web analytics
Connect with us

Berita

Dari Diam ke Perlawanan: Saatnya Menghancurkan Kekerasan Seksual

Published

on

Sumber foto: Freepik

Oleh : T.H. Hari Sucahyo*

 

T.H. Hari Sucahyo,
alumnus Psikologi, peminat sosial humaniora

Kejahatan seksual bukan hanya melukai tubuh, tetapi juga merusak martabat dan kemanusiaan. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah bagaimana budaya diam dan permisif terhadap tindakan ini masih mengakar di masyarakat. Korban sering kali dibungkam oleh stigma, dihakimi oleh lingkungan, bahkan diabaikan oleh sistem hukum. Saatnya kita beralih dari sikap diam menuju perlawanan yang nyata dan terorganisir.

Di banyak kasus, tindak kejahatan ini dibiarkan terjadi karena korban takut berbicara. Masyarakat kerap menyalahkan korban dengan pertanyaan yang seharusnya tidak relevan, seperti “Mengapa berpakaian seperti itu?” atau “Mengapa keluar malam?”. Perspektif ini menciptakan rasa bersalah pada korban dan memberi celah bagi pelaku untuk terus beraksi tanpa konsekuensi.

Selain itu, hukum yang seharusnya melindungi korban sering kali tidak berpihak pada mereka.

             Proses hukum yang berbelit, kurangnya perlindungan bagi korban, serta minimnya edukasi tentang masalah ini menjadi hambatan dalam menegakkan keadilan. Akibatnya, banyak kasus yang tidak dilaporkan atau akhirnya menguap tanpa penyelesaian. Keadaan ini diperburuk oleh kurangnya sumber daya bagi aparat hukum dalam menangani kasus-kasus terkait serta bias gender yang sering kali menguntungkan pelaku.

Budaya patriarki yang masih kuat juga berkontribusi pada maraknya kasus ini. Perempuan, terutama, masih sering dianggap sebagai objek dan berada dalam posisi subordinat dibanding laki-laki. Hal ini melanggengkan dominasi dan pelecehan, baik di ranah publik maupun domestik. Sementara itu, korban laki-laki juga menghadapi stigma bahwa mereka harus “kuat” dan tidak boleh mengakui diri sebagai korban, yang semakin memperparah sikap diam terhadap permasalahan ini.

Perlawanan terhadap tindak kekerasan ini harus dimulai dari perubahan pola pikir. Kita harus berhenti menyalahkan korban dan mulai menempatkan tanggung jawab sepenuhnya pada pelaku. Kesadaran ini harus diperkuat dengan edukasi yang masif di berbagai lini, mulai dari keluarga, sekolah, hingga tempat kerja. Edukasi tentang persetujuan (consent) dan kesetaraan gender harus menjadi bagian dari kurikulum di sekolah untuk membangun generasi yang lebih sadar dan peduli terhadap isu ini.

Di samping itu sistem hukum harus diperbaiki agar lebih responsif terhadap korban. Undang-undang yang lebih tegas, perlindungan bagi korban, serta proses hukum yang tidak berbelit adalah hal mendesak yang harus diwujudkan. Perlu pula ada mekanisme dukungan psikologis yang mudah diakses oleh para penyintas. Negara harus menjamin adanya layanan darurat, tempat perlindungan, serta pendampingan hukum yang bebas biaya bagi korban. Di banyak negara, sistem peradilan berbasis gender telah diterapkan untuk memastikan keadilan bagi korban, dan Indonesia harus mengambil langkah serupa.

Dalam hal ini media dan tokoh publik memiliki peran penting dalam membentuk opini masyarakat. Dengan semakin banyaknya figur yang berbicara tentang pentingnya menghapus tindak pelecehan dan kekerasan, akan semakin banyak pula kesadaran yang terbangun. Kampanye daring maupun luring harus diperkuat untuk menciptakan tekanan sosial terhadap para pelaku dan sistem yang masih abai terhadap isu ini. Media harus lebih banyak memberitakan kasus-kasus terkait dengan perspektif yang berpihak pada korban dan tidak menyajikan narasi yang membenarkan perilaku pelaku.

Perusahaan dan institusi juga harus mengambil peran dalam menghapus pelecehan di lingkungan kerja. Lingkungan kerja yang bebas dari intimidasi dan kekerasan harus menjadi prioritas, dengan kebijakan nol toleransi terhadap segala bentuk pelecehan. Program pelatihan bagi karyawan serta kanal pengaduan yang aman dan terpercaya harus dibangun untuk melindungi pekerja dari ancaman serupa.

Menghapus kejahatan seksual bukan sekadar wacana, tetapi perjuangan yang harus dilakukan secara kolektif. Kita tidak boleh lagi diam dan membiarkan korban bertarung sendirian. Saatnya bergerak, berbicara, dan melawan agar dunia menjadi tempat yang lebih aman bagi semua orang. Dari diam ke perlawanan, itulah jalan yang harus kita tempuh demi keadilan dan kemanusiaan.

Perubahan tidak bisa terjadi dalam semalam, tetapi langkah kecil yang diambil secara konsisten dapat menciptakan dampak besar. Setiap orang, tanpa terkecuali, memiliki peran dalam menciptakan dunia yang bebas dari kekerasan dan pelecehan. Mari kita mulai dari diri sendiri, dari lingkungan terdekat kita, dan bersama-sama membangun masa depan yang lebih adil dan manusiawi.

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Berita

Mitra Wacana Dorong Pemerintah Perkuat Pelindungan bagi Pekerja Migran Indonesia

Published

on

Jakarta, 10 November 2025 — Mitra Wacana turut berpartisipasi aktif dalam Konsultasi Nasional tentang Akses terhadap Pelindungan Sosial yang Layak dan Berkelanjutan bagi Pekerja Migran Indonesia yang diselenggarakan di Swiss-Belresidences Kalibata, Jakarta Selatan. Kegiatan ini diinisiasi oleh Migrant Forum in Asia (MFA) bekerja sama dengan Migrant Care, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), dan Solidaritas Perempuan, dengan dukungan dari IOM melalui program Migration, Business and Human Rights in Asia (MBHR Asia) yang didanai oleh Uni Eropa dan Pemerintah Swedia.

Acara yang dihadiri oleh perwakilan pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan serikat buruh ini bertujuan untuk memperkuat advokasi dan sinergi kebijakan dalam menjamin akses perlindungan sosial bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI), baik di tahap pra-penempatan, selama bekerja di luar negeri, maupun setelah kembali ke tanah air.

Dalam sesi diskusi, berbagai isu krusial mencuat, mulai dari minimnya akses pendidikan dan lapangan kerja yang layak di dalam negeri hingga praktik perekrutan yang tidak adil dan jeratan hutang yang menjerat calon pekerja migran. Kondisi ini, menurut para peserta, memperlihatkan bagaimana kemiskinan struktural masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah.

“Ketika pemerintah tidak menyediakan akses pendidikan dan pekerjaan yang layak, masyarakat akhirnya mencari penghidupan di luar negeri. Tapi di sana pun mereka menghadapi eksploitasi dan kekerasan, bahkan ada yang tidak kembali dengan selamat,” ungkap salah satu peserta diskusi yang menyoroti rentannya posisi pekerja migran di berbagai negara penempatan.

Mitra Wacana, melalui perwakilannya Nurmalia, menegaskan pentingnya tanggung jawab negara dalam memastikan perlindungan menyeluruh bagi PMI. Ia menyoroti pentingnya kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, dan lembaga internasional agar pekerja migran dan keluarganya memperoleh jaminan sosial yang adil.

“Negara harus hadir secara konkret, tidak hanya menjadikan PMI sebagai pahlawan devisa, tetapi juga memastikan mereka terlindungi dari hulu ke hilir. Kami mendesak pemerintah untuk memperkuat kerja sama antara BPJS Ketenagakerjaan dan perwakilan Indonesia di luar negeri, agar sistem perlindungan berjalan efektif dan tidak ada lagi korban yang dipulangkan tanpa pemulihan yang layak,” tegas Nurmalia, mewakili Mitra Wacana.

Konsultasi nasional ini juga merekomendasikan penguatan kebijakan jaminan sosial lintas negara serta sistem reimbursement yang memungkinkan pekerja mendapatkan layanan kesehatan sebelum dipulangkan. Para peserta berharap hasil diskusi ini menjadi pijakan bagi advokasi regional dalam memperjuangkan kebijakan yang lebih adil, berkelanjutan, dan berpihak pada pekerja migran.

Kegiatan ditutup dengan komitmen bersama untuk memperluas jaringan advokasi dan mendorong pembentukan kebijakan yang tidak hanya melindungi pekerja migran, tetapi juga memberikan jaminan kesejahteraan bagi keluarga mereka di tanah air.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending