Opini
ESTETIKA SATIRE DALAM CERPEN ULAR KARYA SALWA RATRI WAHYUNI

Published
3 weeks agoon
By
Mitra Wacana

Natalia Zebua mahasiswi jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas.
Dalam dunia sastra, estetika adalah unsur penting yang menjadi penentu kualitas dan keindahan sebuah karya. Estetika berasal dari bahasa Yunani yaitu aistetis yang berarti keindahan dan dalam konteks seni, estetika merujuk pada nilai-nilai keindahan, harmoni, serta rasa yang dihasilkan dari suatu ciptaan. Estetika tidak hanya dilihat dari segi bentuk atau gaya penulisan, tetapi juga dari makna dan pesan yang disampaikan secara halus maupun gamblang kepada pembaca. Dalam sastra, estetika menjadi jembatan antara pesan pengarang dan respons emosional pembaca. Salah satu bentuk estetika yang sering digunakan dalam karya sastra, terutama dalam konteks kritik sosial, adalah satire.
Satire adalah gaya penulisan yang menyampaikan kritik dengan cara menyindir, mengejek, atau menyampaikan ironi terhadap kondisi sosial, politik, atau budaya tertentu. Satire menjadi menarik karena kemampuannya membungkus kritik tajam dengan kemasan yang lucu, mengejutkan, bahkan absurd. Dalam cerpen Ular karya Salwa Ratri Wahyuni, estetika satire hadir dengan kuat dan menjadi inti dari pengalaman membaca yang tidak hanya menghibur, tetapi juga menggugah kesadaran.
Cerpen Ular bercerita tentang seorang tukang ojek online bernama Sentot yang mengalami nasib sial saat motornya dicuri. Ia kemudian pergi ke kantor polisi untuk membuat laporan, namun di sana ia justru menghadapi pelayanan yang sangat buruk, penuh sikap acuh tak acuh dan ketidaksopanan dari para polisi. Dalam kondisi frustrasi dan tanpa harapan, tiba-tiba seekor ular piton besar masuk ke kantor polisi dan menimbulkan kepanikan luar biasa. Para polisi yang sebelumnya garang dan merasa berkuasa mendadak menjadi tak berdaya, lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Dalam kekacauan tersebut, tiga remaja yang sebelumnya ditahan karena tawuran justru ikut dibebaskan begitu saja, tanpa proses hukum lanjutan. Mereka pun keluar dan mampir ke warung mie ayam sambil menceritakan pengalaman mereka dengan nada heran dan geli.
Melalui alur yang sederhana namun sarat makna, Salwa Ratri Wahyuni menghadirkan kritik sosial yang tajam terhadap pelayanan publik, khususnya institusi kepolisian, dengan pendekatan estetika satire. Cerita ini mengungkapkan betapa institusi yang seharusnya melindungi rakyat justru menunjukkan sikap sewenang-wenang, tidak kompeten, bahkan pengecut saat berhadapan dengan situasi genting.
Satire paling kuat dalam cerpen ini diarahkan kepada institusi kepolisian yang digambarkan sebagai tidak profesional, malas, dan arogan. Polisi dalam cerita ini tidak menangani laporan Sentot dengan serius, mereka justru lebih banyak mengabaikan dan meremehkan. Ketika situasi mendesak datang seekor ular piton masuk ke kantor mereka malah panik, lari tunggang langgang, menunjukkan bahwa wibawa mereka selama ini hanyalah sebatas formalitas. Kejadian ini secara satiris menunjukkan bagaimana aparat penegak hukum bisa kehilangan otoritasnya saat menghadapi ancaman yang tidak bisa mereka kendalikan, bahkan jika itu hanya seekor binatang.
Meski membawa pesan serius, cerpen ini dikemas dengan cara yang ringan dan menghibur. Humor hadir secara alami dalam narasi, terutama dalam ironi yang timbul dari kontras antara sikap garang polisi dengan reaksi ketakutan mereka terhadap ular. Adegan polisi lari dari ular sambil meninggalkan tugas dan tahanan menciptakan efek humor yang kuat namun tetap menyampaikan kritik sosial yang tajam. Humor ini bukan semata-mata untuk menghibur, tetapi berfungsi sebagai perangkat estetika untuk menyampaikan pesan dengan lebih halus namun mengena.
Salwa Ratri Wahyuni tidak hanya menyindir aparat kepolisian, tetapi juga menggambarkan betapa masyarakat kecil seperti Sentot sering menjadi korban dari sistem birokrasi yang tidak adil dan lamban. Sentot, yang seharusnya mendapatkan perlindungan dan bantuan, justru diperlakukan dengan kasar dan tidak manusiawi. Hal ini mencerminkan kondisi nyata di masyarakat, di mana keadilan sering kali berpihak kepada mereka yang punya kuasa, sementara rakyat biasa harus menanggung ketidakadilan dan kelambanan birokrasi. Cerpen ini mengajak pembaca untuk merefleksikan kondisi tersebut melalui pendekatan sastra yang estetis dan satiris.
Ular piton dalam cerita ini bukan sekadar hewan yang menciptakan kekacauan, tetapi simbol dari perubahan tak terduga yang mengguncang tatanan yang mapan. Ular menjadi metafora dari kekuatan luar yang bisa menggoyahkan sistem yang korup dan penuh kepalsuan. Ia tidak berkata-kata, tidak berpihak, tetapi kehadirannya justru membuka mata bahwa struktur kekuasaan yang tampak kokoh sebenarnya rapuh dan bisa runtuh kapan saja. Simbolisme ini memperkaya nilai estetika cerita dengan memberikan kedalaman makna dan interpretasi filosofis kepada pembaca.
Penyelesaian konflik dalam cerpen ini juga menegaskan nilai estetika satire. Sentot akhirnya memilih pergi tanpa hasil dari kantor polisi, yang menggambarkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi hukum. Sementara itu, tiga remaja yang dibebaskan tanpa alasan yang sah menunjukkan bagaimana hukum bisa menjadi lelucon ketika dihadapkan pada situasi yang tidak biasa.
Dalam keseluruhan cerpen, Salwa Ratri Wahyuni berhasil menghadirkan estetika satire yang tajam namun elegan. Ia tidak menggurui, tidak menyerang secara langsung, tetapi menggunakan kekuatan cerita, karakter, simbol, dan humor untuk mengajak pembaca berpikir dan merasa. Estetika satire dalam cerpen Ular memperlihatkan bahwa sastra bisa menjadi alat yang ampuh untuk menyuarakan kritik dan memperjuangkan perubahan sosial.
Akhirnya, cerpen Ular adalah cermin dari kenyataan yang dipoles dengan gaya satire. Keindahannya tidak terletak pada romantisme atau kepahlawanan tokoh-tokohnya, melainkan pada kejujuran, dan keberaniannya dalam mengungkap realitas. Dengan estetika satire sebagai senjata, Salwa Ratri Wahyuni menunjukkan bahwa cerita pendek pun bisa mengguncang kesadaran dan mengundang renungan panjang.
You may like
Opini
Catatan dari IGD: Anak Itu Pergi Setelah Disapa Sungai

Published
4 days agoon
14 July 2025By
Mitra Wacana
Oleh : Ferdi Ardian Saputra mahasiswa Sastra Indonesia,Universitas Andalas
Hari itu aku datang ke kampus Universitas Andalas dengan satu tujuan: latihan teater. Kami tengah bersiap untuk sebuah pertunjukan yang akan digelar bulan Juli mendatang. Latihan berjalan seperti biasa di salah satu sudut kampus yang ramai. Tapi suasana mendadak berubah ketika seorang anggota kelompok teater lain tiba-tiba jatuh pingsan.
Perempuan itu kira-kira setinggi bahuku—dan tinggi badanku 175 sentimeter. Ia mengenakan rok hitam, atasan bergaris biru-putih, dan jilbab hitam. Sekelompok teman perempuan dan beberapa senior laki-laki segera mengerubunginya. Bersama salah satu temannya, aku membawanya ke IGD Rumah Sakit Universitas Andalas.
Namun catatan ini bukan tentang dia, bukan tentang Intan—nama perempuan itu—melainkan tentang seseorang yang kutemui secara tak terduga di ruang gawat darurat itu. Seorang anak laki-laki, mungkin seusia murid kelas enam sekolah dasar, terbaring di atas kasur besi, tepat di zona merah—”redline”—ruang rawat bagi pasien paling kritis.
Tubuhnya kecil dan pucat, nyaris tak bergerak. Di sekelilingnya berdiri keluarga—ibu, nenek, sanak saudara. Wajah mereka penuh kecemasan, gelisah, dan mungkin sudah setengah pasrah. Saat itu, seorang dokter perempuan keluar dari ruangan. Ia mengenakan jas putih khas dokter, masker biru, jilbab putih, dan kemeja biru muda yang mengintip dari balik jasnya.
Dengan suara lembut namun serius, ia berbicara kepada ibu anak itu.
“Bu, kami minta izin untuk menangani anak Ibu. Kalau diizinkan, apa pun yang terjadi, Ibu harus ikhlas ya.”
Seketika, dunia seakan diam. Sang ibu menunduk, menahan tangis, lalu mengangguk. Hanya itu. Isyarat kecil yang membawa beban besar: menyerahkan nasib anaknya sepenuhnya pada tangan-tangan medis.
Aku berdiri agak jauh, hanya bisa menyaksikan. Tapi rasa penasaran mendorongku bertanya pada seorang nenek yang duduk tak jauh dariku. Ia ternyata nenek dari si anak. Dengan suara pelan, ia mulai bercerita.
“Anak ko pai main ka Batu Busuk patang jo kawan-kawannyo, pulang dari sinan langsung lameh… ternyata nyo tasapo dek mandi-mandi di sinan.”
Tersapa. Dalam kepercayaan masyarakat sekitar, “tersapa” berarti terkena gangguan halus—dalam hal ini, saat bermain di kawasan Batu Busuk. Bukannya langsung dibawa ke rumah sakit, sang anak justru dibawa ke seorang medium kampung. Upaya tradisional itu berlangsung berhari-hari, hingga minggu ketiga. Saat kondisinya makin menurun, barulah ia dilarikan ke rumah sakit.
Waktu terus berjalan. Suasana IGD penuh dengan ketegangan tak bersuara. Tiba-tiba, dokter yang tadi keluar lagi dari balik pintu. Kali ini ia tak membawa harapan.
“Maaf, Bu… kami sudah mencoba. Kami mohon maaf, kami tidak bisa menyelamatkan anak Ibu.”
Sejurus kemudian, rumah sakit seperti runtuh oleh tangisan. Ibu itu meraung. Keluarga menjerit. Para petugas medis hanya bisa berdiri—mereka sudah terbiasa, tapi tak pernah benar-benar kebal terhadap duka yang berulang.
Di pojok ruangan, aku berdiri mematung. Baru saja tadi aku datang untuk latihan teater. Tapi di rumah sakit itu, aku menyaksikan panggung yang jauh lebih nyata—tentang kehilangan, pasrah, dan seorang anak kecil yang berpulang setelah “disapa” oleh sesuatu yang tak kasatmata.
Satu hal yang membuat aku tersendu, ketika kakak anak ini berkata “Maaf dek, ini salah kakak, kakak yang tidak melarang kamu untuk kesana”.