web analytics
Connect with us

Berita

Warga Baciro dan Organisasi Lintas Iman Rancang Langkah Pencegahan Intoleransi dan Radikalisme

Published

on

Yogyakarta, 24 April 2025 – Dalam upaya memperkuat ketahanan sosial berbasis komunitas, Mitra Wacana menyelenggarakan lokalatih bertajuk “Menyusun Langkah-Langkah Pencegahan Intoleransi, Radikalisme, dan Ekstremisme (IRE)” di Aula Kelurahan Baciro, Kemantren Gondokusuman. Kegiatan ini merupakan bagian dari program “Merajut Kolaborasi Lintas Iman”, yang digagas sebagai respons atas meningkatnya potensi konflik berbasis identitas yang terjadi di tengah masyarakat.

Forum ini dihadiri 30 orang dari perwakilan pemuda, perempuan, tokoh agama, serta pemangku kepentingan dari berbagai organisasi dan latar belakang agama / kepercayaan yang berbeda. Seluruh peserta duduk bersama dalam suasana dialogis dan sebagai forum strategis untuk menyusun langkah-langkah konkret pencegahan IRE. Di tengah tantangan keberagaman dan derasnya arus informasi digital, pendekatan partisipatif berbasis komunitas menjadi kunci dalam menjaga harmoni sosial.

Highlight kegiatan ini semua peserta berproses Bersama secara kolaboratif menyusun tools deteksi dini dan mekanisme pengaduan jika terjadi indikasi IRE di tengah masyarakat. Forum ini juga menjadi ruang aman untuk berbagi pengalaman, memperkuat solidaritas sosial, serta menggali nilai-nilai lokal yang mampu meredam potensi konflik berbasis identitas.

Wiji Nurasih, perwakilan anak muda dari komunitas Gusdurian, menyampaikan pandangannya dengan penuh semangat. “Sebagai anak muda yang tergabung di komunitas dan bertugas di divisi media dan kampanye, saya dan teman-teman mengkampanyekan pesan-pesan perdamaian lintas iman dan golongan melalui media sosial kami.” Wiji juga menekankan pentingnya berpikir kritis agar tidak mudah terjebak dalam narasi kebencian yang marak di dunia digital.

Pernyataannya mencerminkan sikap aktif anak muda yang tidak hanya menghindari penyebaran ujaran kebencian, tapi juga mengambil peran sebagai penyebar pesan damai. Ia percaya bahwa perubahan bisa dimulai dari kebiasaan kecil, seperti tidak ikut-ikutan mengomentari konten negatif dan lebih selektif dalam membagikan informasi.

Sementara itu, Lutfiah dari komunitas Perempuan Ahmadiyah mengajak peserta untuk merawat sikap bijak dalam menyikapi perbedaan. “Kita perlu menyikapi dan memahami kondisi yang ada dengan bijak, tanpa memberikan respons yang berlebihan. Dengan cara ini, kita dapat membangun rasa saling percaya di antara semua pihak,” ucapnya. Menurutnya, semangat “Love for all, hatred for none” harus menjadi prinsip utama dalam membangun kehidupan sosial yang harmonis.

Dalam sesi pemaparan, perwakilan dari Densus 88 menyampaikan bahwa media sosial menjadi salah satu kanal utama penyebaran ideologi radikal. Dipaparkan bahwa lebih dari 60% simpatisan ISIS asal Indonesia diketahui terpapar konten ekstremis dari media sosial. “Media sosial menjadi pemicu munculnya banyak pelaku teror tunggal (LONEWOLF) yang terpapar secara mandiri tanpa keterlibatan jaringan langsung,” ungkap Pak Umar dari Densus 88 AT DIY. Ia menegaskan bahwa deteksi dini dan literasi digital menjadi sangat penting untuk membendung arus penyebaran ideologi kekerasan.

Dari sisi masyarakat sipil, Wahyu Tanoto dari Mitra Wacana menekankan pentingnya keterlibatan semua lapisan masyarakat dalam upaya pencegahan. “Menangani IRET bukan perkara mudah, deteksi dini saja sudah menjadi tantangan besar. Karena itu, pencegahannya tak bisa hanya mengandalkan satu pihak,” jelasnya. Ia menambahkan, peran perempuan dan nilai-nilai lokal adalah benteng utama dalam menjaga ketahanan sosial dari pengaruh ekstremisme.

Lokalatih ini tidak hanya menjadi forum refleksi, tapi juga ruang aksi. Para peserta menyusun strategi bersama yang meliputi langkah-langkah pencegahan berbasis komunitas, rancangan tools deteksi dini, serta alur pengaduan ketika muncul indikasi Intoleransi Radikalisme dan Ekstremisme (IRE). Hasil diskusi kelompok yang dipresentasikan menunjukkan betapa kuatnya semangat kolaboratif warga Baciro dalam menjaga keharmonisan sosial.

Koordinator program pencegahan IRE dari Mitra Wacana, Ruliyanto, menjelaskan urgensi kegiatan ini. “Forum ini penting untuk mengaktifkan kembali peran komunitas dalam menjaga harmoni sosial. Harapan kami, dari sini lahir langkah-langkah nyata yang bisa diimplementasikan di lingkungan masing-masing,” ujarnya. Ia menambahkan, output utama dari kegiatan ini adalah terbentuknya panduan deteksi dini IRE, mekanisme pengaduan, dan jejaring kolaboratif lintas sektor untuk merespons ancaman IRE secara cepat dan inklusif.

Dengan pendekatan berbasis komunitas, kegiatan ini menjadi cerminan bahwa perlindungan terhadap keberagaman adalah tanggung jawab bersama. Baciro hari ini memberi pesan kuat: harmoni tidak datang begitu saja, tapi dibangun dari dialog, partisipasi, dan keberanian untuk berdiri di sisi perdamaian.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Berita

Mewaspadai Radikalisme Digital: Mencegah Intoleransi, Radikalisme, dan Ekstremisme di Era Media Sosial

Published

on

Jumat, 9 Mei 2025, Mitra Wacana berkolaborasi dengan Mahasiswa Magang mengadakan diskusi bersama. Diskusi ini menghadirkan teman-teman dari berbagai latar belakang keberagaman. Tema yang diangkat terasa sangat relevan dengan kondisi saat ini: Pencegahan Intoleransi, Radikalisme, dan Ekstremisme, khususnya dalam konteks digital yang kian kompleks.

Di tengah derasnya arus informasi yang membanjiri lini masa kita setiap hari, bentuk penyebaran paham radikal dan intoleran pun telah berubah wajah. Jika dahulu radikalisme menyebar lewat mimbar, buku, atau ceramah, kini ia menjelma lewat algoritma media sosial. Platform seperti TikTok, Telegram, YouTube, dan sejenisnya telah menjadi ladang subur penyebaran kebencian, prasangka, dan ide-ide ekstrem. Ironisnya, konten-konten ini sering kali dikemas dengan sangat menarik—visual yang apik, narasi yang meyakinkan, dan dibungkus dalam bahasa anak muda yang akrab—sehingga sulit dikenali sebagai ancaman sejak awal.

Kita sering kali lupa bahwa intoleransi tidak muncul begitu saja. Ia tumbuh pelan-pelan dari kegagalan kita menghargai perbedaan. Dalam kehidupan sehari-hari, bentuknya bisa beragam: penolakan pembangunan rumah ibadah, larangan atribut keagamaan di ruang publik, atau bahkan kos-kosan yang secara terang-terangan hanya menerima penghuni dari agama tertentu. Sekilas tampak sepele, tapi di baliknya tersembunyi cara pandang eksklusif yang tak memberi ruang pada keragaman.

Lebih jauh lagi, radikalisme dan ekstremisme berkembang dalam tiga tahap yaitu cara pandang, sikap, dan tindakan. Ketika seseorang merasa paling benar, mulai mudah melabeli orang lain sebagai “kafir”, dan menolak hidup berdampingan, itu adalah tanda-tanda awal dari bahaya yang lebih besar. Dalam konteks sosial, hal ini kerap diperparah oleh ketimpangan ekonomi, rasa terpinggirkan, dan sentimen bahwa identitas kelompoknya sedang diserang. Perasaan-perasaan inilah yang kerap menjadi bahan bakar bagi radikalisme, terutama ketika disulut oleh informasi yang tidak benar.

Media sosial memperburuk situasi ini. Algoritma hanya menunjukkan apa yang ingin kita lihat, memperkuat bias, mempersempit pandangan, dan menutup ruang dialog. Akibatnya, pengguna terjebak dalam echo chamber yang memperkuat keyakinan sendiri tanpa pernah mendapat perspektif lain. Ditambah lagi dengan maraknya hoaks dan ujaran kebencian, polanya menjadi semakin mengkhawatirkan.

Yang membuat situasi semakin rumit adalah jenis-jenis hoaks yang kini semakin canggih. Ada hoaks yang menyamar sebagai humor atau satire, ada pula yang mencampur informasi palsu dengan fakta, bahkan ada yang memanipulasi video agar terlihat benar. Hoaks semacam ini bukan sekadar kebohongan biasa—ia bisa menjadi pemicu konflik sosial yang besar. Kita pernah melihat dampaknya, seperti pada konflik Ambon atau insiden Tolikara. Satu informasi menyesatkan bisa berubah menjadi bara api dalam hitungan jam.

Melawan semua ini jelas tidak cukup hanya dengan seruan toleransi. Diperlukan langkah yang lebih konkret, seperti memperkuat literasi digital masyarakat, mengajarkan cara memilah informasi, serta membongkar cara berpikir eksklusif yang sering menjadi akar masalah. Kita juga perlu lebih kritis terhadap narasi-narasi publik—termasuk kebijakan pemerintah—yang mengandung bias atau diskriminasi terhadap kelompok tertentu.

Yang kita butuhkan adalah ruang-ruang inklusif yang tidak sekadar menerima keberagaman, tetapi juga merayakannya. Ruang di mana setiap orang, dari latar belakang apa pun, merasa aman dan dihargai. Ini bukan hal utopis. Ini bisa dimulai dari kebiasaan sederhana: memilih informasi yang kita baca, membagikan konten yang memperluas wawasan, dan berhenti menyebarkan kabar yang belum jelas kebenarannya.

Pada akhirnya, dunia digital memang tidak bisa kita hindari. Tapi kita masih punya kendali atas cara kita bersikap di dalamnya. Kita bisa memilih untuk curiga satu sama lain, atau memilih untuk saling belajar dan memahami. Di era ini, pilihan itu hadir dalam bentuk yang sangat sederhana—apa yang kita klik, siapa yang kita ikuti, dan konten seperti apa yang kita bagikan.

Maka, mari kita bijak dalam menyaring informasi. Karena dari situlah inklusivitas bisa tumbuh, diskriminasi bisa dicegah, dan keberagaman bisa menjadi kekuatan, bukan ancaman. Ini bukan hanya soal dunia maya—ini soal bagaimana kita membentuk masyarakat yang adil dan damai di dunia nyata.

Penulis : Oksafira

Continue Reading

Trending