web analytics
Connect with us

Opini

Estetika Trauma: Menilik Unsur Feminisme dalam Puisi “Semacam Trauma yang Kau Ceritakan Padaku” Karya Bima Yuswa

Published

on

Oleh Riby Oktadwiputri Mahasiswi Sastra Indonesia, Universitas Andalas

Masa kecil
di kepalamu serupa
semut merah
menggerogoti
sisa roti pagi tadi.
kau tau bahwa
menerka arah cahaya
di ruang gelap
hanyalah sia-sia.
dunia memang
gemar menyuguhkan
ragam ketakutan.
bahkan seekor semut mampu
menggigit lentik kulitmu
di ruangan yang hanya
berisi kau sendiri.
katamu, sejak semula
perempuan
telah dikutuk jadi Liyan,
tak diberi waktu
mengeja tubuhnya sendiri.
perempuan dipaksa jadi ulat
yang tak pernah sempat punya sayap

(Bima Yuswa dalam puisi “Semacam Trauma yang Kau Ceritakan Padaku”)

Dalam lanskap sastra modern, puisi menjadi ruang paling jujur untuk menyuarakan luka-luka yang tak tertampung dalam narasi besar. Ia hadir sebagai medium yang memungkinkan kesedihan, kehilangan, dan ketidakadilan dituturkan tanpa harus tunduk pada struktur yang baku. Melalui pilihan diksi dan imaji yang tepat dan tajam, puisi menyusup ke celah-celah pengalaman personal yang kerap terpinggirkan dalam wacana publik. Melalui bait-baitnya, suara-suara yang terabaikan menemukan keberanian untuk berbicara, bahkan berteriak, tentang apa yang selama ini hanya bisa dirasakan.

Salah satu unsur yang sangat erat kaitannya dengan puisi adalah estetika. Dalam pandangan Ratna (2015), estetika merupakan cabang filsafat yang membahas tentang keindahan, dan berakar dari kemampuan manusia dalam menangkap dunia melalui persepsi indrawi. Dalam puisi, estetika tidak hanya terlihat dari pemilihan diksi atau keharmonisan irama, tetapi juga dari kemampuannya menyentuh perasaan dan menggugah sisi kemanusiaan pembacanya. Puisi menjadikan estetika bukan sekadar hiasan pasif, melainkan sarana refleksi yang hidup, yang mampu mengubah luka menjadi lirik, duka menjadi bait, dan pengalaman manusia menjadi karya seni yang bernyawa. Dalam membangun sebuah puisi, penyair tentu perlu memperhatikan unsur-unsur pembentuknya, seperti pemilihan diksi dan penggunaan majas, agar makna yang ingin disampaikan dapat tercapai secara utuh dan menyentuh. Unsur-unsur inilah yang menjadi jembatan antara pengalaman batin penyair dan pembaca. Misalnya, puisi “Semacam Trauma yang Kau Ceritakan Padaku” dapat dianalisis melalui aspek estetikanya untuk melihat bagaimana keindahan bahasa menjadi medium ekspresi pengalaman emosional yang mendalam.

Puisi karya Bima Yuswa yang terbit di Langgam Pustaka pada tanggal 23 Mei 2025 menampilan kekuatan estetik yang berpijak pada luka kolektif perempuan. Dalam tubuh puisi ini, trauma tak hanya dipahami sebagai pengalaman personal, melainkan juga sebagai hasil dari sistem sosial yang timpang. Dari perspektif feminisme, puisi ini merupakan bentuk perlawanan yang sunyi namun tajam terhadap konstruksi patriarkal yang telah lama menghubungkan perempuan dan merampas hak mereka atas tubuh dan suara.  Estetika dalam puisi ini dibentuk oleh bahasa yang sederhana namun simbolik, dengan pemilihan diksi yang membangkitkan citraan traumatis dan nuansa ketertindasan yang halus.

Puisi ini dibuka dengan diksi yang sangat sederhana: “masa kecil di kepalamu serupa semut merah menggerogoti sisa roti pagi tadi.” Metafora ini tidak hanya menyampaikan luka masa lalu, tapi juga menunjukkan bagaimana pengalaman masa kecil perempuan bisa menjadi sumber trauma yang terus menggerogoti, seperti semut yang tak pernah berhenti. Roti pagi yang harusnya menjadi simbol kenyamanan rumah, justru menjadi benda yang menyimpan bekas gigitan, menggambarkan bahwa bahkan ruang domestik pun tidak selalu aman bagi perempuan. Dalam kerangka feminis, ruang domestik kerap dikonstruksikan sebagai tempat perempuan “seharusnya” berada, namun justru di sanalah sering terjadi kekerasan yang tak terlihat oleh dunia luar. Puisi ini berhasil menyentuh sisi itu tanpa eksplisit menyatakannya, menciptakan keindahan dari kepedihan yang tersembunyi.

Puncak estetika kritik feminis tampak ketika penyair mengatakan, “sejak semula perempuan telah dikutuk jadi Liyan.” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “Liyan” atau “yang lain” (the other) digunakan untuk merujuk pada orang lain atau sesuatu yang berbeda dari diri sendiri atau kelompok yang sedang dibicarakan. Di sini, penyair secara langsung mengangkat teori feminis eksistensialis ala Simone de Beauvoir, bahwa perempuan selalu dijadikan “yang lan” (Liyan) dalam sistem patriarki didefinisikan bukan sebagai subjek, melainkan sebagai objek dari pandangan laki-laki dan norma sosial. perempuan tidak diberi kesempatan untuk mengenali tubuhnya sendiri: “tak diberi waktu mengeja tubuhnya sendiri.” Tubuh perempuan dalam puisi ini menjadi arena konflik antara identitas personal  dan penindasan struktural. Ia tidak bebas memilih, tidak bebas bertumbuh, bahkan tidak diberi waktu untuk memahami dirinya sendiri.

Estetika puisi juga terbangun dari kesenyapan bentuknya. Baris-baris pendek, minim tanda baca, dan ritme yang seolah terengah-engah menggambarkan kesulitan mengungkapkan trauma. Ini mencerminkan pengalaman banyak perempuan yang hidup dalam budaya bisu, di mana berbicara tentang tubuh dan luka dianggap tabu atau tidak penting. Gaya seperti ini mempertegas gagasan feminim bahwa pengalaman perempuan sering kali tidak masuk dalam narasi besar masyarakat. Struktur puisi menjadi simbol dari ketertindasan itu, penuh jeda dan lirih.

Penutup dalam puisi ini menghadirkan simbol: “perempuan dipaksa jadi ulat yang tak sempat punya sayap.” Dalam simbol ini tersimpan kritik terhadap sistem yang mencegah perempuan mencapai potensi dia sepenuhnya. Dalam dunia biologis, ulat adalah makhluk dalam proses. Ia sebagai simbol makhluk yang seharusnya bertransformasi. Dibekap sebelum sempat menjadi kupu-kupu. Maka, ia hanya dibiarkan menggeliat dalam ketidaklengkapan. Ia dipaksa terus merayap di bumi, tak diizinkan terbang, tak diberi ruang untuk mewujudkan dirinya. Estetika puisi ini bukan hadir dengan bentuk kemegahan, tetapi melalui kesunyian  dan keterbatasan yang berhasil disuarakan. Di sinilah puisi menjadi bentuk seni yang politis, ia menyampaikan penderitaan bukan dengan teriakan, tetapi dengan bisikan yang menghantui.

Dengan menggunakan pendekatan feminisme, puisi ini dapat dilihat sebagai representasi dari pengalaman perempuan yang termajinalkan, tubuh yang terbungkam, dan identitas yang didefinisikan oleh orang lain. Estetika puisi ini terletak pada kesederhanaan bentuk yang membungkus luka kolektif, tentang bagaimana tubuh dan jiwa perempuan digerogoti oleh kekuatan yang tak kasatmata, baik itu masalalu, norma, maupun pandangan patriarkal yang masih membekas hingga hari ini. Keindahan puisi bukan hanya pada citraan atau diksi, tetapi pada kemampuannya menggambarkan bagaimana perempuan bertahan dalam sistem yang sejak awal tidak berpihak padanya. Dalam kesederhanaan bahasa yang lirih itu, puisi ini memancarkan kekuatan sebuah estetika yang lahir dari luka, dan keberanian untuk menyuarakannya.

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Stranger Things – Siap Melihat Kisah Akhir dari Kota Hawkins? Ini 5 Hal yang Bikin Stranger Things Iconic!

Published

on

Sumber foto: Stranger Things

Zaky Nur Maktsuroh

Halo! Kalian ada yang belum nonton serial Stranger Things? Ini adalah saatnya untuk langsung kejar semua season-nya! Serial ini salah satu serial terbaik yang pernah ada di Netflix. Dari season 1 sampai season 4, perjalanan serial ini bikin aku speechless. Dan pada bulan November 2025 ini, Stranger Things akan hadir kembali untuk final season. Sebelum nonton season 5 yuk kita throwback dulu!

Season 1: Kita ingat lagi saat seorang anak hilang di sebuah kota Hawkins. Ternyata ada cerita ke dunia lain yang disebut “Upside Down”! Plot twist yang gila. Season 1 ini misterinya dapat dan pengenalan karakter yang smooth. Winona Ryder sebagai Joyce Byers bawa beban emosional yang berat dengan sempurna, ini buat penonton nangis sih.

Season 2: Alurnya agak melambat di bagian tengah, tapi tetap worth it ditonton. Perkembangan karakternya terlihat, terutama Eleven. Lalu ada pengenalan Maxine yang fresh dan bikin vibes lebih colorful. Banyak orang bilang season ini “underrated“, tapi tetap punya momen emosi pastinya!

Season 3: SEASON 3 PALING KEREN! Dinamika karakter yang udah demasa, akting nya intens, dan yang bikin season ini paling keren adalah nostalgia 80s-nya. Dari setting mall, synth musik, dan pertemanan yang semakin solid bikin season ini banyak disukai orang.

Season 4:  Episode panjang dan munculnya Vecna sebagai penjahat yang legit menakutkan. Season ini ada yang suka dan ada yang kurang suka. Episode 1-7 mungkin agak membosankan, terus episode 8-9 boom! Semuanya seakan terjadi dalam satu waktu. Backstory-nya sangat kompleks. Chemistry Millie Bobby Brown dan Winona Ryder di season ini heartbreaking banget.

 

5 Hal yang Bikin Stranger Things Ikonik?

  1. Nostalgia 80s, dari fashion sampai musik vintage buat aestetik. Bagi yang pernah hidup di era 80-an, serial ini adalah perjalanan nostalgia yang menyenangkan. Sementara bagi generasi muda, Stranger Things menjadi jendela untuk melihat keindahan kesederhanaan masa lalu.
  2. Perkembangan Karakter yang smooth dari season 1 sampai season 4, perkembangan karakternya nya nggak terasa dipaksa. Terutama dari sekelompok anak-anak yang gemar bermain Dungeons & Dragons – Mike, Dustin, Lucas, dan Will – kita melihat mereka tumbuh dan berkembang melalui empat season.
  3. Kombinasi horror, drama, dan komedi yang seimbang. Serial ini tahu kapan harus takut, kapan harus fokus, dan kapan harus lucu. Kemampuan serial ini untuk berpindah antar genre dengan mulus tanpa kehilangan fokus cerita adalah hal yang keren.
  4. Persahabatan dan Kekeluargaannya yang solid, persahabatan Mike, Dustin, Lucas, dan Will adalah fondasi dari seluruh cerita, tidak peduli seberapa menakutkan ancaman yang kita hadapi, bersama teman-teman kita bisa menghadapi apa pun. Mereka menunjukkan loyalitas tanpa batas, saling melindungi, dan tidak pernah menyerah satu sama lain. Bahkan karakter-karakter dewasa seperti Joyce Byers dan Jim Hopper menunjukkan betapa kuatnya cinta dan pengorbanan untuk melindungi orang-orang yang mereka sayangi.
  5. Dunia Upside Down yang Misterius. Dimensi paralel yang gelap dan menakutkan ini menjadi sumber misteri dan ketegangan sepanjang serial. Monster-monster ikonik seperti Demogorgon, Mind Flayer, dan Vecna menjadi antagonis yang menakutkan sekaligus menarik. Setiap season mengungkap lebih banyak rahasia tentang dimensi ini, membuat penonton terus penasaran dan berspekulasi.

 

Nah, season 5 udah di depan mata! Ini final season, jadi harus menutup semua cerita dengan memuaskan. Sekarang tinggal tunggu season 5 dan bersiap-siap untuk petualangan terakhir! Siapa tau ada yang bakal bikin kita terharu. This is the end—jadi pastikan kalian sudah nonton season 1-4 sebelum season 5 tayang!

Highly recommended untuk semua orang! Serius, nggak peduli umur, series ini punya sesuatu untuk semua orang. Ada horror, drama, action, humor, dan nostalgia yang bikin kita penonton betah dan penasaran terus.

Happy watching!

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending