Opini
Peran Feminisme Dalam Memerangi Kekerasan Terhadap Perempuan
Published
4 years agoon
By
Mitra WacanaPermasalahan mengenai perempuan selalu menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat terutama bagi perempuan itu sendiri. Menurut Komnas Perempuan ada 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2020.
Dari 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan, kasus yang ditangani pengadilan berjumlah 291.677 kasus, lembaga layanan mitra Komnas Perempuan berjumlah 8.234 kasus, dan Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan sebanyak 2.389 kasus.
Faktor penyebab kekerasan terhadap perempuan, menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia dalam Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2016, mengungkapkan setidaknya ada empat faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan baik fisik maupun seksual yaitu faktor individu, faktor pasangaan, faktor sosial budaya, dan faktor ekonomi.
Kemenpppa (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) menyebutkan bahwa dari sekian banyak faktor pemicu kekerasan terhadap perempuan khususnya dalam KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), perlu dipahami bahwa pentingnya konsep kesetaraan dalam keluarga, pemahaman yang baik terhadap konsep kesetaraan itu adalah kunci dalam menghentikan tindakan kekerasan.
Perlu diketahui dan dipahami betul peran-peran laki-laki dan perempuan, yang mana peran ini nantinya akan berpengaruh dalam pengambilan keputusan, serta nilai-nilai luhur termasuk nilai kesetaraan dan keadilan gender yang ditanamkan.
Pembahasan mengenai kesetaraan gender sudah sejak lama dilakukan dalam dunia filsafat, yaitu feminisme. Feminisme, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria yang merupakan penggabungan dari berbagai doktrin atas hak kesetaraan.
Marry Wallstonecraff dalam bukunya yang berjudul The Right of Woman pada tahun 1972 mengartikan feminisme sebagai suatu gerakan emansipasi wanita, garakan dengan lantang menyuarakan tentang perbaikan kedudukan wanita dan menolak perbedaan derajat antara laki-laki dan wanita.
Menurut Kamla Bhasin dan dan Nighat Said Khan, feminis dari Asia Selatan, feminisme merupakan suatu kesadaran terhadap penindasan, pemerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan baik itu di tempat kerja maupun dalam ruang lingkup keluarga, yang mana perlu sebuah tindakan dengan penuh kesadaran yang dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan untuk mengubah keadaan itu.
Feminisme sebagai filsafat dan gerakan yang muncul atas kesadaran, dalam sejarah manusia di dunia menunjukkan kenyataan di mana kaum perempuan merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki khususnya dalam masyarakat patriarki.
Feminisme sebagai sebuah teori gerakan sosial memiliki sejarah yang panjang. Kata feminisme digunakan pertama kali oleh Charles Fourier, seorang filsuf asal Prancis tahun 1837 dan terus berkembang hingga sekarang.
Di Indonesia sendiri gerakan feminisme sudah dimulai sejak zaman kolonial pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Namun, feminisme sebagai suatu istilah yang dipahami secara keilmuan baru dikenal sejak awal tahun 1970-an.
Meskipun feminisme sudah ada sejak lama dan terus berkembang hingga sekarang, nyatanya setiap periode pergerakannya mengalami hambatan-hambatan. Hambatan-hambatan itu seperti kondisi politik, kondisi sosial-ekonomi dan masalah yang berkaitan dengan aspek ideologis dan psikologis.
Seperti yang kita ketahui bersama, saat ini perempuan sudah mendapatkan hak-hak yang diinginkan sedari dulu, perempuan sekarang sudah bisa mengakses pendidikan dan meniti karir. Namun, masih ada beberapa sektor yang masih belum sepenuhnya adil bagi perempuan.
Sektor pertama yaitu stigma masyarakat. Norma sosial yang sudah terbangun dalam masyarakat yang telah menciptakan pembagian peran sosial yang tidak adil bagi perempuan, dimana perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah dan emosional. Oleh karena itu, masyarakat sering beranggapan bahwa perempuan tidak layak berada di ranah publik apalagi menduduki posisi strategis baik dalam struktur pemerintahan maupun swasta.
Dalam sektor pendidikan, masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa pendidikan yang tinggi untuk perempuan tidak begitu penting karena jika perempuan sudah menikah maka mereka akan di rumah saja mengurus keluarga.
Dalam Survei National Science Foundation dalam rentang tahun 2010-2014, terdapat 72.446 perempuan dan 104.425 laki-laki peraih gelar doktor. Menurut Kemendikbud, hal ini terjadi akibat adanya persepsi bahwa perempuan hanya bertanggung jawab dalam urusan domestik membuat mereka kurang termotivasi untuk mengambil pendidikan S2 dan S3.
Dalam sektor ekonomi, masyarakat beranggapan bahwa perempuan yang sudah menikah tidak wajib mencari nafkah sehingga banyak perempuan yang bergantung kepada laki-laki dari segi ekonomi.
Feminisme sebagai sebuah gerakan dapat dilakukan mulai dalam kehidupan sehari-hari, seperti mengkonsumsi produk-produk maupun kebudayaan yang dihasilkan oleh kaum perempuan, memberikan ruang yang luas bagi perempuan, memberikan hak-hak perempuan sebagaimana laki-laki mendapatkan haknya, dan tidak mendiskriminasi perempuan.
Dalam ruang lingkup yang lebih sempit lagi, dalam ranah keluarga, orangtua sudah seharusnya memberikan hak-hak anak-anaknya baik laki-laki dan perempuan secara adil, mengajarkan kepada anak perempuan bagaimana seharusnya bersikap, serta mengajarkan kepada anak laki-laki bagaimana menghargai dan memperlakukan perempuan.
Pentingnya feminisme sebagai sebuah gerakan bukan hanya sebatas teori adalah untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik, baik laki-laki maupun perempuan mengetahui dan memahami betul peran-perannya dalam kehidupan keluarga dan kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, gerakan feminisme sudah seharusnya tidak hanya dilakukan oleh perempuan namun juga dilakukan oleh laki-laki.
Sebuah kutipan terkenal oleh Bell Hooks “feminisme diperuntukkan bagi setiap orang”, dalam bukunya “Feminis Untuk Semua Orang” Hooks memperkenalkan feminisme popular yang berakar pada akal sehat dan kebijaksanaan pengalaman. Visi feminis yang ia miliki adalah suatu masyarakat yang saling berkomitmen pada kesetaraan, saling menghormati, dan keadilan.
Dengan feminisme, diharapkan kekerasan-kekerasan yang kerap dialami oleh perempuan karena dianggap sebagai makhluk yang lemah, derajatnya berada di bawah laki-laki serta warga kelas dua, dapat perlahan-lahan hilang karena manusia baik laki-laki maupun perempuan pada hakikatnya adalah setara.
Sumber: https://www.qureta.com/next/post/feminisme-1 ,dengan izin penulis
You may like
Opini
Dasar-Dasar Ilmu Hukum (2) : Urgensi, Pengertian dan Kaidah Hukum
Published
3 weeks agoon
12 September 2024By
Mitra WacanaDewasa ini, diera kompleksitas kehidupan umat manusia, keberadaan hukum ditengah-tengah masyarakat tentu sangat dibutuhkan. Selain sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan, kebahagiaan, dan kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, hukum juga bisa menjadi instrumen dalam mewujudkan masyarakat yang maju dan sejahtera _(tool of social engineering)_ dalam berbagai aspek, termasuk dalam aspek sosial, ekonomi, dan politik.
Secara filosofis historis, keberadaan hukum ditengah-tengah masyarakat memang tidak dapat berdiri sendiri. Artinya, hukum memiliki relasi yang erat dengan kehidupan masyarakat itu sendiri. Berkaitan dengan ini, kita mengenal adagium yang berbunyi Ubi Societas Ibi Ius (dimana ada masyarakat disitu ada hukum). Dalam kenyataannya, hukum senantiasa mengikuti perkembangan pola perilaku yang ada dalam masyarakat, begitupun sebaliknya. Menurut Drs. Sudarsono, S.H., Keterhubungan antara hukum dan masyarakat bertalian erat dengan adanya beberapa kebutuhan dasar manusia yang harus dilindungi oleh hukum. Diantaranya adalah kebutuhan fisiologis (makan-minum), kebutuhan keamanan, kerja sama, kehormatan diri, dan kebutuhan eksistensial. (Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, 1991 : hal. 46).
Lebih lanjut, Sudikno Mertokusumo dalam bukunya berjudul Mengenal Hukum Suatu Pengantar mengetengahkan bahwa sejatinya manusia adalah makhluk yang sepanjang hidupnya dibarengi oleh berbagai macam kepentingan. Dan konsekuensi logis sebagai penyandang kepentingan, manusia menginginkan agar kepentingan-kepentingannya terlindungi dari bahaya yang mengancamnya. Oleh karena itu dibutuhkan adanya hukum atau pedoman hidup yang bisa mengatur secara proporsional kehidupan masyarakat, hal ini dilakukan untuk menghindari adanya tingkah laku seorang manusia yang secara potensial maupun aktual merugikan manusia lain. (Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, 2010 : 6).
Berdasarkan urgensi yang telah diuraikan diatas, kita bisa menarik suatu konklusi dengan mengartikan hukum sebagai sekumpulan pedoman hidup yang mengatur tata tertib suatu masyarakat secara seimbang dengan tujuan melindungi kepentingan masyarakat yang ada. Berkaitan dengan hal ini, Sudikno menjelaskan bahwa hukum adalah keseluruhan kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dengan suatu sanksi bagi yang melanggarnya. Lebih lanjut, hukum menurut Jeffrey Brand adalah aturan yang disepakati secara bersama untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya. (Jeffrey Brand, Philosphy Of Law, 1976 : hal. 58).
Menurut Drs. C. Utrecht, S.H., Hukum adalah himpunan peraturan yang berisi perintah-perintah dan larangan-larangan yang mengurus tata tertib suatu masyarakat yang harus ditaati oleh masyarakat tersebut. Pengertian ini hampir sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Rosceo Pound yang mengartikan hukum sebagai keseluruhan norma-norma yang mengikat hubungan kepentingan antar manusia dalam masyarakat. Dalam kenyataannya memang, ada banyak sekali definisi hukum dari para ahli yang mewarnai perkembangan ilmu hukum, namun para ahli tersebut juga memberikan definisi yang berbeda-beda. Sehingga tidak ada satu definisi yang bisa diafirmasi secara mutlak sebagai definisi tunggal tentang hukum.
Sebagaimana yang telah di uraikan sebelumnya, bahwa untuk mewujudkan kondisi masyarakat yang tertib dan berkeadilan, dibutuhkan suatu pedoman hidup atau kaidah sosial yang disepakati secara bersama-sama sebagai patokan dalam bertingkah laku. Pada hakikatnya, kaidah sosial merupakan perumusan suatu pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seharusnya dilakukan dan sikap yang tidak seharusnya dilakukan dalam masyarakat. (Soedjono Dirjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, 1987 : hal. 9). Dalam kehidupan masyarakat, paling tidak ditemukan empat kaidah sosial, masing-masing adalah kaidah agama, kaidah kesusilaan, kaidah kesopanan, dan kaidah hukum. Bila kaidah agama dan kaidah kesusilaan bersifat otonom (berasal dari dalam diri manusia), maka kaidah kesopanan dan kaidah hukum bersifat heteronom (berasal dari luar diri manusia).
Secara sederhana, ada dua alasan mengapa kaidah hukum masih dibutuhkan padahal sudah ada tiga kaidah sosial sebelumnya. Alasan pertama, sanksi kaidah sosial lainnya (kaidah agama, kaidah kesusilaan, dan kaidah kesopanan) dianggap kurang tegas dan kurang dirasakan secara langsung. Dimana disisi lain sanksi adalah elemen esensial dalam upaya menegakkan hukum. Atas dasar kelemahan ketiga kaidah sosial tersebut, sehingga kaidah hukum diperlukan agar kepatuhan masyarakat terhadap hukum dapat terimplementasi secara optimal. Sebagaimana adagium obedientia est legis essential (kepatuhan merupakan inti dari hukum). Alasan yang kedua adalah kaidah hukum dibutuhkan secara normatif untuk melindungi kepentingan pribadi dan masyarakat secara proporsional. (Dasar-Dasar Ilmu Hukum, 2021 : hal. 12).