariku. Ia ternyata nenek dari si anak. Dengan suara pelan, ia mulai bercerita.
“Anak ko pai main ka Batu Busuk patang jo kawan-kawannyo, pulang dari sinan langsung lameh… ternyata nyo tasapo dek mandi-mandi di sinan.”
Tersapa. Dalam kepercayaan masyarakat sekitar, “tersapa” berarti terkena gangguan halus—dalam hal ini, saat bermain di kawasan Batu Busuk. Bukannya langsung dibawa ke rumah sakit, sang anak justru dibawa ke seorang medium kampung. Upaya tradisional itu berlangsung berhari-hari, hingga minggu ketiga. Saat kondisinya makin menurun, barulah ia dilarikan ke rumah sakit.
Waktu terus berjalan. Suasana IGD penuh dengan ketegangan tak bersuara. Tiba-tiba, dokter yang tadi keluar lagi dari balik pintu. Kali ini ia tak membawa harapan.
“Maaf, Bu… kami sudah mencoba. Kami mohon maaf, kami tidak bisa menyelamatkan anak Ibu.”
Sejurus kemudian, rumah sakit seperti runtuh oleh tangisan. Ibu itu meraung. Keluarga menjerit. Para petugas medis hanya bisa berdiri—mereka sudah terbiasa, tapi tak pernah benar-benar kebal terhadap duka yang berulang.
Di pojok ruangan, aku berdiri mematung. Baru saja tadi aku datang untuk latihan teater. Tapi di rumah sakit itu, aku menyaksikan panggung yang jauh lebih nyata—tentang kehilangan, pasrah, dan seorang anak kecil yang berpulang setelah “disapa” oleh sesuatu yang tak kasatmata.
Satu hal yang membuat aku tersendu, ketika kakak anak ini berkata “Maaf dek, ini salah kakak, kakak yang tidak melarang kamu untuk kesana”.