web analytics
Connect with us

Opini

Keragaman, Jangan Sampai Pudar

Published

on

indonesia-beragam
Wahyu Tanoto

Wahyu Tanoto

Oleh Wahyu Tanoto

Beberapa peristiwa kekerasan dan intoleransi yang kerap terjadi di tanah air sangatlah sulit untuk mengatakan tidak bernuansa keagamaan, sebut saja misalnya peristiwa “penyerangan” oleh sekelompok orang bergamis kepada pemeluk agama lain yang tengah melakukan kebaktian di Yogyakarta beberapa waktu lalu (29/5/2014) adalah contoh nyata betapa perbuatan tersebut adalah perilaku yang jauh dari nilai-nilai keberagaman dan peran Negara dalam “mendamaikan” persoalan tersebut belum hadir secara penuh.

Persoalan intoleransi  ini dikhawatirkan akan memudarkan keragaman suku, ras, agama dan golongan di negeri yang memiliki kemajemukan luar biasa seperti Indonesia ini. Keragaman ini sifatnya untouchable (tidak tersentuh) dan tidak bisa diubah karena keragaman adalah realitas yang berasal uluran sang pencipta yang mau tidak mau harus diterima dengan sadar. Bahkan dalam salah satu ajaran kitab suci Al-Qur’an dengan gamblang Tuhan berfirman “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian adalah orang yang paling bertaqwa di sisi Allah“ [al-Hujurat: 13].

Manakala klaim kebenaran dianggap suatu hal yang biasa-untuk tidak menyebut dibiarkan- dalam beragama, maka persoalan ini dikhawatirkan akan menjadi sorotan tajam ditengah-tengah era sekarang ini; era yang begitu majemuk, arus dan akses-akses informasi yang begitu cepat, teknologi yang mutakhir dan sebagainya. Kalau boleh direnungkan pada beberapa waktu kebelakang perilaku beragama relatif masih taken for granted (dianggap sebagai paket) begitu saja, maka harus ada pembenahan pada kondisi sekarang. Apabila konsep-konsep keragamaan hanya semata-mata dibangun atas landasan normativitas (wahyu), maka akan diperoleh tantangan yang berat dalam membangun pemahaman kebersamaan.

Ada beberapa catatan yang perlu disampaikan berkaitan dengan hambatan yang menghalangi keragaman dipahami bukan sebagai anugerah, minimal terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, hambatan teologis. Ketaatan yang kaku dapat melahirkan sikap yang kurang egaliter (setara) dan kurang dapat berempati terhadap sesama serta dapat pula menjadi -istilah bahasa Arab marohan (angkuh). Dalam tataran ini dapat menstimulus akan munculnya benih-benih “gerakan” merasa paling benar sendiri, maka usaha melakukan kajian dan memaknai agama sebagai sumber inspirasi kebaikan menjadi blur (buram). Lebih miris lagi, seakan-akan problem teologi mendapatkan legitimasi dari kitab suci yang dipahami secara tekstual sehingga pemahaman keagamaan semakin ruwet tanpa melihat bagaimana sejarah latar belakangnya (asbabun nuzul).

Kedua, hambatan kultural, yaitu hambatan yang datang dari masyarakat juga menempati pos yang perlu mendapat perhatian dalam persoalan keragaman. Sudah sewajarnya masyarakat terlibat aktif dalam melaksanakan perannya sebagai agen keragaman. Oleh karenanya sharing informasi mengenai pemahaman agama yang tidak merendahkan akan menghadirkan pandangan yang mampu melihat kenyataan bahwa ragamnya alam raya sampai-sampai tidak ada kemampuan untuk melihat semua. Sebaliknya pemahaman agama yang merendahkan mempunyai kecenderungan melahirkan sikap curiga (prejudice) dan maunya menang sendiri. Sikap ini dikhawatirkan dapat melahirkan perilaku main hakim sendiri.

Hambatan kultural semakin menjadi kompleks manakala persoalan pelapisan sosial kehidupan dalam masayarakat seperti perbedaan tingkat-status soasial-ekonomi antar pemeluk agama dan para pemimpin dapat melahirkan kecemburuan sosial yang dapat menjadi pendorong yang cukup kuat dan dapat memberikan pengaruh munculnya fanatisme yang berlebihan terhadap faham keagamaan yang dianut oleh setiap kelompok agama.

Ketiga hambatan struktural, adalah berkaitan dengan campur tangan Negara (pemerintah) yang terkesan kurang objektif dalam memberikan perlindungan  terhadap warganya. Seandainyapun ada keterlibatan Negara, sifatnya parsial dan ad hoc, dengan kata lain belum terlihat keasliannya (genuine), jujur dan ikhlas. Pemerintah, sebagai penerima mandat dari masyarakat tidak diperbolehkan memilih sikap netral, sebaliknya pemerintah harus mempunyai keberpihakan yaitu terhadap keberlanjutan keberagaman yang merupakan anak kandung bangsa Indonesia, sudah waktunya pemerintah menghentikan hanya melibatkan tokoh-tokoh elit organisasi keagamaan dan para tokoh masyarakat yang dianggap terpandang dalam menselesaikan pelbagai permasalahan keragaman yang akhir-akhir ini semakin menggejala.

