web analytics
Connect with us

Opini

Gaya Bahasa Metaforis dalam Cerpen Dodolitdodolitdodolibret Karya Seno Gumira Ajidarma: Bunyi, Doa, dan Kritik atas Kekuasaan

Published

on

Oleh: Dhia Qatrunnada

Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

 Dalam dunia sastra Indonesia kontemporer, karya-karya Seno Gumira Ajidarma dikenal sebagai pertemuan antara kesadaran sosial dan kreativitas bahasa. Salah satu karyanya yang menyuguhkan pengalaman membaca yang tidak biasa adalah cerpen Dodolitdodolitdodolibret, sebuah cerpen yang dari judulnya saja sudah menyiratkan permainan bunyi yang memancing tanya. Namun, di balik permainan bunyi tersebut tersembunyi sebuah kritik tajam terhadap kekuasaan simbolik dan formalitas spiritual dalam kehidupan manusia modern.

Cerita ini mengisahkan Kiplik, seorang tokoh yang menjalani perjalanan spiritual untuk menemukan makna dari doa yang “benar”. Kiplik percaya bahwa banyak orang berdoa hanya sebatas ucapan lisan, mengandalkan hafalan dan kebiasaan, tanpa benar-benar memahami atau meresapi makna dari doa itu. Ia meyakini bahwa siapa pun yang mampu berdoa dengan benar akan mendapatkan pencerahan jiwa, bahkan digambarkan secara metaforis mampu “berjalan di atas air”. Gagasan ini tentu tidak dimaksudkan secara harfiah, melainkan sebagai simbol dari tingkat spiritualitas yang sangat tinggi, ketenangan batin, kebebasan dari kekacauan duniawi, dan hubungan yang intim dengan Yang Maha Kuasa.

Judul Dodolitdodolitdodolibret sendiri merupakan simbol dari kekosongan makna dalam simbol-simbol verbal yang terlalu sering kita ulang tanpa refleksi. Bunyi-bunyi aneh dan berulang itu menggambarkan bentuk komunikasi atau ritual yang kehilangan ruh. Dalam kehidupan beragama, dalam praktik kekuasaan, bahkan dalam kehidupan sosial kita sehari- hari, berapa banyak kata dan kalimat yang kita ucapkan tanpa benar-benar memahami atau merasakan artinya. Seno secara pandai menggunakan bentuk bunyi tersebut untuk menyindir kebiasaan manusia yang terjebak dalam simbolisme tanpa dasar. Kalimat yang semestinya menjadi ungkapan keimanan dan penghayatan spiritual justru menjelma menjadi rangkaian kata tanpa makna. Bunyi menjadi penanda kekuasaan, tetapi bukan lagi penanda kebenaran.

Di titik ini, gaya metaforis yang digunakan Seno tidak sekadar memperindah narasi, tetapi menjelma menjadi kritik sosial dan spiritual. Bunyi-bunyi absurd dalam cerpen bukan hanya menarik perhatian, melainkan mengajak pembaca untuk merenungi kembali hubungan mereka dengan bahasa dan makna. Apakah kita benar-benar memahami apa yang kita ucapkan dalam doa, atau hanya sekadar mengulang-ulang apa yang diajarkan? Apakah kita menyembah dengan hati, atau hanya meniru suara dan gerak tanpa kesadaran?

Metafora “berjalan di atas air” dalam cerpen ini bukan hanya menyiratkan sebuah mukjizat atau keajaiban, tetapi menjadi representasi dari kebebasan jiwa yang telah mencapai tingkat spiritual tertinggi. Air, yang sering kali dikaitkan dengan kedalaman emosi dan ketenangan batin, menjadi medium simbolik yang menguji apakah seseorang telah benar-benar melampaui batas-batas duniawi. Hanya jiwa yang jernih dan penuh keyakinan yang mampu melangkah di atasnya. Kiplik sebagai tokoh yang berhasil meraih pemahaman ini menjadi simbol dari manusia tercerahkan yang membebaskan diri dari sekadar formalitas agama menuju pengalaman spiritual yang otentik.

Puncak cerita yang mengisahkan Kiplik tiba di sebuah pulau kecil yang tersembunyi, dihuni oleh orang-orang yang terus berdoa dengan tekun, juga menghadirkan simbol yang menarik. Pulau tersebut, yang begitu terpencil dan nyaris tidak terjangkau, melambangkan ruang kesalehan murni yang tidak tersentuh oleh hiruk-pikuk dunia luar. Para penghuni pulau bahkan tidak ingin pergi ke mana-mana karena kehidupan mereka sudah cukup dengan doa. Namun, setelah Kiplik mengajarkan cara berdoa yang benar, mereka justru berlari-lari di atas air, menyadari bahwa doa mereka akhirnya menjadi bermakna. Ironisnya, mereka kemudian memanggil kembali Kiplik karena lupa bagaimana caranya. Hal ini menjadi kritik tajam terhadap manusia modern yang mudah lupa, terlalu tergantung pada figur pembimbing, dan tidak mampu menjaga kedalaman spiritual yang telah dicapai.

Cerpen ini memperlihatkan bahwa gaya bunyi dalam bahasa, jika dimanfaatkan secara cermat, bukan sekadar hiasan dalam karya sastra. Bunyi dapat menjadi alat stilistik yang kuat untuk mempertanyakan kekuasaan, memparodikan kebiasaan, dan membongkar kepalsuan dalam tatanan sosial maupun spiritual. Dalam Dodolitdodolitdodolibret, Seno seolah ingin menyatakan bahwa dunia kita penuh dengan kebisingan simbolik, kita hidup di tengah kata- kata yang terdengar megah tetapi kosong makna. Oleh karena itu, tugas manusia adalah memaknai ulang setiap bunyi, setiap doa, dan setiap ucapan, agar kembali bermakna dan hidup secara batiniah.

Dengan pendekatan stilistika metaforis, Seno Gumira Ajidarma tidak hanya menampilkan cerpen yang menarik dari segi gaya bahasa, tetapi juga menyajikan karya yang menggugah pemikiran dan kepekaan spiritual. Cerita ini bukan semata kisah tentang Kiplik dan doanya, melainkan sebuah refleksi kritis terhadap cara manusia modern memahami dan memperlakukan bahasa, agama, serta kekuasaan simbolik. Dodolitdodolitdodolibret bukan sekadar deretan kata sebagai judul, melainkan cermin dari kekosongan makna yang sering menyelimuti kehidupan simbolik kita. Namun bersamaan dengan itu, cerpen ini juga menunjukkan bahwa dengan kesadaran yang mendalam, bahkan bunyi yang semula tampak tak bermakna sekalipun, bisa menjadi ungkapan cinta dan doa yang paling jujur..

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Stranger Things – Siap Melihat Kisah Akhir dari Kota Hawkins? Ini 5 Hal yang Bikin Stranger Things Iconic!

Published

on

Sumber foto: Stranger Things

Zaky Nur Maktsuroh

Halo! Kalian ada yang belum nonton serial Stranger Things? Ini adalah saatnya untuk langsung kejar semua season-nya! Serial ini salah satu serial terbaik yang pernah ada di Netflix. Dari season 1 sampai season 4, perjalanan serial ini bikin aku speechless. Dan pada bulan November 2025 ini, Stranger Things akan hadir kembali untuk final season. Sebelum nonton season 5 yuk kita throwback dulu!

Season 1: Kita ingat lagi saat seorang anak hilang di sebuah kota Hawkins. Ternyata ada cerita ke dunia lain yang disebut “Upside Down”! Plot twist yang gila. Season 1 ini misterinya dapat dan pengenalan karakter yang smooth. Winona Ryder sebagai Joyce Byers bawa beban emosional yang berat dengan sempurna, ini buat penonton nangis sih.

Season 2: Alurnya agak melambat di bagian tengah, tapi tetap worth it ditonton. Perkembangan karakternya terlihat, terutama Eleven. Lalu ada pengenalan Maxine yang fresh dan bikin vibes lebih colorful. Banyak orang bilang season ini “underrated“, tapi tetap punya momen emosi pastinya!

Season 3: SEASON 3 PALING KEREN! Dinamika karakter yang udah demasa, akting nya intens, dan yang bikin season ini paling keren adalah nostalgia 80s-nya. Dari setting mall, synth musik, dan pertemanan yang semakin solid bikin season ini banyak disukai orang.

Season 4:  Episode panjang dan munculnya Vecna sebagai penjahat yang legit menakutkan. Season ini ada yang suka dan ada yang kurang suka. Episode 1-7 mungkin agak membosankan, terus episode 8-9 boom! Semuanya seakan terjadi dalam satu waktu. Backstory-nya sangat kompleks. Chemistry Millie Bobby Brown dan Winona Ryder di season ini heartbreaking banget.

 

5 Hal yang Bikin Stranger Things Ikonik?

  1. Nostalgia 80s, dari fashion sampai musik vintage buat aestetik. Bagi yang pernah hidup di era 80-an, serial ini adalah perjalanan nostalgia yang menyenangkan. Sementara bagi generasi muda, Stranger Things menjadi jendela untuk melihat keindahan kesederhanaan masa lalu.
  2. Perkembangan Karakter yang smooth dari season 1 sampai season 4, perkembangan karakternya nya nggak terasa dipaksa. Terutama dari sekelompok anak-anak yang gemar bermain Dungeons & Dragons – Mike, Dustin, Lucas, dan Will – kita melihat mereka tumbuh dan berkembang melalui empat season.
  3. Kombinasi horror, drama, dan komedi yang seimbang. Serial ini tahu kapan harus takut, kapan harus fokus, dan kapan harus lucu. Kemampuan serial ini untuk berpindah antar genre dengan mulus tanpa kehilangan fokus cerita adalah hal yang keren.
  4. Persahabatan dan Kekeluargaannya yang solid, persahabatan Mike, Dustin, Lucas, dan Will adalah fondasi dari seluruh cerita, tidak peduli seberapa menakutkan ancaman yang kita hadapi, bersama teman-teman kita bisa menghadapi apa pun. Mereka menunjukkan loyalitas tanpa batas, saling melindungi, dan tidak pernah menyerah satu sama lain. Bahkan karakter-karakter dewasa seperti Joyce Byers dan Jim Hopper menunjukkan betapa kuatnya cinta dan pengorbanan untuk melindungi orang-orang yang mereka sayangi.
  5. Dunia Upside Down yang Misterius. Dimensi paralel yang gelap dan menakutkan ini menjadi sumber misteri dan ketegangan sepanjang serial. Monster-monster ikonik seperti Demogorgon, Mind Flayer, dan Vecna menjadi antagonis yang menakutkan sekaligus menarik. Setiap season mengungkap lebih banyak rahasia tentang dimensi ini, membuat penonton terus penasaran dan berspekulasi.

 

Nah, season 5 udah di depan mata! Ini final season, jadi harus menutup semua cerita dengan memuaskan. Sekarang tinggal tunggu season 5 dan bersiap-siap untuk petualangan terakhir! Siapa tau ada yang bakal bikin kita terharu. This is the end—jadi pastikan kalian sudah nonton season 1-4 sebelum season 5 tayang!

Highly recommended untuk semua orang! Serius, nggak peduli umur, series ini punya sesuatu untuk semua orang. Ada horror, drama, action, humor, dan nostalgia yang bikin kita penonton betah dan penasaran terus.

Happy watching!

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending