web analytics
Connect with us

Opini

Amazing Live In Experience Sarah Intern in Kulon Progo Yogyakarta

Published

on

Author Sarah Crockett Intern from Australia

I recently spent three days and two nights in Hargorejo, a village in Kulon Progo, Yogyakarta, as part of a community visit organised through my internship at Mitra Wacana. I stayed with Ibu Lusi and her family—an experience that allowed me to experience daily life in a rural Indonesian village and to see the central role women play in sustaining their communities.

Days started early, often around 5am, which was an adjustment for me! After waking the village was already busy, with roosters crowing and neighbours already sweeping their yards or preparing food. One morning, I followed Ibu Lusi to the local market, where people were warm, curious, and eager to chat—especially when they saw I was clearly not from around there. It was a friendly, light-hearted environment, and people were constantly joking and laughing with one another. The whole trip had a relaxed and communal energy that made me feel genuinely welcome.

One of the key moments during my stay was attending a parenting class run by Mitra Wacana for local mothers. Ibu Lusi collaborated with Mitra Wacana to organise the event and acted as a sort of liaison to the community. It was informal and lively, with women attending with their children and learning together. The session covered everything from child development to the role of parents, all in a casual setting where babies crawled on the floor and conversations flowed naturally. It was another example of how community knowledge can be built and shared.

As an intern at Mitra Wacana, I was able to see firsthand how the organisation builds trust and connection at the grassroots level—particularly with women. Their programs, like the parenting class, don’t just deliver information—they create space for dialogue, leadership, and mutual learning. Being part of this work gave me a deeper understanding of how community development operates in practice, and how important it is to adapt to local knowledge and context. I saw how relationships—not just resources—are central to sustainable change, and how working from within the community, rather than outside it, leads to long-term impact.

Ibu Lusi teaches at a local kindergarten, and I joined her and the children on a field trip to visit a nearby royal grave site. After the excursion, we shared lunch on mats and chatted in the shade. Back at home, I helped feed the goats and ducks, joined in with cooking, and played badminton with neighbours. One evening, the power went out, but Ibu Lusi didn’t miss a beat—we cooked by candlelight, and within moments, everything was sorted. She has this calm, capable presence that makes it clear she can handle just about anything.

She’s also involved in a community garden where herbs and vegetables are grown and shared. The community works together to raise catfish, which are eaten by locals or sold at the market, giving residents of the village, particularly women, another source of income. Everyone seemed to know her, everywhere we went she was calling out ‘hello’ and we were often invited in for a drink and a chat. We also visited a neighbour who had recently given birth, bringing food and a small gift of money—a quiet, routine act of care.

I was regularly encouraged to istirahat (rest)—something that doesn’t come naturally in fast-paced, individualistic environments like Australia, where productivity often takes priority over connection. In Hargorejo, rest isn’t a luxury—it’s just part of the rhythm of life. People take breaks, nap together, share food, drop in on each other, and help without needing to be asked. One afternoon, I lay down with the family on a mat inside the house, doors open to the breeze, and joined them in resting. No schedule, no urgency—just a quiet part of the day.

Although I was a guest and clearly a foreigner, I felt at ease. My Indonesian language skills helped me take part in conversations and follow along with what was happening around me. People appreciated the effort, and it allowed me to participate more fully in everyday life. Although there were many times I could not fully understand, people were willing to make the effort to talk and engage with me, and there were many moments where verbal language was not needed to communicate ideas and thoughts.

Since then, I’ve already been invited back, and just yesterday I returned to see the kids graduate from kindergarten. After the ceremony, we took a boat ride along the beach and relaxed in the shade on the sand.

The whole experience was a reminder that there’s real value in slowness, community interdependence, and informal care networks. In contrast to the more individual-driven structures I’m used to in Australia, life in Hargorejo feels less rushed, more collaborative, and deeply relational. There’s something to learn here—not just about rural Indonesia, but about different ways of living well. It doesn’t mean everything is perfect, but it does show that community strength doesn’t only come from institutions or programs. Sometimes, it comes from the way people show up for each other, every day, without needing to be asked.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Peran Sastra Populer dalam Meningkatkan Literasi di Kalangan Remaja

Published

on

Penulis : Fatin Fashahah, Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas

Sastra populer sering dipandang rendah, dianggap hanya untuk hiburan, dangkal, atau terlalu komersial. Sikap seperti ini muncul dari pendapat bahwa karya populer tak setara dengan karya-karya yang biasanya dipelajari di bangku perkuliahan. Padahal, bagi banyak remaja, sastra populer justru menjadi pintu pertama untuk mulai suka membaca. Mengabaikan atau mengecilkan peran sastra populer berarti menutup kesempatan bagi generasi muda untuk jatuh cinta pada dunia tulisan.

UNESCO menyebut Indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya diangka 0,001% atau dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) dalam laman resminya juga pernah merilis hasil Riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Fakta ini menunjukkan bahwa masih rendahnya minat membaca rekreasi di banyak kelompok usia.

