web analytics
Connect with us

Publikasi

Kisah Mitra Wacana Mengedukasi Remaja Sekolah untuk Pencegahan HIV-AIDS

Published

on

HIV-AIDS
Pegiat Mitra Wacana

Wahyu Tanoto

Bagian 2 Buku Menyuarakan Kesunyian

Berjabat tangan, berpelukan, berbagi alat makan, berenang bersama, gigitan serangga, merupakan mitos penularan HIV yang masih dipercaya oleh sebagian kecil kalangan. Akibatnya, stigma negatif dan perlakuan tidak adil makin menggejala. Menurut Yayasan Spiritia Indonesia, stigma dan diskriminasi menyebabkan orang dengan HIV (ODHIV) tidak melakukan pengobatan hingga 2-3 tahun setelah dilakukan pemeriksaan.

Munculnya resistansi terhadap materi Komunikasi, Edukasi, dan Informasi (KIE) yang didalamnya terdapat kontrasepsi kondom sebagai alat mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual, disinyalir terjadi karena diseminasi isu HIV – AIDS belum lengkap. Penyebutan kata kondom acapkali dikonotasikan negatif. Bahkan, menjadi alasan menolak edukasi pada remaja sekolah.

Isu keadilan dan kesetaraan gender juga menjadi diskursus ketika alat kontrasepsi kondom hanya diperkenalkan kepada laki-laki. Di sisi lain, hadirnya kondom  untuk  perempuan  juga  menuai  dukungan dan penolakan. Proses pemasangan yang cukup rumit, menjadikan perempuan rentan mengalami kekerasan berulang ketika dipaksa menggunakannya. Materi KIE yang menampilkan kondom sebagai salah satu cara mencegah HIV – AIDS, hampir semua kalangan dapat memahaminya. Hanya saja ada yang menganggap belum tepat diperkenalkan kepada remaja sekolah.

Hadirnya kebijakan layanan terpadu integrasi HIV-AIDS juga belum merata di semua daerah. HIV – AIDS cenderung dilihat hanya sebagai  fakta  Kesehatan. Belum kuatnya perspektif layanan ramah remaja dan penempatan posisi ruang Voluntary Counseling and Testing (VCT) atau tes HIV secara sukarela yang cenderung belum representatif, justru makin “memperparah” stigma dan diskriminasi terhadap mereka ketika mengakses layanan. Akibatnya isu HIV – AIDS pada remaja kerap luput dari intervensi.

Kondisi di atas, mendorong Mitra Wacana merasa perlu melakukan peningkatan kapasitas remaja sekolah SMA/SMU/Sederajat  marginal   untuk   isu   keadilan dan kesetaraan gender  serta  pencegahan  HIV   AIDS di Kabupaten Sleman dan Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sekolah di Kabupaten Bantul, yaitu: SMA 1 Pajangan, MA Negeri 3 Wonokromo dan SMA Patria. Kabupaten Sleman: Madrasah Aliah (MA) Pandaranan, SMA Seyegan dan SMK Yapemda. Pelaksanaan program bekerja sama dengan Gender Development Projcet (GDP) yang tergabung dalam koalisi STOP AIDS NOW (SAN), melibatkan berbagai organisasi kemasyarakatan di Jawa dan Papua.

Mitra Wacana memilih mendampingi 6 sekolah di 2 kabupaten didasarkan pada: belum/tidak pernah didampingi oleh LSM, letak posisi sekolah berada di pinggiran, minim akses terhadap informasi HIV – AIDS, bukan merupakan sekolah unggulan, kurang diminati oleh masyarakat, dan sebagian besar murid berasal dari keluarga kurang harmonis (broken home) atau pernah ada informasi Kekerasan Dalam Pacaran (KDP).

Setidaknya, sejumlah 30 orang remaja sekolah terdiri dari perempuan dan laki-laki yang rata-rata kelas 10 dan 11 sebagai penerima manfaat langsung. Sedangkan pendidik/wali kelas, orang tua peserta didik, teman sebaya di lingkungan tempat tinggal siswa merupakan penerima manfaat tidak langsung.

Remaja dan HIV – AIDS

Menurut www.kompas.id menyebutkan bahwa pada 2019, 1.434 anak usia 15-19 tahun terinfeksi HIV. Jumlah ini setara dengan 49 persen total anak yang terinfeksi HIV pada 2018. Sementara pada kelompok usia 0-4 tahun, 988 anak (34 persen) tertular HIV. Rentang usia 0-4 tahun merupakan kelompok yang paling menunjukkan peningkatan paling tinggi dibandingkan usia 5-14 tahun dan 15-19 tahun. Jika pada 2010 terdapat 390 anak usia 0-4 tahun terinfeksi HIV, jumlahnya meningkat lebih dari 2,5 kali lipat menjadi 988 anak pada 2018.