Akhirnya proses menemukan kalimatun sawa (titik temu) tidak akan tercapai manakala tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Maka yang terjadi adalah tiap-tiap individu agama dengan pengakuan subjektifnya merasa paling rukun, paling toleran yang dapat menambah ketegangan baru dalam mewujudkan dan menjaga keragaman sebagaimana dicita-citakan para pendiri bangsa. Maka sikap legowo harus terinternalisasi ke dalam seluruh sanubari masyarakat.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Catatan dari IGD: Anak Itu Pergi Setelah Disapa Sungai

Published

on

Oleh : Ferdi Ardian Saputra mahasiswa Sastra Indonesia,Universitas Andalas

Hari itu aku datang ke kampus Universitas Andalas dengan satu tujuan: latihan teater. Kami tengah bersiap untuk sebuah pertunjukan yang akan digelar bulan Juli mendatang. Latihan berjalan seperti biasa di salah satu sudut kampus yang ramai. Tapi suasana mendadak berubah ketika seorang anggota kelompok teater lain tiba-tiba jatuh pingsan.

Perempuan itu kira-kira setinggi bahuku—dan tinggi badanku 175 sentimeter. Ia mengenakan rok hitam, atasan bergaris biru-putih, dan jilbab hitam. Sekelompok teman perempuan dan beberapa senior laki-laki segera mengerubunginya. Bersama salah satu temannya, aku membawanya ke IGD Rumah Sakit Universitas Andalas.

Namun catatan ini bukan tentang dia, bukan tentang Intan—nama perempuan itu—melainkan tentang seseorang yang kutemui secara tak terduga di ruang gawat darurat itu. Seorang anak laki-laki, mungkin seusia murid kelas enam sekolah dasar, terbaring di atas kasur besi, tepat di zona merah—”redline”—ruang rawat bagi pasien paling kritis.

Tubuhnya kecil dan pucat, nyaris tak bergerak. Di sekelilingnya berdiri keluarga—ibu, nenek, sanak saudara. Wajah mereka penuh kecemasan, gelisah, dan mungkin sudah setengah pasrah. Saat itu, seorang dokter perempuan keluar dari ruangan. Ia mengenakan jas putih khas dokter, masker biru, jilbab putih, dan kemeja biru muda yang mengintip dari balik jasnya.

Dengan suara lembut namun serius, ia berbicara kepada ibu anak itu.

“Bu, kami minta izin untuk menangani anak Ibu. Kalau diizinkan, apa pun yang terjadi, Ibu harus ikhlas ya.”

Seketika, dunia seakan diam. Sang ibu menunduk, menahan tangis, lalu mengangguk. Hanya itu. Isyarat kecil yang membawa beban besar: menyerahkan nasib anaknya sepenuhnya pada tangan-tangan medis.

Aku berdiri agak jauh, hanya bisa menyaksikan. Tapi rasa penasaran mendorongku bertanya pada seorang nenek yang duduk tak jauh dariku. Ia ternyata nenek dari si anak. Dengan suara pelan, ia mulai bercerita.

“Anak ko pai main ka Batu Busuk patang jo kawan-kawannyo, pulang dari sinan langsung lameh… ternyata nyo tasapo dek mandi-mandi di sinan.”

Tersapa. Dalam kepercayaan masyarakat sekitar, “tersapa” berarti terkena gangguan halus—dalam hal ini, saat bermain di kawasan Batu Busuk. Bukannya langsung dibawa ke rumah sakit, sang anak justru dibawa ke seorang medium kampung. Upaya tradisional itu berlangsung berhari-hari, hingga minggu ketiga. Saat kondisinya makin menurun, barulah ia dilarikan ke rumah sakit.

Waktu terus berjalan. Suasana IGD penuh dengan ketegangan tak bersuara. Tiba-tiba, dokter yang tadi keluar lagi dari balik pintu. Kali ini ia tak membawa harapan.

“Maaf, Bu… kami sudah mencoba. Kami mohon maaf, kami tidak bisa menyelamatkan anak Ibu.”

Sejurus kemudian, rumah sakit seperti runtuh oleh tangisan. Ibu itu meraung. Keluarga menjerit. Para petugas medis hanya bisa berdiri—mereka sudah terbiasa, tapi tak pernah benar-benar kebal terhadap duka yang berulang.

Di pojok ruangan, aku berdiri mematung. Baru saja tadi aku datang untuk latihan teater. Tapi di rumah sakit itu, aku menyaksikan panggung yang jauh lebih nyata—tentang kehilangan, pasrah, dan seorang anak kecil yang berpulang setelah “disapa” oleh sesuatu yang tak kasatmata.

Satu hal yang membuat aku tersendu, ketika kakak anak ini berkata “Maaf dek, ini salah kakak, kakak yang tidak melarang kamu untuk kesana”.

 

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending