Opini
Estetika Trauma: Menilik Unsur Feminisme dalam Puisi “Semacam Trauma yang Kau Ceritakan Padaku” Karya Bima Yuswa

Published
3 weeks agoon
By
Mitra Wacana
Oleh Riby Oktadwiputri Mahasiswi Sastra Indonesia, Universitas Andalas
Masa kecil
di kepalamu serupa
semut merah
menggerogoti
sisa roti pagi tadi.
kau tau bahwa
menerka arah cahaya
di ruang gelap
hanyalah sia-sia.
dunia memang
gemar menyuguhkan
ragam ketakutan.
bahkan seekor semut mampu
menggigit lentik kulitmu
di ruangan yang hanya
berisi kau sendiri.
katamu, sejak semula
perempuan
telah dikutuk jadi Liyan,
tak diberi waktu
mengeja tubuhnya sendiri.
perempuan dipaksa jadi ulat
yang tak pernah sempat punya sayap
(Bima Yuswa dalam puisi “Semacam Trauma yang Kau Ceritakan Padaku”)
Dalam lanskap sastra modern, puisi menjadi ruang paling jujur untuk menyuarakan luka-luka yang tak tertampung dalam narasi besar. Ia hadir sebagai medium yang memungkinkan kesedihan, kehilangan, dan ketidakadilan dituturkan tanpa harus tunduk pada struktur yang baku. Melalui pilihan diksi dan imaji yang tepat dan tajam, puisi menyusup ke celah-celah pengalaman personal yang kerap terpinggirkan dalam wacana publik. Melalui bait-baitnya, suara-suara yang terabaikan menemukan keberanian untuk berbicara, bahkan berteriak, tentang apa yang selama ini hanya bisa dirasakan.
Salah satu unsur yang sangat erat kaitannya dengan puisi adalah estetika. Dalam pandangan Ratna (2015), estetika merupakan cabang filsafat yang membahas tentang keindahan, dan berakar dari kemampuan manusia dalam menangkap dunia melalui persepsi indrawi. Dalam puisi, estetika tidak hanya terlihat dari pemilihan diksi atau keharmonisan irama, tetapi juga dari kemampuannya menyentuh perasaan dan menggugah sisi kemanusiaan pembacanya. Puisi menjadikan estetika bukan sekadar hiasan pasif, melainkan sarana refleksi yang hidup, yang mampu mengubah luka menjadi lirik, duka menjadi bait, dan pengalaman manusia menjadi karya seni yang bernyawa. Dalam membangun sebuah puisi, penyair tentu perlu memperhatikan unsur-unsur pembentuknya, seperti pemilihan diksi dan penggunaan majas, agar makna yang ingin disampaikan dapat tercapai secara utuh dan menyentuh. Unsur-unsur inilah yang menjadi jembatan antara pengalaman batin penyair dan pembaca. Misalnya, puisi “Semacam Trauma yang Kau Ceritakan Padaku” dapat dianalisis melalui aspek estetikanya untuk melihat bagaimana keindahan bahasa menjadi medium ekspresi pengalaman emosional yang mendalam.
Puisi karya Bima Yuswa yang terbit di Langgam Pustaka pada tanggal 23 Mei 2025 menampilan kekuatan estetik yang berpijak pada luka kolektif perempuan. Dalam tubuh puisi ini, trauma tak hanya dipahami sebagai pengalaman personal, melainkan juga sebagai hasil dari sistem sosial yang timpang. Dari perspektif feminisme, puisi ini merupakan bentuk perlawanan yang sunyi namun tajam terhadap konstruksi patriarkal yang telah lama menghubungkan perempuan dan merampas hak mereka atas tubuh dan suara. Estetika dalam puisi ini dibentuk oleh bahasa yang sederhana namun simbolik, dengan pemilihan diksi yang membangkitkan citraan traumatis dan nuansa ketertindasan yang halus.
Puisi ini dibuka dengan diksi yang sangat sederhana: “masa kecil di kepalamu serupa semut merah menggerogoti sisa roti pagi tadi.” Metafora ini tidak hanya menyampaikan luka masa lalu, tapi juga menunjukkan bagaimana pengalaman masa kecil perempuan bisa menjadi sumber trauma yang terus menggerogoti, seperti semut yang tak pernah berhenti. Roti pagi yang harusnya menjadi simbol kenyamanan rumah, justru menjadi benda yang menyimpan bekas gigitan, menggambarkan bahwa bahkan ruang domestik pun tidak selalu aman bagi perempuan. Dalam kerangka feminis, ruang domestik kerap dikonstruksikan sebagai tempat perempuan “seharusnya” berada, namun justru di sanalah sering terjadi kekerasan yang tak terlihat oleh dunia luar. Puisi ini berhasil menyentuh sisi itu tanpa eksplisit menyatakannya, menciptakan keindahan dari kepedihan yang tersembunyi.
Puncak estetika kritik feminis tampak ketika penyair mengatakan, “sejak semula perempuan telah dikutuk jadi Liyan.” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “Liyan” atau “yang lain” (the other) digunakan untuk merujuk pada orang lain atau sesuatu yang berbeda dari diri sendiri atau kelompok yang sedang dibicarakan. Di sini, penyair secara langsung mengangkat teori feminis eksistensialis ala Simone de Beauvoir, bahwa perempuan selalu dijadikan “yang lan” (Liyan) dalam sistem patriarki didefinisikan bukan sebagai subjek, melainkan sebagai objek dari pandangan laki-laki dan norma sosial. perempuan tidak diberi kesempatan untuk mengenali tubuhnya sendiri: “tak diberi waktu mengeja tubuhnya sendiri.” Tubuh perempuan dalam puisi ini menjadi arena konflik antara identitas personal dan penindasan struktural. Ia tidak bebas memilih, tidak bebas bertumbuh, bahkan tidak diberi waktu untuk memahami dirinya sendiri.
Estetika puisi juga terbangun dari kesenyapan bentuknya. Baris-baris pendek, minim tanda baca, dan ritme yang seolah terengah-engah menggambarkan kesulitan mengungkapkan trauma. Ini mencerminkan pengalaman banyak perempuan yang hidup dalam budaya bisu, di mana berbicara tentang tubuh dan luka dianggap tabu atau tidak penting. Gaya seperti ini mempertegas gagasan feminim bahwa pengalaman perempuan sering kali tidak masuk dalam narasi besar masyarakat. Struktur puisi menjadi simbol dari ketertindasan itu, penuh jeda dan lirih.
Penutup dalam puisi ini menghadirkan simbol: “perempuan dipaksa jadi ulat yang tak sempat punya sayap.” Dalam simbol ini tersimpan kritik terhadap sistem yang mencegah perempuan mencapai potensi dia sepenuhnya. Dalam dunia biologis, ulat adalah makhluk dalam proses. Ia sebagai simbol makhluk yang seharusnya bertransformasi. Dibekap sebelum sempat menjadi kupu-kupu. Maka, ia hanya dibiarkan menggeliat dalam ketidaklengkapan. Ia dipaksa terus merayap di bumi, tak diizinkan terbang, tak diberi ruang untuk mewujudkan dirinya. Estetika puisi ini bukan hadir dengan bentuk kemegahan, tetapi melalui kesunyian dan keterbatasan yang berhasil disuarakan. Di sinilah puisi menjadi bentuk seni yang politis, ia menyampaikan penderitaan bukan dengan teriakan, tetapi dengan bisikan yang menghantui.
Dengan menggunakan pendekatan feminisme, puisi ini dapat dilihat sebagai representasi dari pengalaman perempuan yang termajinalkan, tubuh yang terbungkam, dan identitas yang didefinisikan oleh orang lain. Estetika puisi ini terletak pada kesederhanaan bentuk yang membungkus luka kolektif, tentang bagaimana tubuh dan jiwa perempuan digerogoti oleh kekuatan yang tak kasatmata, baik itu masalalu, norma, maupun pandangan patriarkal yang masih membekas hingga hari ini. Keindahan puisi bukan hanya pada citraan atau diksi, tetapi pada kemampuannya menggambarkan bagaimana perempuan bertahan dalam sistem yang sejak awal tidak berpihak padanya. Dalam kesederhanaan bahasa yang lirih itu, puisi ini memancarkan kekuatan sebuah estetika yang lahir dari luka, dan keberanian untuk menyuarakannya.
You may like
Opini
Catatan dari IGD: Anak Itu Pergi Setelah Disapa Sungai

Published
4 days agoon
14 July 2025By
Mitra Wacana
Oleh : Ferdi Ardian Saputra mahasiswa Sastra Indonesia,Universitas Andalas
Hari itu aku datang ke kampus Universitas Andalas dengan satu tujuan: latihan teater. Kami tengah bersiap untuk sebuah pertunjukan yang akan digelar bulan Juli mendatang. Latihan berjalan seperti biasa di salah satu sudut kampus yang ramai. Tapi suasana mendadak berubah ketika seorang anggota kelompok teater lain tiba-tiba jatuh pingsan.
Perempuan itu kira-kira setinggi bahuku—dan tinggi badanku 175 sentimeter. Ia mengenakan rok hitam, atasan bergaris biru-putih, dan jilbab hitam. Sekelompok teman perempuan dan beberapa senior laki-laki segera mengerubunginya. Bersama salah satu temannya, aku membawanya ke IGD Rumah Sakit Universitas Andalas.
Namun catatan ini bukan tentang dia, bukan tentang Intan—nama perempuan itu—melainkan tentang seseorang yang kutemui secara tak terduga di ruang gawat darurat itu. Seorang anak laki-laki, mungkin seusia murid kelas enam sekolah dasar, terbaring di atas kasur besi, tepat di zona merah—”redline”—ruang rawat bagi pasien paling kritis.
Tubuhnya kecil dan pucat, nyaris tak bergerak. Di sekelilingnya berdiri keluarga—ibu, nenek, sanak saudara. Wajah mereka penuh kecemasan, gelisah, dan mungkin sudah setengah pasrah. Saat itu, seorang dokter perempuan keluar dari ruangan. Ia mengenakan jas putih khas dokter, masker biru, jilbab putih, dan kemeja biru muda yang mengintip dari balik jasnya.
Dengan suara lembut namun serius, ia berbicara kepada ibu anak itu.
“Bu, kami minta izin untuk menangani anak Ibu. Kalau diizinkan, apa pun yang terjadi, Ibu harus ikhlas ya.”
Seketika, dunia seakan diam. Sang ibu menunduk, menahan tangis, lalu mengangguk. Hanya itu. Isyarat kecil yang membawa beban besar: menyerahkan nasib anaknya sepenuhnya pada tangan-tangan medis.
Aku berdiri agak jauh, hanya bisa menyaksikan. Tapi rasa penasaran mendorongku bertanya pada seorang nenek yang duduk tak jauh dariku. Ia ternyata nenek dari si anak. Dengan suara pelan, ia mulai bercerita.
“Anak ko pai main ka Batu Busuk patang jo kawan-kawannyo, pulang dari sinan langsung lameh… ternyata nyo tasapo dek mandi-mandi di sinan.”
Tersapa. Dalam kepercayaan masyarakat sekitar, “tersapa” berarti terkena gangguan halus—dalam hal ini, saat bermain di kawasan Batu Busuk. Bukannya langsung dibawa ke rumah sakit, sang anak justru dibawa ke seorang medium kampung. Upaya tradisional itu berlangsung berhari-hari, hingga minggu ketiga. Saat kondisinya makin menurun, barulah ia dilarikan ke rumah sakit.
Waktu terus berjalan. Suasana IGD penuh dengan ketegangan tak bersuara. Tiba-tiba, dokter yang tadi keluar lagi dari balik pintu. Kali ini ia tak membawa harapan.
“Maaf, Bu… kami sudah mencoba. Kami mohon maaf, kami tidak bisa menyelamatkan anak Ibu.”
Sejurus kemudian, rumah sakit seperti runtuh oleh tangisan. Ibu itu meraung. Keluarga menjerit. Para petugas medis hanya bisa berdiri—mereka sudah terbiasa, tapi tak pernah benar-benar kebal terhadap duka yang berulang.
Di pojok ruangan, aku berdiri mematung. Baru saja tadi aku datang untuk latihan teater. Tapi di rumah sakit itu, aku menyaksikan panggung yang jauh lebih nyata—tentang kehilangan, pasrah, dan seorang anak kecil yang berpulang setelah “disapa” oleh sesuatu yang tak kasatmata.
Satu hal yang membuat aku tersendu, ketika kakak anak ini berkata “Maaf dek, ini salah kakak, kakak yang tidak melarang kamu untuk kesana”.