Namun, ketika pembaca terutama remaja diberi kebebasan memilih bacaan yang sesuai selera dan pengalaman mereka, minat membaca bisa saja meningkat. Dengan kata lain, relevansi isi buku terhadap kehidupan pembaca muda sangat menentukan apakah mereka akan terus membaca atau tidak. Sastra populer seperti buku young adult, novel roman remaja, dan cerita fantasi ringan sering kali menawarkan tema dan tokoh yang mudah dipahami remaja karena ceritanya seringkali dihubungkan dengan kehidupan remaja, sehingga mereka lebih tertarik untuk membaca.

Selain itu, sastra populer lebih mudah diakses lewat platform digital, cerita-cerita di aplikasi dan situs bacaan daring seperti Ipusnas, google play book, wattpad, karyakarsa dll. membuat remaja menemukan teks yang mereka suka kapan saja dengan mudah. Bentuk online juga mendorong interaksi pembaca bisa memberi komentar, berdiskusi, atau bahkan menulis kembali cerita mereka sendiri. Pengalaman berinteraksi seperti ini memberi dorongan kuat untuk terus membaca dan menulis. Beberapa karya yang awalnya populer di dunia maya kemudian diterbitkan secara cetak atau diadaptasi menjadi film dan serial menunjukkan bahwa bacaan populer punya peran penting dalam membangun ekosistem budaya yang lebih luas.

Penolakan terhadap sastra populer sering kali datang dari dua alasan utama. Pertama, alasan estetika, anggapan bahwa karya populer kurang bermutu secara sastra. Kedua, alasan moral atau konten bahwa beberapa cerita mengandung nilai yang dipertanyakan. Kritik seperti ini tidak salah jika tujuannya untuk memperbaiki kualitas karya. Namun, cara menanggapinya yang kurang tepat bisa membuat minat membaca remaja menjadi surut, seharusnya kita bukan melarang atau merendahkan bacaan tersebut. Akan lebih baik jika pembaca pemula diajarkan bagaimana cara membaca yang kritis. Dengan membimbing remaja membaca secara kritis, kita membantu mereka mengenali kekuatan dan kelemahan sebuah teks, sehingga pengalaman membaca menjadi lebih bermakna.

Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan minat membaca remaja diantaranya. Pertama, perpustakaan sekolah dan umum perlu menata koleksi yang seimbang baik karya klasik dan akademik berdampingan dengan bacaan populer. Pendekatan ini mengakui bahwa pembaca punya selera berbeda, dan memberi ruang bagi remaja yang sedang mencari gaya baca dan minat mereka. Kedua, guru dan pustakawan harus dilatih untuk memfasilitasi diskusi yang mengaitkan tema populer dengan konsep sastra dasar. Misalnya, dari sebuah novel populer, kita bisa mengajak pembaca membahas tokoh, alur, sudut pandang, atau pesan yang tersirat yanga terdapat di dalam novel tersebut. Langkah sederhana ini bisa mengubah bacaan ringan menjadi bahan belajar yang efektif.

Ketiga, adanya kegiatan klub baca dan lomba menulis berbasis minat yang bisa menghubungkan pembaca muda dengan mentor dan teman sebaya. Suasana komunitas yang saling mendukung membuat kegiatan membaca terasa lebih menyenangkan. Selain itu, adanya lomba menulis membuat remaja merasa diberi ruang kreatif untuk mengekspresikan dirinya. Keempat, harus ada kerja sama antara sekolah dengan platform digital. Hal ini penting untuk menyediakan akses yang aman dan terkurasi. Akses digital tanpa bimbingan bisa berisiko negatif dengan memperkenalkan konten yang kurang sesuai untuk pembaca dibawah umur. Oleh karena itu, peran pendidik dan orang tua tetap penting dalam menumbuhkan minat membaca terutama pembaca anak-anak dan remaja.

Secara budaya, sikap berhati-hati atau keraguan terhadap sastra populer sering kali membuat masyarakat melewatkan cerita-cerita yang sebenarnya dekat dengan kehidupan banyak orang, khususnya para remaja dari berbagai latar belakang. Karya populer dapat menjadi ruang untuk bereksperimen dengan bahasa, identitas, dan pengalaman sehari-hari. Ketika karya semacam ini dibahas di sekolah atau komunitas, karya tersebut berpotensi memperkaya imajinasi serta cara pandang masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. Dengan demikian, sastra populer tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga menjadi bagian dari wacana budaya yang turut membentuk cara berpikir dan berinteraksi dalam kehidupan sosial.

Kesimpulannya, alih-alih memandang sastra populer secara sebelah mata, akan lebih bermanfaat jika masyarakat mencoba melihat potensinya dalam meningkatkan minat baca dan memperkuat budaya literasi. Pendekatan yang inklusif dapat dimanfaatkan untuk menjadikan daya tarik sastra populer sebagai pintu masuk bagi pembaca pemula. Tentu saja, hal ini tetap perlu disertai dengan bimbingan dan adanya pengenalan terhadap keterampilan membaca kritis serta jenis bacaan yang lebih beragam. Dengan begitu, kebiasaan membaca tidak hanya meningkat, tetapi juga dapat mendorong perkembangan kemampuan berpikir dan berbahasa generasi muda.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending