Berita
Kesbangpol melalui forum komunikasi ormas bantul mengajak ormas di Bantul untuk meningkatkan sinergitas bersama di tengah kebijakan efisiensi.

Published
3 weeks agoon
By
Mitra Wacana
Oleh Mansur Ahmad
Kamis, 24/04/2005 Mitra wacana bersama ormas se-kabupaten Bantul menghadiri undangan pertemuan forum komunikasi organisasi kemasyaratan Bantul yang di inisiasi oleh Badan KESBANGPOL Bantul. Pertemuan yang di selenggarakan di warung mbah manto, kretek, Bantul ini bertujuan sebagai sarana menguatkan silaturahmi antar ormas dan meningkatkan sinergitas ormas dengan pemerintah dalam upaya menjaga keamanan dan ketertiban di masyarakat.
Hadir sebagai pembicara dalam pertemuan ini perwakilan komisi A DPRD Bantul bapak Jumakir. Dalam penyampaiannya Jumakir menekankan pentingnya ormas menjalin komunikasi dan sinergitas dengan para wakil rakyat di dewan, menurutnya hal ini penting karena proses pemerintahan itu dilakukan oleh pemerintah juga wakil rakyat di dewan termasuk untuk perencanaan penganggaran. Karena dengan adanya kedekatan dengan wakil rakyat ormas bisa secara langsung mengkomunikasi aspirasinya termasuk juga anggaran yang bisa mendukung peran ormas di tengah masyarakat.
“Saya yakin banyak masyarakat belum terlalu dekat dengan para wakil nya di dewan, apalagi memiliki no kontaknya. Kita terbuka dengan masyarakat terutama dengan ormas, jika memiliki kedekatan kita bisa kontak langsung apa yang menjadi kebutuhan yang perlu mendapat dukungan anggota dewan” ungkapnya.
Selain dari komisi A DPRD Bantul hadir juga dari Kesbangpol bantul yang diwakili oleh sekertaris badan bapak Suparmadi. Dalam penyampaiannya suparmadi mengingatkan kepada para anggota ormas untuk lebih selektif dan hati-hati untuk membagikan informasi yang masih belum jelas faktanya, mengingat hal tersebut bisa memperkeruh keadaan utamanya terkait pemberitaan tentang di catutnya nama parangtritis untuk sebuah merek minuman beralkohol. Selain itu Kesbangpol juga mengutarakan harapannya terkait program pembinaan ormas yang akan terus berjalan walaupun di tengah kebijakan efisiensi dan refokusing anggaran. ” Terkait isu yang tengah beredar di wilayah kita saya harapkan temen-temen ormas untuk lebih hati-hati untuk men-share informasi yang belum jelas yang berpotensi memperkeruh suasana. Terkait dengan program kita yang sudah berjalan cukup baik ini saya berharap nantinya ini bisa tetap kita pertahankan walaupun ada efisiensi anggaran”, paparnya.
Narasumber lain juga hadir dari polres bantul dan Binda DIY yang diwakili oleh Ipda Zaenal dan bapak Nugroho. Ipda Zaenal dalam pemaparannya lebih menjelaskan fungsi dan ketugasan lembaga kepolisian dalam upaya menjaga kamtibmas dimana dalam upaya tersebut memerlukan peran serta masyarakat utamanya ormas untuk bersama-sama bersinergi untuk saling menjaga lingkungan supaya tetap aman dan tertib. ” Fungsi kepolisian itu lebih kepada bagaimana menciptakan rasa aman dan ketertiban. Namun, fungsi tersebut tidak akan mampu dijalankan secara maksimal tanpa turut serta peran masyarakat melalui ormas yang bisa saling bersinergi” tukasnya mempertegas fungsi ormas.
Di sisi lain dari pihak Binda lebih lebih memberikan pemahaman tentang polemik UU ormas dimana banyak dimaknai salah oleh sebagian pihak. Tujuan UU no 16 tahun 2017 bukan upaya otoriter pemerintah yang dengan mudah membekukan atau membubarkan ormas tapi lebih kepada upaya untuk menjaga ormas sebagai pilar bernegara untuk selalu lurus di track yang seharusnya. ” Terkait UU ormas no 16 tahun 2017 itu bukan bertujuan supaya negara mudah untuk membubarkan ormas yang tidak sejalan dengan pemerintah, tapi sebenarnya lebih kepada upaya negara untuk menjaga ormas sebagai pilar bernegara untuk selalu lurus dan sejalan dengan ideologi bangsa dan juga UUD 45″. Selain itu Nugroho juga menyampaikan pentingnya inovasi bagi ormas untuk meningkatkan perannya dimasyarakat.
Selain pemaparan ada juga sesi diskusi dan tanya jawab, mansur mitra wacana menanyakan dampak dari kebijakan efisensi bagi lembaga dari para narsum apakah hal ini akan berpotensi mengurangi hak warga untuk mendapatkan pelayanan yang optimal dari pemerintah. Secara ekplisit DPRD yang di wakil jumakir menyatakan bahwa dampak kebijakan efisiensi memang membuat beberapa anggaran harus dihapus atau dikurangi namun hal tersebut tidak mengurangi kinerja pemerintah. Disisi lain dari pihak kebangpol menyatakan bahwa dampak efisiensi cukup signifikan karena dengan anggaran terbatas kesbangpol harus melimpahkan kewenangan dengan opd lain supaya program tetap berjalan, seperti beberapa acara peringatan hari penting kenegaraan dilimpahkan ke opd-opd yang masih terkait. Namun kesbangpol berkomitmen dengan tetap mempertahankan program forkom ini walaupun tidak bisa seintens sebelumnya.
Di sisi lain pihak kepolisian menanggapi bahwa kebijakan efisiensi ini tidak berpengaruh terhadap kinerja polisi. Namun hal berbeda di sampaikan dari binda DIY bahwa dampak efisiensi berpengaruh besar terhadap anggaran intelegen, namun demikian karena sudah menjadi kebijakan dan juga bagian dari sumpah jabatan hal tersebut tetap harus dilaksanakan walaupun dalam kondisi yang penuh keterbatasan.
You may like
Mewaspadai Radikalisme Digital: Mencegah Intoleransi, Radikalisme, dan Ekstremisme di Era Media Sosial
Sinau Sareng Mitra Wacana: Menakar Ulang Mitigasi Bencana yang Inklusif bagi Kelompok Rentan
Wujudkan Local Democracy, Yayasan LKiS bersama Election Corner UGM Menghadirkan Wali Kota Yogyakarta dalam Acara Pemimpin Mendengar
Berita
Mewaspadai Radikalisme Digital: Mencegah Intoleransi, Radikalisme, dan Ekstremisme di Era Media Sosial

Published
2 days agoon
15 May 2025By
Mitra Wacana
Jumat, 9 Mei 2025, Mitra Wacana berkolaborasi dengan Mahasiswa Magang mengadakan diskusi bersama. Diskusi ini menghadirkan teman-teman dari berbagai latar belakang keberagaman. Tema yang diangkat terasa sangat relevan dengan kondisi saat ini: Pencegahan Intoleransi, Radikalisme, dan Ekstremisme, khususnya dalam konteks digital yang kian kompleks.
Di tengah derasnya arus informasi yang membanjiri lini masa kita setiap hari, bentuk penyebaran paham radikal dan intoleran pun telah berubah wajah. Jika dahulu radikalisme menyebar lewat mimbar, buku, atau ceramah, kini ia menjelma lewat algoritma media sosial. Platform seperti TikTok, Telegram, YouTube, dan sejenisnya telah menjadi ladang subur penyebaran kebencian, prasangka, dan ide-ide ekstrem. Ironisnya, konten-konten ini sering kali dikemas dengan sangat menarik—visual yang apik, narasi yang meyakinkan, dan dibungkus dalam bahasa anak muda yang akrab—sehingga sulit dikenali sebagai ancaman sejak awal.
Kita sering kali lupa bahwa intoleransi tidak muncul begitu saja. Ia tumbuh pelan-pelan dari kegagalan kita menghargai perbedaan. Dalam kehidupan sehari-hari, bentuknya bisa beragam: penolakan pembangunan rumah ibadah, larangan atribut keagamaan di ruang publik, atau bahkan kos-kosan yang secara terang-terangan hanya menerima penghuni dari agama tertentu. Sekilas tampak sepele, tapi di baliknya tersembunyi cara pandang eksklusif yang tak memberi ruang pada keragaman.
Lebih jauh lagi, radikalisme dan ekstremisme berkembang dalam tiga tahap yaitu cara pandang, sikap, dan tindakan. Ketika seseorang merasa paling benar, mulai mudah melabeli orang lain sebagai “kafir”, dan menolak hidup berdampingan, itu adalah tanda-tanda awal dari bahaya yang lebih besar. Dalam konteks sosial, hal ini kerap diperparah oleh ketimpangan ekonomi, rasa terpinggirkan, dan sentimen bahwa identitas kelompoknya sedang diserang. Perasaan-perasaan inilah yang kerap menjadi bahan bakar bagi radikalisme, terutama ketika disulut oleh informasi yang tidak benar.
Media sosial memperburuk situasi ini. Algoritma hanya menunjukkan apa yang ingin kita lihat, memperkuat bias, mempersempit pandangan, dan menutup ruang dialog. Akibatnya, pengguna terjebak dalam echo chamber yang memperkuat keyakinan sendiri tanpa pernah mendapat perspektif lain. Ditambah lagi dengan maraknya hoaks dan ujaran kebencian, polanya menjadi semakin mengkhawatirkan.
Yang membuat situasi semakin rumit adalah jenis-jenis hoaks yang kini semakin canggih. Ada hoaks yang menyamar sebagai humor atau satire, ada pula yang mencampur informasi palsu dengan fakta, bahkan ada yang memanipulasi video agar terlihat benar. Hoaks semacam ini bukan sekadar kebohongan biasa—ia bisa menjadi pemicu konflik sosial yang besar. Kita pernah melihat dampaknya, seperti pada konflik Ambon atau insiden Tolikara. Satu informasi menyesatkan bisa berubah menjadi bara api dalam hitungan jam.
Melawan semua ini jelas tidak cukup hanya dengan seruan toleransi. Diperlukan langkah yang lebih konkret, seperti memperkuat literasi digital masyarakat, mengajarkan cara memilah informasi, serta membongkar cara berpikir eksklusif yang sering menjadi akar masalah. Kita juga perlu lebih kritis terhadap narasi-narasi publik—termasuk kebijakan pemerintah—yang mengandung bias atau diskriminasi terhadap kelompok tertentu.
Yang kita butuhkan adalah ruang-ruang inklusif yang tidak sekadar menerima keberagaman, tetapi juga merayakannya. Ruang di mana setiap orang, dari latar belakang apa pun, merasa aman dan dihargai. Ini bukan hal utopis. Ini bisa dimulai dari kebiasaan sederhana: memilih informasi yang kita baca, membagikan konten yang memperluas wawasan, dan berhenti menyebarkan kabar yang belum jelas kebenarannya.
Pada akhirnya, dunia digital memang tidak bisa kita hindari. Tapi kita masih punya kendali atas cara kita bersikap di dalamnya. Kita bisa memilih untuk curiga satu sama lain, atau memilih untuk saling belajar dan memahami. Di era ini, pilihan itu hadir dalam bentuk yang sangat sederhana—apa yang kita klik, siapa yang kita ikuti, dan konten seperti apa yang kita bagikan.
Maka, mari kita bijak dalam menyaring informasi. Karena dari situlah inklusivitas bisa tumbuh, diskriminasi bisa dicegah, dan keberagaman bisa menjadi kekuatan, bukan ancaman. Ini bukan hanya soal dunia maya—ini soal bagaimana kita membentuk masyarakat yang adil dan damai di dunia nyata.
Penulis : Oksafira

Mewaspadai Radikalisme Digital: Mencegah Intoleransi, Radikalisme, dan Ekstremisme di Era Media Sosial

Sinau Sareng Mitra Wacana: Menakar Ulang Mitigasi Bencana yang Inklusif bagi Kelompok Rentan

Sinau Sareng Mitra Wacana: Menakar Ulang Mitigasi Bencana yang Inklusif bagi Kelompok Rentan

Wujudkan Local Democracy, Yayasan LKiS bersama Election Corner UGM Menghadirkan Wali Kota Yogyakarta dalam Acara Pemimpin Mendengar

Click with Caution: Keeping Indonesian Kids Safe Online