“Apa yang membuatmu terdorong untuk melakukan

VCT?”

“Karena saya pernah mendapatkan donor darah” “Pernah kecelakaan?”

“Iya”

“Kira-kira 6 bulan yang lalu”. Ungkap Sidik Nur Kholis alias Sidig dalam satu adegan dialog dengan konselor dalam film PINGIN VCT yang dikerjakan oleh sekelompok remaja sekolah. Mereka tergabung dalam forum Remaja Peduli (RemPed).

Sidig, bersama teman-teman sebaya di RemPed, percaya bahwa remaja sekolah bisa terlibat aktif melakukan pencegahan HIV – AIDS. Bagi Sidig dan kawan-kawan, munculnya ide membuat film karena merasa membutuhkan alat mengedukasi isu HIV – AIDS pada remaja sekolah. Menurut mereka, film lebih efektif dan informatif sebagai penyampai pesan.

Mereka mendapatkan peningkatan  pengetahuan dan pendampingan selama proses pembuatan film oleh Yayasan Kampung Halaman hingga selesai. Film telah diputar di berbagai pertemuan: kelompok remaja, di aula Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta dan pertemuan lintas sektor penanggulangan HIV – AIDS oleh Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DIY.

HIV atau human immune deficiency virus adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh Manusia. AIDS atau acquired immunodeficiency syndrome, yaitu sekumpulan tanda dan gejala penyakit akibat hilangnya/ menurunnya kekebalan tubuh (karena infeksi lanjut HIV). Atau, HIV menyebabkan AIDS dan mengganggu kemampuan tubuh untuk melawan infeksi.

Remaja, mengalami situasi yang tidak mudah karena sebagai kelompok rentan terinfeksi HIV – AIDS. Menurut Ryan Sara Pratiwi, dalam Remaja Rentan Tertular HIV/ AIDS, Ini yang Perlu Diketahui, karena faktor perilaku dan perkembangan emosionalnya. Oleh karenanya menjadi hal penting terutama bagi orang terdekat remaja supaya memiliki percakapan lebih terbuka pada isu seksualitas sehat. Apalagi, norma dan gaya hidup sosial telah berubah. Tampaknya lebih banyak remaja terpapar materi seksual, serta akses yang lebih mudah melalui internet.

Seperti diketahui, setiap orang rentan terinfeksi HIV

  • Namun, harus terpenuhi syarat penularannya. Ada empat cara penularan HIV, yaitu; Pertama, melalui hubungan seksual bergonta-ganti pasangan yang tidak menggunakan kondom. Kedua, melalui transfusi darah. Ketiga, penggunaan jarum suntik yang tidak steril secara bergantian. Keempat, melalui proses pemberian ASI kepada bayi. Media penularannya melalui 4 cairan, yaitu: cairan alat kelamin, cairan darah, dan ASI perempuan HIV positif tanpa mengonsumsi ARV rutin.

Dalam HIV – AIDS, ada yang terdeteksi dalam jangka waktu relatif cepat. Sekitar dua minggu hingga enam bulan atau disebut sebagai window period (periode jendela), yaitu rentang waktu antara terinfeksi  virus HIV dengan waktu pemeriksaan penunjang yang dapat mendeteksi virus. Lama window period sekitar 3 minggu

  • 12 Namun,  pada  umumnya  pemeriksaan dilakukan setelah 3 bulan terinfeksi agar hasilnya lebih akurat.

Selama window period, seseorang dapat terinfeksi virus HIV dan dapat menularkan kepada orang lain meskipun hasil tes HIV hasilnya negatif. Jika hasil tes seseorang HIV negatif dalam waktu 3 bulan setelah terinfeksi, maka tidak membutuhkan pemeriksaan lanjutan. Namun jika terinfeksi lagi virus HIV dalam periode 3 bulan maka diperlukan pemeriksaan ulang. Dalam tahapan ini biasanya tidak ada tanda-tanda khusus. Seseorang yang terinfeksi HIV akan tampak sehat/merasa lebih sehat. Bahkan, sekalipun dilakukan serangkaian tes secara sukarela belum tentu dapat mendeteksinya.

Bagi yang terinfeksi HIV, sedapat mungkin melakukan pencegahan agar tidak berkembang menjadi AIDS dengan mengonsumsi antiretroviral (ARV). Saat ini ARV disebut sebagai terapi obat yang dapat memperlambat/menekan perkembangan jumlah virus.

Dilansir dari laman www.alodokter.com selama mengonsumsi   ARV,   dokter   akan   memantau    viral load (jumlah virus HIV dalam darah) dan sel CD4 (sel darah putih) untuk menilai respons pasien terhadap pengobatan. Penghitungan sel CD4 akan dilakukan setiap tiga sampai enam bulan, sedangkan pemeriksaan viral load dilakukan sejak awal pengobatan dan  dilanjutkan tiap tiga sampai empat bulan selama masa pengobatan.

Orang yang terinfeksi HIV perlu segera mengonsumsi ARV agar perkembangan virus dapat dikendalikan. Karena, menunda pengobatan dapat membuat virus terus merusak sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan risiko infeksi berkembang menjadi AIDS. Melewatkan konsumsi obat akan membuat virus berkembang lebih cepat dan memperburuk kondisi seseorang.

Bagi ODHIV, tubuh akan mengalami kesulitan melawan infeksi karena jumlah CD4 dalam darah sangat minim. Menurut Yayasan Spiritia, jumlah CD4 yang normal biasanya berkisar antara 500 dan 1600 mm3. Inilah sebabnya, ODHIV rentan terkena infeksi oportunistik (IO) atau infeksi yang terjadi akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh. Contohnya: Candidiasis, infeksi paru, TB/TBC, herpes dan infeksi pencernaan.

Proses dan tantangan

Sejak mengawali pelaksanakan program, Mitra Wacana telah melakukan pendekatan  pada  sekolah agar mengirimkan perwakilan siswa yang relatif tidak aktif dalam organisasi. Misalnya yang dianggap “bad girl” atau “bad boy” atau yang pendiam. Mitra Wacana mempunyai pandangan bahwa remaja sekolah biasanya menyimpan informasi yang cukup untuk diungkap. Dari sinilah proses pengorganisasian remaja sekolah segera dimulai.

Komunikasi dengan para pemangku kepentingan di berbagai sekolah menjadi pintu masuk Mitra Wacana ketika melakukan pemetaan pengetahuan mereka pada remaja sekolah, khususnya terhadap mereka yang telanjur dianggap “nakal”. Tawaran kerja sama penguatan kapasitas terhadap isu HIV-AIDS dan gender disambut dengan tangan terbuka. Namun ada permintaan dari pihak sekolah agar kegiatan yang telah direncanakan dapat memberikan kontribusi positif pada mata pelajaran dan tidak mengganggu kegiatan belajar mengajar.

Berbagai pertemuan untuk membuat jadwal pelatihan, diskusi tematik, dan penyusunan konsep pelaksanaan kegiatan yang dilakukan secara partisipatif ternyata sedikit banyak dapat menggeser sikap skeptis terhadap organisasi non pemerintah/LSM yang kerap disebut berseberangan dengan pemerintah. Bahkan, acapkali dituduh sebagai organisasi yang justru melahirkan masalah baru. Mitra Wacana merespon dengan wajar dan terukur agar tidak menimbulkan pertentangan.

Pendekatan intensif kepada para pendidik di lingkungan sekolah dikemas secara santai. Cara ini mampu memupuk kepercayaan terhadap Mitra Wacana. Waktu itu, pada 2010 mengungkapkan isu HIV-AIDS masih tabu. Mengingat, masih kuatnya stigma negatif. Terutama terhadap kelompok tertentu yang tidak jarang dituduh sebagai penyebar HIV–AIDS. Bagi yang terinfeksi disebut terkena penyakit “kutukan orang kotor”, yaitu: pekerja seks, LGBT dan orang yang memiliki tato di sekujur tubuhnya.

Mitra Wacana mengalami beberapa kejadian tidak terduga di awal pelaksanaan program. Kampanye keadilan dan kesetaraan gender serta pencegahan HIV- AIDS dianggap menyinggung hal-hal sensitif dan privat di tengah masyarakat. Bahkan, sempat ada ancaman memboikot program oleh salah satu sekolah karena mencurigai akan adanya pembaptisan terhadap remaja sekolah karena lokasi acara terdapat simbol-simbol agama Katolik.

Pembahasan isu keadilan gender juga sempat ditolak oleh sekolah yang berbasis agama meskipun siswa/ siswinya memiliki keinginan kuat  untuk  memahami dan mempelajarinya. Ada juga pandangan dari para pendidik di sekolah yang menyebut tidak etis jika menyelenggarakan diskusi publik pendidikan seks bagi remaja. Karena dianggap mempromosikan seks bebas pada remaja sekolah. Waktu itu topik diskusi diganti menjadi “Remaja, Cinta dan Kekerasan” yang didalamnya juga membahas problematika dan pengelolaan dorongan seksual pada remaja.

Pandangan dari berbagai pihak merupakan umpan balik dan masukan berharga yang akhirnya membuat kami belajar dalam proses negosiasi dan penggunaan metode pendekatan pada penerima manfaat. Mitra Wacana belajar menghindari menggunakan istilah yang rentan ditolak. Waktu itu, istilah seks-meskipun ilmiah- ternyata masih menjadi “momok” menakutkan dan masih dikonotasikan saru (tidak pantas) untuk didiskusikan yang melibatkan publik. Mitra Wacana mengganti penggunaan istilah seks menjadi jenis kelamin.

Catatannya, penolakan tidak terjadi di semua institusi sekolah. Ada beberapa sekolah yang justru tampak enjoy dan rileks menggunakan istilah tersebut. Setelah dilakukan penelusuran terhadap sekolah yang kurang berkenan menggunakan istilah-istilah yang dianggap “saru” ternyata di sekolah tersebut pernah ada kasus pelecehan seksual, KTD/KDP dan ada beberapa muridnya berperilaku seks aktif. Bahkan, ada yang terdiagnosis Infeksi Menular Seksual yang tertular dari pacarnya.

Mitra Wacana memulai membangun kontak dengan majelis perwakilan kelas (MPK) mengadakan pertemuan antar sekolah untuk mendiskusikan “masalah” yang kerap kali dialami oleh remaja sekolah dengan pendekatan diskusi tematik hak-hak remaja. Tujuannya, agar teman sebaya memahami bahwa sebagai remaja sekolah memiliki masalah yang tidak berbeda.

Pertemuan juga menjadi pintu masuk menyampaikan pesan kepada remaja sekolah bahwa setiap individu memiliki hak untuk berkumpul, dan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, baik di tingkat keluarga, komunitas maupun organisasi sekolah. Pertemuan ini menjadi momentum bagi Mitra Wacana untuk berbagi pengetahuan kepada mereka, manfaat (keuntungan) ketika memperjuangkan sesuatu secara berkelompok.

Di sesi akhir pertemuan, Mitra Wacana membangun kesepahaman dengan remaja sekolah perlunya berorganisasi sebagai wadah komunikasi antarremaja, menyebarkan informasi pencegahan HIV-AIDS dan gender. Pembahasan dimulai dari apa itu organisasi (nama kelompok), mengapa berorganisasi (tujuan kelompok), bagaimana menjalankan peran dalam organisasi (struktur), apa saja yang diperlukan dalam organisasi (pembagian peran), di mana alamat organisasi (sekretariat), dan apa yang akan dilakukan oleh organisasi (bentuk kegiatan). Setelah melalui berbagai proses tahapan, terbentuklah forum Remaja Peduli (RemPed) pada 2009/2010.

Bersama majelis perwakilan kelas, Mitra Wacana melibatkan penerima manfaat langsung untuk membahas dan menetapkan masalah yang dirasakan bersama, mendesak untuk  segera  direspon.  Tahapan ini membutuhkan fasilitator yang mampu menggali dan mengawal proses dengan menggunakan pendekatan pendidikan orang dewasa.

Peserta pertemuan diminta menyebutkan masalah yang dialami, penyebab terjadinya, lalu dikelompokkan berdasarkan aspek kesamaan yang akan dibahas setelah dikelompokkan. Jika masalah tersebut dialami oleh sebagian besar peserta, risiko yang ditimbulkan besar jika tidak direspon dan perlu mendapat perhatian dari banyak pihak maka disepakati sebagai masalah penting, mendesak direspon.

Mitra Wacana berpandangan jika proses perencanaan kegiatan perlu memperhatikan partisipasi penerima manfaat langsung. Hal ini merupakan bentuk penghargaan pada hak-hak remaja sekolah dan sebagai pengakuan atas hak menyatakan pendapat. Munculnya usulan kegiatan seperti susur candi/alam, kemah kesehatan reproduksi dan diskusi keragaman orientasi seksual, dikomunikasikan pada GDP SAN! Meskipun sebelumnya telah ada rancangan konsep kegiatan. Usulan remaja sekolah mendapat apresiasi dan mendapat dukungan.

Partisipasi aktif dari peserta pertemuan menjadi prasyarat ketika akan menyusun perencanaan. Pertemuan, menjadi ruang dialog terbuka kedua pihak untuk menghasilkan potensi dan masalah yang akan akan direspon oleh kelompok remaja. Penggunaan bahasa yang sederhana/tidak resmi seperti kowe, aku (kamu, aku) sedikit banyak dapat menipiskan jarak dengan remaja sekolah. Terlebih, jika dalam proses juga diselingi humor dan ice breaking untuk mencairkan suasana. Biasanya, forum akan berubah menjadi lebih gayeng (menyenangkan).

Upaya penguatan isu HIV – AIDS dan kesetaraan gender membutuhkan energi yang tidak sedikit, demikian pula dengan tujuan terbentuknya kelompok. Oleh karenanya, keberadaan kelompok yang terdiri dari berbagai latar belakang asal sekolah menjadi agenda prioritas dalam pembahasan, yaitu: kejelasan peran masing-masing, berbagi informasi antar anggota, menyusun perencanaan kegiatan bersama, menjalin hubungan yang penuh kesetaraan dan bersahabat antaranggota dan melihat kembali terhadap tujuan, kesepakatan dan kegiatan kelompok.

Bagi Mitra Wacana, pertemuan yang dikemas secara santai akan menghasilkan keluaran yang tidak terduga. Misalnya, munculnya gagasan untuk mengadakan “kemah kesehatan reproduksi” bagi remaja sekolah yang di dalamnya membahas hak-hak remaja sebagai warga negara.

Pertemuan pada Sabtu atau Minggu dari pagi hingga menjelang petang menjadi momen bagi remaja sekolah memperkaya korpus pengetahuan terhadap isu-isu remaja, misalnya KTD, KDP, konselor sebaya, dan hak kesehatan reproduksi serta isu lain yang tidak selalu berkaitan langsung dengan mereka. Biasanya pertemuan ditemani oleh pendamping, bertempat di Mitra Wacana, Tegalturi, Giwangan, Umbulharjo. Kantornya berada di tengah-tengah pemukiman padat.

Penggalangan dukungan untuk aksi bersama dilakukan oleh Mitra Wacana. Tujuannya agar keberadaan remaja sekolah mendapat perhatian dari pemangku kepentingan. Ada beberapa kegiatan yang dilakukan dengan mereka, yaitu: Pertama, menggelar pertemuan dengan para pendidik di masing-masing sekolah untuk menyampaikan usulan isi materi  KIE agar menggunakan pendekatan yang lebih humanis. Misalnya ketika membahas isu pubertas menggunakan sudut pandang HKSR, untuk menghindari penghakiman terhadap perilaku remaja.

Kedua, diseminasi informasi pada teman sebaya. Bagi remaja sekolah yang terlibat pertemuan intensif dengan Mitra Wacana mereka memiliki keinginan untuk berbagi pengetahuan di lingkungan sekolahnya. Terutama isu KDP yang semakin menggejala di kalangan remaja. Istilah grawilan atau sentuhan tidak aman yang kerap dialami oleh remaja sekolah putri terkadang dianggap sebagai perilaku lumrah.

Gagasan remaja sekolah yang ingin berbagi informasi pencegahan HIV-AIDS dan kampanye keadilan kesetaraan gender pada teman sebaya di lingkungan sekolah, diterima dengan suka cita setelah dikomunikasikan kepada wali kelas/kepala sekolah. Mereka berproses menjadi fasilitator ditemani oleh tim Mitra Wacana.

Ketiga, VCT atau tes HIV dilakukan atas dasar kesadaran sendiri bukan karena dipaksa oleh orang lain. Remaja sekolah memiliki inisiatif melakukan VCT yang disampaikan kepada pendamping. Mitra Wacana sempat “terperangah” ketika mendengar alasan mereka ingin melakukan tes HIV. Mereka merasa pernah melakukan perilaku berisiko.

Berdasarkan kedekatan visi-misi dan mempertim- bangkan kondisi psikologis remaja sekolah, Mitra Wacana memilih bekerja sama dengan Griya Lentera PKBI Daerah Istimewa Yogyakarta untuk memfasilitasi keinginan mereka. Setidaknya ada 3 tahapan ketika menjalani tes HIV; konseling sebelum tes, konseling HIV dan konseling setelah tes. Untuk konseling sebelum tes dapat dilakukan secara berkelompok atau sesuai dengan jumlah klien.

Ketika menjalani tahap prakonseling tidak semua remaja sekolah akan direkomendasikan agar melanjutkan konseling oleh konselor. Hanya orang-orang tertentu atau karena memiliki riwayat berisiko. Konselor juga akan memberikan saran kepada klien supaya melakukan tes HIV dengan cara diambil darahnya jika dalam tahap konseling ada tanda-tanda atau indikatornya.

VCT bertujuan mengampanyekan perubahan perilaku yang dapat mengurangi  risiko  penyebaran HIV. Harapannya agar mempercepat diagnosis HIV, mempromosikan penggunaan layanan kesehatan, mencegah infeksi lain dan meningkatkan perilaku hidup sehat. Oleh karenanya, VCT hendaknya dilakukan oleh setiap orang yang merasa pernah melakukan perilaku berisiko, seperti: melakukan hubungan seksual tidak aman, menggunakan narkoba suntik secara bergantian, transfusi darah langsung yang terinfeksi,  melakukan tato dengan jarum suntik tidak steril. VCT sebaiknya dilakukan dua sampai tiga bulan setelah merasa melakukan tindakan di atas.

Mendampingi remaja sekolah yang memutuskan melakukan tes dan konseling secara sukarela, memerlu- kan kesiapan mental “baja”. Terutama ketika menunggu pengumuman hasil tes HIV. Perasaan tidak tenang, takut, was-was, dan jantung berdetak lebih  kencang dari biasanya bercampur menjadi satu. Bahkan, ada yang hanya duduk diam termenung menahan perasaan gelisah. Sungguh  luar  biasa,  semua  remaja  sekolah dan pendamping dari Mitra Wacana yang VCT hasilnya negatif HIV.

