web analytics
Connect with us

Opini

Menyoal Puisi sebagai Ranah Transparasi

Published

on

Sumber foto: Freepik

Rosidatul Arifah, Mahasiswi aktif Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas. Bergiat di LPK (Labor Penulisan Kreatif ) FIB UNAND

Puisi ialah salah satu cabang karya sastra yang memuat medium kreatifitas, jika ditilik lebih jauh dalam peranannya pada dunia sastra sebagai sebuah karya kreatif dan produk hasil kesusastraan, puisi bukanlah hal mentah yang sengaja ditampilkan sebagai pengeja ruang hati penyair saja. Berangkat dari anggapan “Sastra tidak lahir secara mendadak, sastra tidak pernah berangkat dari kekosongan” tentu seluruh karya kreatif yang berupa produk kesusastraan lahir dari berbagai proses kreatif yang melibatkan latar belakang penulis. 

Sebagai produk hasil kreatifitas seorang sastrawan\penyair, tentu memperbincangkan sebuah puisi perlu melirik dan menilik kehidupan dan latar belakang penulis sebagai hal yang dominan dan  memerankan fungsi utama dalam penulisan dan proses kreatifnya. Ketika mempersoalkan puisi dengan berbagai peranan latar belakang penulis, kemudian timbul pertanyaan seberapa jujur dan terbuka puisi dalam menyampaikan pesan-pesan yang ingin disampaikan pengarangnya? Inilah yang kemudian mendorong persoalan apakah puisi bisa dianggap sebagai ranah transparansi.

Sebagai salah satu bentuk kesenian, puisi memiliki porsi kebebasan yang sangat besar dalam penggunaan bahasa dan imaji penulis. Hal ini memungkinkan pengarangnya untuk menyampaikan pesan-pesan secara tidak langsung, menggunakan metafora, simbolisme, dan bahasa yang berlapis-lapis. Puisi disini bertindak sebagai medium yang abstrak dalam imajinasi seorang penyair. Penyair bisa saja menyampaikan sesuatu dengan menggunakan sesuatu, hal ini menjadikan puisi sebagai medium yang penuh dengan misteri dan interpretasi yang beragam sesuai dengan pemahaman pembacanya. Jadi, untuk sementara dapat disimpulkan bahwa puisi sepenuhnya memang lahir dari ruang imajinasi penyair dengan proses kreatif yang bermacam, namun bahasa puisi yang dihadirkan dapat mengandung tafsiran yang beragam (multitafsir) sesuai dengan  latar belakang, susut pandang dan pemahaman pembaca.

Kemudian, dalam sebahagian puisi ditemukan lahir dan berangkat dari pengalaman pribadi pengarangnya. Karena itu, kemudian muncul pertanyaan “Seberapa jujur puisi dalam merepresentasikan pengalaman tersebut?” Kadang-kadang, pengarang dapat saja menggunakan imajinasi atau memanipulasi fakta untuk menciptakan narasi belaka yang lebih menarik atau dramatis. Ini menimbulkan pertanyaan tentang seberapa transparan puisi dalam mencerminkan realitas.

Puisi seringkali bermain dalam garis tipis antara realitas dan imajinasi. Sekalipun terinspirasi dari pengalaman nyata, pengarang sering kali memanipulasi fakta atau menciptakan dunia fiksi untuk menyampaikan pesan-pesan yang ingin mereka sampaikan. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah puisi dapat dianggap sebagai cermin yang jujur dari realitas atau tak lebih sebagai refleksi dari imajinasi pengarang. Sebagai salah satu olahan dan produk hasil sastra yang dapat menjadi wadah atau medium fleksibel oleh penyair dalam menyampaikan gagasan, imajinasi bahkan pengalaman sekalipun, terlepas berangkat dari realitas sosial ataupun tidak, pada dasarnya puisi tetap produk yang dibalut dengan berbagai macam proses kreatif yang tentu melibatkan imajinasi. 

Jika dipertimbangkan kompleksitasnya sebagai sebuah seni, keindahan puisi terletak pada kemampuannya untuk menginspirasi, daya memprovokasi pemikiran, dan penghubung dengan aspek-aspek yang mendalam pada diri dan dunia sekitar. Puisi  bukan medium untuk  berterus terang dengan fakta, namun bukan berarti puisi berangkat dari kekosongan atau angan-angan penyair semata. Bisa saja puisi berangkat dari sebuah fenomena atau realitas yang benar adanya, namun, kesalahan fatal pembaca adalah bila mengambil informasi mentah dari karya sastra. 

Terlepas berasal dari fakta atau realitas, puisi sebagai produk yang berangkat dari berbagai proses kreatif yang melibatkan olahan imajinasi, bukan skandal untuk mempertimbangkan sebuah realita atau fenomena dengan detail dan rinci. Bisa saja pembaca  memperoleh informasi dari medium puisi, namun bukan berupa informasi mentah yang dapat langsung dicerna. Puisi bukanlah ranah transparsi, puisi hanya menyuarakan keindahan lewat medium bahasa yang dipalut dengan berbagai gaya, meskipun puisi seringkali mengandung makna yang dalam dan menyentuh, perlu disadari bahwa puisi juga bisa memainkan peran sebagai medium untuk menyembunyikan atau memanipulasi realitas. Sejatinya sebagai sebuah karya sastra, puisi tentu belum  dapat secara gamblang dan blak-blakan dalam mengeja fakta. Karena sasaran karya sastra bukan arena untuk menuang fakta sepenuhnya. Produk karya sastra khususnya puisi adalah arena penyair dalam menanggapi suatu persoalan, kejadin maupun peristiwa dengan sudut pandangnya, lalu dikemas melalui berbagai proses kreatif yang melibatkan emosional dan imajinasi.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Si Cantik, Si Ganteng, dan Kampus Kita

Published

on

Sumber foto: Freepik

Naila Rahma, mahasiswa jurusan Tadris Bahasa Indonesia di Fakultas Adab dan Bahasa, Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta.

Di era digital saat ini, citra kampus dibangun tidak hanya lewat prestasi akademik atau fasilitas yang megah, tetapi juga melalui unggahan di media sosial terutama Instagram. Setiap kegiatan mahasiswa, lomba, dan juga potret keseharian diabadikan untuk memperkuat “Branding” lembaga atau kampus.

Namun, di balik tampilan yang estetik itu, ada fenomena yang sering luput dari perhatian, yaitu akun resmi kampus seperti Instagram yang cenderung menampilkan wajah-wajah yang dianggap menarik secara visual, yang sering diiming-imingi sebagai “Si cantik dan si ganteng.” Sementara itu, mahasiswa lain yang sama-sama berkontribusi, jarang mendapat ruang.

Sebagai mahasiswa, tentu kita senang melihat kampus sendiri tampil secara rapi dan modern di media sosial. Tetapi, jika setiap unggahan hanya menonjolkan satu tipe wajah dan gaya, secara perlahan akan muncul persepsi yang tidak baik. Kampus akan tampak ekslusif, seolah hanya diisi oleh mereka yang tampilannnya “Instagramable.”

Padahal, kenyataan yang terjadi lebih dari itu. Kampus memiliki berbagai ragam tipe mahasiswa, ada yang berprestasi di bidang akademik dan non akademik, ada yang aktif di organisasi sosial, dan juga ada yang diam-diam menginspirasi lewat karya kecilnya.

Fenomena seperti ini tidak akan bisa terlepas dari budaya visual di era digital. Dijelaskan oleh Rahman (2021) dalam penelitianya, bahwa strategi komunikasi digital kampus sering kali lebih berfokus pada pembentukan citra dibanding pada keberagaman.

Ketika media sosial kampus lebih sering menampilkan wajah-wajah visual tertentu, yang akan terbentuk bukan hanya citra lembaga, tetapi juga standar ideal dari “Mahasiswa kampus tersebut.” Akibatnya, media sosial yang seharusnya menjadi ruang representatif malah berubah menjadi etalase selektif.

Penelitian yang dilakukan oleh Rahman (2021) mengenai representasi perguruan tinggi di media sosial juga menunjukkan bahwa komunikasi digital kampus lebih berfokus pada tampilan visual yang dianggap “Menarik” dan “Mengesankan”. Namun, hal ini akan menimbulkan dampak yang cukup besar. Akan ada mahasiswa yang mulai merasa minder karena dirinya tak sesuai dengan standar visual yang ditampilkan di sosial media. Ada juga yang mengukur nilai dirinya dari seberapa sering dia muncul di feed kampus. Pola pikir yang seperti ini dapat menimbulkan kesan eksklusif terhadap identitas mahasiswa.

Padahal, akun kampus seharusnya bisa menjadi ruang inklusif yang mengakui keberagaman mahasiswanya, bukan malah menutupinya dengan filter dan sudut pengambilan gambar yang seragam. Ketika akun resmi kampus hanya menampilkan “Tipe ideal,” pesan yang tersampaikan ke publik pun tidak sepenuhnya netral dan dipandang kalau citra kampus ditentukan oleh tampilan fisik, bukan isi pikirannya. Hal ini bisa berbahaya dalam waktu jangka panjang karena membentuk persepsi eksklusif yang tidak mencerminkan realitas mahasiswa secara utuh.

Maka, sudah saatnya kampus memikirkan kembali strategi komunikasinya di media sosial. Mendorong akun resmi kampus untuk menampilkan keberagaman mahasiswa bukan berarti mengorbankan estetika, melainkan memperluas narasi. Hal seperti ini disampaikan juga oleh Handayani (2022) dalam Jurnal Komunikasi Indonesia, konten visual yang beragam justru memperkuat keterlibatan penonton karena menghadirkan kedekatan dan representasi yang lebih nyata.

Sesuatu yang di unggah bisa memuat tentang mahasiswa yang menang perlombaan akademik maupun non akademik, kemudian mahasiswa yang aktif di komunitas sosial, ataupun yang berkarya di luar kampus. Dengan begitu, setiap postingan yang diunggah tidak hanya menarik secara visual, tetapi juga bermakna secara sosial.

Admin yang memegang media sosial kampus pun memiliki peran penting. Mereka tidak hanya sekadar pembuat konten, tetapi juga penjaga citra kampus. Dengan menampilkan keberagaman mahasiswa, berarti menunjukkan bahwa kampus menghargai setiap individu, tanpa melihat warna kulit, bentuk tubuh, gaya berpakaian, atau latar sosialnya. Justru dari situlah nilai keindahan yang sebenarnya, yaitu pada keberagaman yang nyata, bukan pada keseragaman yang dibuat-buat.

Di tengah budaya visual yang saat ini semakin mendominasi, kampus perlu untuk kembali pada esensi pendidikan yang mampu membentuk mahasiswa berpikir kritis, empatik, dan terbuka. Keindahan sejati kampus tidak terletak pada seberapa “Estetik” unggahannya, tetapi pada seberapa luas ruang yang diberikan kepada mahasiswanya untuk terlihat dan diakui.

Mungkin bukan masalah besar jika akun kampus menampilkan wajah visual yang menarik. Namun, perlu diingat kembali, bahwa di balik setiap unggahan yang tampak sempurna, selalu ada cerita lain yang layak untuk disorot. Karena, keberagaman bukan hanya sekadar konten, tetapi ia adalah cermin dari siapa kita sebagai komunitas akademik.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending