oleh Jacqueline Lydon – Volunteer di Mitra Wacana
Saya tumbuh dan besar di Amerika, saat ini tinggal di Indonesia sudah lima bulan, dan sudah tiga bulan ini magang di Mitra Wacana, saya terkejut ternyata adanya kesamaan kondisi antara perempuan di Indonesia dan Amerika.
Kalau dilihat sekilas, perempuan Amerika dan Indonesia mungkin memiliki perbedaan yang sepenuhnya berlawanan.
Saat membandingkan keduanya, biasanya orang-orang fokus pada perilaku dan penampilan perempuan. Perempuan dihakimi tentang cara mereka berpakaian, cara mereka bertindak, dan betapa independennya mereka, misalnya.
Orang Amerika mungkin menilai perempuan Indonesia berpakaian konservatif, tinggal di lingkungan rumah tangga, dan tampaknya tunduk pada suami mereka. Sementara itu, orang Indonesia mungkin menilai perempuan Amerika tidak menutupi tubuh mereka, merangsang secara seksual, tidak fokus pada peran domestik, atau terlalu keras dan menuntut.
Apa yang saya catat sejak berada di sini adalah yang pertama, bahwa perbedaan-perbedaan ini kurang terlihat daripada yang saya pikirkan, dan kedua, bahwa mereka tampaknya berasal dari budaya dan norma sosial yang berbeda. Ada berbagai cara untuk memahami gender dan peran gender, namun perempuan di Amerika dan Indonesia menginginkan keamanan, rasa hormat, dan memiliki suara.
Ada banyak kesamaan antara perilaku dan masalah perempuan di kedua negara.
- 51,9% perempuan Indonesia adalah pekerja, dibandingkan dengan 57,1% perempuan Amerika.
- 17,4% dari parlemen Indonesia adalah perempuan, dibandingkan dengan 23,9% dari legislatif Amerika.
- Perempuan Indonesia terpilih pertama kali sebagai presiden pada tahun 2001, sementara belum ada seorang perempuan yang pernah menjadi presiden di Amerika.
- Perempuan pertama yang bergabung dengan mahkamah agung Indonesia, Sri Widoyati Wiratmo Soekito, dilantik pada tahun 1968, sedangkan perempuan pertama yang bergabung dengan mahkamah agung Amerika adalah Sandra Day O’Connor pada tahun 1981, sekitar 15 tahun kemudian.
Ada banyak masalah — dari pelecehan seksual hingga pemerkosaan — yang memiliki dampak luas pada perempuan di kedua negara, tetapi sulit untuk memiliki statistik yang akurat karena banyak perempuan tidak (atau tidak bisa) melaporkan insiden ini. Tetapi berdasarkan apa yang dilaporkan, jelas bahwa ini adalah masalah utama di kedua negara.
- 3 dari 5 perempuan Indonesia dan 81% perempuan Amerika telah mengalami pelecehan seksual
- 15% perempuan Indonesia dan lebih dari 1 dari 3 perempuan Amerika melaporkan menjadi korban kekerasan seksual atau pemerkosaan
- 16% perempuan Indonesia dan sekitar 25% perempuan A.S. telah melaporkan menjadi korban kekerasan pasangan intim (kekerasan fisik, seksual, atau psikologis dari pacar atau pasangan)
Dua negara dengan sikap dan perilaku perempuan dilihat sangat berbeda, mengejutkan bahwa ada persamaan keberhasilan dan perjuangan perempuan.
Baru tahun lalu, sebuah jajak pendapat di Amerika menemukan bahwa hanya 29% perempuan Amerika yang mengidentifikasi sebagai feminis. (Feminis: seorang yang percaya laki-laki dan perempuan harus punya hak sama). Di kedua negara, ada gerakan feminis dan anti-feminis (di Amerika, “meninism”; di Indonesia, “Indonesia tanpa feminisme”). Dalam kedua gerakan tersebut, suara perempuan ditekan; perempuan yang mengadvokasi diri mereka sendiri sering dianggap terlalu menuntut, dan masalah mereka diabaikan.
Mengapa ada begitu banyak penilaian untuk pilihan perempuan di kedua negara?
Sebagian dari hal tersebut didasarkan pada stereotip, yang terus dibangun tentang perempuan yang bertindak berbeda. Perempuan di setiap negara diajarkan bahwa peran budaya, perilaku, dan nilai-nilai mereka adalah pilihan yang lebih baik, dan jika mereka berpegang teguh pada itu, mereka akan menghindari masalah yang dihadapi oleh perempuan dalam budaya yang berbeda. Misalnya, untuk perempuan di Amerika, diajarkan bahwa menjadi lebih asertif akan membantu mereka mencapai lebih banyak perwakilan politik, dan perempuan di Indonesia diajarkan bahwa berperilaku sopan akan membantu mereka menghindari kekerasan atau pelecehan seksual. Namun kesamaan dalam statistik membuktikan bahwa bukan perilaku perempuan yang menyebabkan masalah ini, dan nasihat budaya untuk perempuan tidak akan menyelesaikan masalah.
Tentu saja, tidak ada jawaban sederhana untuk masalah sistemik ini. Tapi, penyebab utama seksisme di seluruh dunia adalah patriarki — sistem yang telah dibangun untuk memperkuat laki-laki dan memperlemah perempuan. Sistem patriarki inilah yang telah menciptakan gagasan menyalahkan korban — untuk menghakimi dan menyalahkan perempuan atas penindasan yang mereka alami alih-alih sistem yang menyeluruh.
Daripada melihat pilihan perempuan atau menilai mereka, kita harus melihat sistem patriarki yang lazim di kedua negara.
Menurut saya, kita perlu berhenti fokus pada perilaku perempuan dan sebaliknya fokus pada cara masyarakat menilai dan menindas semua perempuan, dan kemudian kita harus membangun solidaritas untuk memecah sistem itu. Cita-cita bagaimana seorang perempuan seharusnya dan harus bertindak mungkin berbeda di kedua budaya, tetapi hal yang universal bahwa perempuan harus bebas dari kekerasan dan diperlakukan dengan bermartabat dan hormat.
Editor: Arif Sugeng W