Setelah selesai VCT, kami berkumpul di suatu ruangan besar untuk melakukan konseling pascates. Konselor berpesan kepada kami supaya menjaga status HIV tetap negatif dan berperilaku sehat. Bagi kami, kesediaan remaja sekolah secara sukarela tersebut layak mendapat dukungan dan apresiasi.

Konseling pascates bertujuan untuk mempersiapkan klien menerima hasil tes. Kami, mendapatkan informasi dan penjelasan komprehensif berkaitan dengan hasil tes; bagaimana menjaga perilaku hidup sehat, ke mana dan apa yang hendaknya dilakukan jika hasilnya positif/ negatif HIV.

Syarat penularan HIV – AIDS

Setiap perilaku yang berisiko memang rentan terinfeksi HIV. Namun, harus terpenuhi syarat penularannya. Selama tidak terpenuhi tidak akan terinfeksi HIV. Penularan virus ini memerlukan waktu, proses dan memiliki syarat yang disingkat PESSE (POSITIF, EXIT, SURVIVE, SUFFICIENT dan ENTER).

P (POSITIF) berarti virus dapat menular apabila terjadi kontak fisik dengan seseorang yang positif HIV. E (EXIT), jalan keluar bagi cairan tubuh yang mengandung HIV di dalam tubuh seseorang keluar dari tubuh. Hal semacam ini misalnya jika terjadi luka atau keluarnya cairan tubuh yang mengandung HIV seperti ketika seseorang melakukan hubungan seksual. Penularan bisa melalui jarum suntik karena ada darah yang tersisa di dalam jarum bekas suntikan dan kemudian masuk ke dalam tubuh seseorang.

S (SURVIVE), cairan tubuh yang keluar dari seseorang harus mengandung virus yang mampu/tetap bertahan hidup. Virus HIV jika berada di luar tubuh “induk” (manusia), tidak akan bertahan hidup lama. Menurut spiritia.or.id menyebutkan bahwa virus HIV akan mati di udara bebas dalam waktu kurang dari satu menit.

S (SUFFICIENT), jumlah HIV dalam cairan tubuh yang keluar dari seseorang yang postif harus memiliki daya infeksi/menular. Jika jumlahnya tidak mencukupi, HIV tidak akan bisa menginkubasi. Inilah yang menjadi penyebab mengapa cairan seperti keringat, saliva (ludah) tidak bisa menularkan HIV.

Selanjutnya E  (ENTER)  atau  adanya  jalur  masuk di tubuh manusia yang memungkinkan kontak dengan cairan tubuh yang mengandung HIV.

Namun perlu diingat agar virus berpindah dari ODHIV, cairan tersebut harus masuk ke dalam tubuh orang melalui: (1) luka terbuka di kulit seperti perlukaan di area alat kelamin, sariawan terbuka di bibir/mulut, ada perlukaan di gusi/lidah; (2) selaput lendir pada dinding vagina; (3) jaringan tubuh yang luka lecet dan; (4) aliran darah dari suntikan jarum.

HIV –AIDS dan HAM

Dalam pandangan Mitra Wacana, HIV – AIDS berkait kelindan dengan kajian hak asasi manusia. HIV bukan sekadar masalah kesehatan, namun ketidakadilan terhadap akses dan layanan informasi yang ramah remaja. Di bawah ini adalah beberapa bentuk hak asasi manusia berdasarkan dokumen organisasi kesehatan dunia (WHO) tahun 1998 mengenai petunjuk pelaksanaan “HIV

  • AIDS dan HAM yang menjadi bahasan dalam pertemuan dengan remaja sekolah,” diantaranya, yaitu:

Pertama, hak atas perlakuan non-diskriminatif, termasuk hak atas kedudukan yang sama di depan hukum. Menjamin hak perlindungan hukum  dan  kebebasan dari segala bentuk diskriminasi, baik yang berdasarkan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, politik, tingkat sosial- ekonomi. Seperti diketahui, perlakuan diskriminatif rentan menimbulkan dan “mempertahankan” kondisi yang disinyalir memudahkan penularan HIV – AIDS. Tindakan diskriminatif dapat mempersulit timbulnya perubahan perilaku dan kesadaran masyarakat menanggulangi HIV – AIDS.

Kedua, hak atas kemerdekaan dan  rasa  aman. Setiap orang tidak boleh ditangkap dan mendapatkan perlakukan diskriminatif hanya karena terinfeksi HIV – AIDS. WHO telah menganjurkan agar ODHA tetap berada di tengah-tengah masyarakat.

Ketiga, hak untuk menikah. Setiap individu, termasuk ODHA memiliki hak untuk menikah dan mempunyai anak. Misalnya, ada seorang perempuan hamil dengan status HIV positif (+) ingin melanjutkan kehamilannya, maka anak yang dikandungnya mempunyai hak untuk dilahirkan (vaginal/cesar). Untuk memenuhi hak perlindungan bagi anak, termasuk untuk menghindarkannya dari penularan HIV dari ibunya, perempuan tersebut berhak memperoleh  layanan ketika hamil sampai melahirkan. Disinilah pentingnya ketersediaan layanan konseling bagi ODHA.

Keempat, hak untuk mendapatkan pendidikan. Setiap orang termasuk ODHA memiliki hak mendapatkan pendidikan. Jika hal ini ditegakkan, tidak perlu lagi ada anak yang ditolak atau dikeluarkan dari sekolah gara- gara status HIV positif sebagaimana yang dialami oleh 14 siswa Sekolah Dasar di Solo, Jawa Tengah pada 2019.

Kelima, HAM untuk perempuan berstatus ODHA. Perlakuan tidak  adil  akibat  ketimpangan  gender makin menyulitkan perempuan yang terinfeksi HIV-AIDS. Tuduhan sebagai perempuan “nakal” kerap dialami oleh mereka. Padahal jika dirunut ke belakang biasanya perempuan tertular dari suami/pasangan yang berperilaku berisiko.

Keenam, hak anak dengan HIV – AIDS (ADHA). Bagi ADHA juga memiliki hak mendapatkan pendidikan, layanan kesehatan, perlakuan non-diskriminatif, hak berserikat, dan hak menyatakan pendapat. Hak-hak terbebas dari segala bentuk kekerasan sangat relevan dengan kebijakan pencegahan penularan HIV dari negara.

Ketujuh, hak untuk bepergian. ODHA mempunyai kebebasan untuk bepergian dengan nyaman, nyaman tanpa rasa khawatir akan mengalami tindakan yang membeda-membedakan dari lingkungan sekitarnya.

Kedelapan, hak untuk menyatakan pendapat. Setiap orang mempunyai hak untuk menyatakan pendapatnya, termasuk di dalamnya hak mendapatkan atau mencari informasi mengenai pencegahan, perawatan, dan dukungan dalam penanggulangan HIV – AIDS.

Kesembilan, hak untuk berserikat. Dalam konteks HIV – AIDS, kebebasan berserikat/berkumpul merupakan hak yang melekat ketika melakukan penggalangan dukungan sumber daya, advokasi dan kampanye.

Pembelajaran

Selama berproses dengan remaja sekolah di dua kabupaten,  organisasi  memperoleh   pembelajaran yang dimaknai sebagai Kemenangan Bersama. Bagi Mitra Wacana, yang menyebabkan perubahan tidak selalu dalam bentuk toolkit/materi teoretis, tetapi proses menjalin hubungan informal yang dibangun atas kesadaran dan menjalankan kegiatan yang tidak kaku selama pendampingan telah memicu munculnya perubahan dinamis (cepat dan mendalam).

Inisiatif oleh penerima manfaat langsung yang membentuk (1) organisasi RemPed, (2) memproduksi tulisan, (3) membuat film, (4) menyelenggarakan diskusi rutin setelah pulang sekolah, (5) melakukan VCT dan (6) menyelengarakan kemah kesehatan reproduksi merupakan hasil dari stategi melibatkan mereka dalam melaksanakan program.

Bagi Mitra Wacana, keberhasilan program juga mencakup pada kematangan dalam perencanaan. Kesungguhan menyiapkan dan  merawat  hubungan yang erat dengan pihak sekolah, pendidik, pemangku kepentingan dan penerima manfaat tidak  langsung serta menjaring umpan balik. Proses pengorganisasian yang menerapkan pola daur belajar: lakukan, analisis, evaluasi, dan simpulkan, dengan model pendekatan orang dewasa ternyata menjadi metode yang enak dipraktikkan meskipun implementasinya masih terdapat catatan.

Bagi individu-individu di organisasi juga mengalami peningkatan pengetahuan yang ditandai makin memahami keragaman gender dan identitas seksual sebagai fakta yang dapat dijumpai di lingkungan sekitar. Lebih dari itu, bahwa penghargaan terhadap pilihan orientasi seksual seseorang adalah bagian yang menyatu dengan isu hak asasi manusia.

Peran remaja sekolah dalam melaksanakan program pencegahan HIV-AIDS dan diseminasi keadilan gender telah menghasilkan beberapa hal, yaitu: pendidik sebaya, konselor sebaya, influencer dan penjangkau sebaya. Begitu juga dengan para pendidik dan intitusi sekolah yang akhirnya dapat menjadi tempat mempelajari isu- isu yang kerap dianggap tabu tanpa merasa khawatir akan mengganggu materi pokok kurikulum pendidikan. Justru sebaliknya, menjadi tambahan pengetahuan bagi peserta didik. Hal ini tecermin dari beberapa pertemuan yang digagas oleh pihak sekolah mengkaji isu kekerasan seksual, pubertas, dan topik pacaran sehat.

Mitra Wacana ingin menggaris bawahi bahwa pelibatan remaja sekolah untuk pencegahan HIV-AIDS dan kampanye isu keadilan dan kesetaraan gender masih relevan. Namun, perlu memperbarui penggunaan metode dan alat pembelajaran dan disesuaikan dengan kondisi terkini. Pengembangan jaringan  dukungan  sumber daya dari berbagai pihak dengan pendekatan isu lintas sektor tampaknya menjadi menjadi kebutuhan di masa sekarang.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

Dongeng Sepiring Nasi Dalam Tatanan Negara Demokrasi

Published

on

Oleh : Denmas Amirul Haq (Mahasiswa Pascasarjana di Universitas Islam Malang)

“Sebelum Pesta Demokrasi Mereka Selalu berjanji untuk membangun jembatan, meski tidak ada Satupun sungai Disana”. Nikita Krushchev : 1970

Salah satu prasyarat negara demokrasi adalah adanya Pemilihan Umum yang dilakukan secara regular guna membentuk pemerintahan yang demokratis, tidak hanya mekanisme penyelenggaraan semata. Oleh karenanya, Pemlilihan umum menjadi suatu rutinitas bagi kebanyakan negara demokrasi, meskipun kadang-kadang praktek politik di negara yang bersangkutan jauh dari kaidah-kaidah demokratis dan Pemilu tetap dijalankan untuk memenuhi tuntutan normatif; sebagai prasyarat prosedural demokrasi.

Tak jarangpula kita sering menemukan Pemilu hanya dijadikan sebagai ajang kompetisi untuk meraih jabatan-jabatan publik, apakah menjadi anggota legisltaif ?, eksekutif ?, atau paling penting menjadi kepala daerah ?, menteri ?, bahkan tak jarang presiden ?. (Puspitasari, 2004)

Ihwal, di Indonesia mulanya pemilihan umum masih banyak dimaknai sebagai realisasi kedaulatan rakyat dan juga dimaknai sebagai sarana untuk memberikan dan memperkuat legitimasi rakyat. Meskipun secara realnya mereka hanya ibarat membangun jembatan yang kadang tak satupun didapati sungai. Buawaian tersebut makin memperkuat bahwa negara demokrasi hanyalah bungkus dari kepentingan yang tersusun rapi untuk mendapatkan suara dan lagitimate rakyat.

Dewasa kini, Hubungan demokrasi dan Pemilu dapat dirangkaikan dalam sebuah kalimat;

“Tidak ada demokrasi tanpa Pemilu”.

Pemilu menjadi prasyarat mutlak untuk menciptakan demokrasi. Pemilu menjadi sebuah jalan bagi terwujudnya demokrasi. Tetapi mewujudkan pemilu yang demokratis bukanlah pekerjaan mudah sebab hari ini kita ketahui bersama praktek pemilu hanya digunakan sebagai sebuah perhelatan prosedural untuk menggantikan kekuasaan atau untuk membentuk lembaga-Iembaga politik.

Secara prosedural praktek pemilu selanjutnya dibedakan menjadi dua. Sebagai formalitas politik; dan kedua pemilu sebagai alat demokrasi. Meskipun kebanyakan kita jumpai pemilu hanya sebatas formalitas politik, alat legalitas pemerintahan dan yang lebih parah dijalankan dengan cara yang tidak demokratis dengan mahakarya rekayasa demi memenangkan pasangan dan partai politik tertentu.

Bagi bangsa Indonesia, relasi antara pemilu dan demokrasi terletak pada nilai keadilan bagi seluruh kehidupan bernegara yang tecermin dalam Pancasila. Falsafah ini lahir sebagai jawaban atas peristiwa masa lalu; eksploitasi kolonialisme.

Perwujudan itu sejatinya harus ditilik dari subtansi nilai Keadilan meskipun hal inilah yang paling kompleks. Hari ini melalui gelaran pesta demokrasi, kita banyak menyaksikan rakyat yang masih sangat setia melaksanakan amanat konstitusi. Bahkan hingga akar runput  mereka masih sangat teguh menjunjung tinggi moral.

Meskipun faktanya begitu cepat, politisi bersekongkol dengan birokrasi hingga tega menjual kekayaan negara. begitu cepat, aparatur negara gesit menghalalkan segala cara memburu tahta dengan menimbulkan bencana dan angkara murka. Selamat datang di negeri dongeng yang dipenuhi begitu banyak drama pencitraan dan janji. Demkokrasi dalam sepiring nasi adalah benar adanya yang hanya dinikmati segelintir orang yang memiliki piring sementara bagi rakyat kesejahteraan hanya mimpi yang terus jadi harapan semu.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending