web analytics
Connect with us

Berita

Wujudkan Local Democracy, Yayasan LKiS bersama Election Corner UGM Menghadirkan Wali Kota Yogyakarta dalam Acara Pemimpin Mendengar

Published

on

Dalam rangka memonitor tindak lanjut visi dan misi Wali Kota Yogyakarta, Yayasan LKiS bersama Election Corner UGM mengadakan acara Pemimpin Mendengar (Selasa, 13/05/2025). Acara yang dilaksanakan di Selasar Barat FISIPOL UGM ini menghadirkan Hasto Wardoyo selaku Wali Kota Yogyakarta. Pada kesempatan ini berbagai organisasi masyarakat dan komunitas di kota Jogja menyampaikan aspirasinya terkait beberapa isu di Jogja untuk ditanggapi secara langsung oleh Wali Kota.

Acara ini diawali dengan pembacaan isu-isu aktual di Kota Yogyakarta. Setidaknya ada lima isu yang dibahas dalam acara ini antara lain: isu inklusivitas, ketenagakerjaan dan ekonomi rakyat, pendidikan dan pembangunan sosial, urban housing serta isu sampah dan lingkungan. Pada sesi ini juga dipaparkan komitmen Walikota ketika kampanye. Perwakilan dari beberapa komunitas pun turut menyuarakan permasalahan yang terjadi berkaitan dengan kelima isu tersebut.

Bu Sariroh dalam isu ketenagakerjaan menyampaikan bahwa di Jogja terdapat 400 buruh gendong. Buruh gendong menghabiskan lebih banyak waktu untuk bekerja daripada waktu yang dia habiskan di rumah. Akan tetapi dari sekian banyak buruh gendong misalnya saja yang bekerja di pasar Beringharjo, mereka tidak mendapatkan fasilitas toilet gratis dan safe house. Karena pendapatan yang tidak menentu, buruh gendong pun berjuang untuk mendapatkan toilet gratis. Selain itu, dinas pasar pernah menjanjikan sebuah ruangan kosong sebagai tempat istirahat buruh gendong. Akan tetapi, tindak lanjutnya belum ada hingga saat ini. Menanggapi hal ini, Hasto menyampaikan bahwa toilet sudah digratiskan untuk buruh gendong, sedangkan fasilitas safe house masih diusahakan oleh pemerintah kota.

Usulan lain dalam isu ini adalah adanya harapan agar para pekerja informal mendapatkan dukungan BPJS ketenagakerjaan. Pekerja informal juga diharapkan bisa masuk dalam pembahasan UU ketenagakerjaan. Hal ini tidak terlepas dari realitas pekerja informal di Jogja jumlahnya sangat banyak dan memerlukan perlindungan.

Dalam isu pendidikan, disampaikan bahwa pendidikan di Jogja masih memiliki banyak masalah misalnya dalam hal penanganan ijazah dan perlunya penambahan jumlah sekolah negeri di area blank spot. Selain itu, masih adanya praktik penjualan kain seragam dengan harga yang mahal di sekolah. Meskipun hal tersebut telah dilarang, akan tetapi pengawasannya di lapangan masih kurang efektif. Pungutan terhadap siswa juga masih terjadi walaupun dalam peraturan dilarang ada pungutan dari jenjang SD hingga SMP.

Dari komunitas Kalijawi mengusulkan konsep perumahan gotong royong. Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Kawasan memang sudah mengintervensi penataan perumahan di Sultan Ground, akan tetapi permasalahan hunian kumuh tidak hanya ada di Sultan Ground. Permasalahan lainnya berkaitan dengan akses air yang semakin sulit. Masyarakat harus berebut air di pagi hari. Air dari PDAM alirannya kecil dan biayanya mahal dan 90% sumur di bantaran sungai tercemar ecoli yang memperparah kasus stunting di Yogyakarta.

Kemudian dalam isu sampah dan lingkungan, Ibu Syarifah dari bank sampah menyampaikan bahwa bank sampah dikelola oleh ibu-ibu dan lansia masih dibiayai secara swadaya. Di samping itu, biaya penggerobag sampah yang berkisar Rp. 30.000 hingga Rp. 100.000 memberatkan untuk masyarakat miskin. Di TPS, sampah masih tercampur dan belum terpilah dengan baik. Maka dari itu dari bank sampah mengharapkan peta jalan pengelolaan sampah lima tahun kedepan.

Walikota Hasto  berkomitmen untuk membuat 156 perubahan dalam 100 hari pertama ia menjabat. Masing-masing dinas akan memiliki tiga quick win. Walikota juga mengadakan open house setiap rabu dari jam 05.00-09.00 pagi sehingga masyarakat dapat mengkomunikasikan secara langsung terkait berbagai hal. Dia juga merencanakan agar semua difabel mendapatkan pendidikan gratis serta sesegera mungkin membangun sekolah baru di area blank spot Umbulharjo. Secara keseluruhan, Hasto mengatakan telah mencatat semua masukan yang disampaikan dalam forum ini dan akan mengupayakan realisasinya pada lima tahun masa jabatannya.

Prof. Dr. Amalinda S., Dosen DPP Fisipol UGM menanggapi bahwa forum semacam ini merupakan harapan dari desentralisasi. Forum Pemimpin Mendengar  merupakan bentuk demokrasi lokal yang sangat konkret. Dulu demokrasi di Yunani juga berlangsung melalui forum semacam ini yang mana masyarakat telah memiliki inisiatif. Dia berkomentar, Kota Yogyakarta kondisinya sangat berbeda dengan wilayah kabupaten lain di Provinsi DIY. Akan tetapi untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang ada di Kota Yogyakarta tetap memerlukan koordinasi lintas wilayah administratif.

Wiji Nurasih – Divisi Riset dan Advokasi

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Berita

Mitra Wacana Dorong Pemerintah Perkuat Pelindungan bagi Pekerja Migran Indonesia

Published

on

Jakarta, 10 November 2025 — Mitra Wacana turut berpartisipasi aktif dalam Konsultasi Nasional tentang Akses terhadap Pelindungan Sosial yang Layak dan Berkelanjutan bagi Pekerja Migran Indonesia yang diselenggarakan di Swiss-Belresidences Kalibata, Jakarta Selatan. Kegiatan ini diinisiasi oleh Migrant Forum in Asia (MFA) bekerja sama dengan Migrant Care, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), dan Solidaritas Perempuan, dengan dukungan dari IOM melalui program Migration, Business and Human Rights in Asia (MBHR Asia) yang didanai oleh Uni Eropa dan Pemerintah Swedia.

Acara yang dihadiri oleh perwakilan pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan serikat buruh ini bertujuan untuk memperkuat advokasi dan sinergi kebijakan dalam menjamin akses perlindungan sosial bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI), baik di tahap pra-penempatan, selama bekerja di luar negeri, maupun setelah kembali ke tanah air.

Dalam sesi diskusi, berbagai isu krusial mencuat, mulai dari minimnya akses pendidikan dan lapangan kerja yang layak di dalam negeri hingga praktik perekrutan yang tidak adil dan jeratan hutang yang menjerat calon pekerja migran. Kondisi ini, menurut para peserta, memperlihatkan bagaimana kemiskinan struktural masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah.

“Ketika pemerintah tidak menyediakan akses pendidikan dan pekerjaan yang layak, masyarakat akhirnya mencari penghidupan di luar negeri. Tapi di sana pun mereka menghadapi eksploitasi dan kekerasan, bahkan ada yang tidak kembali dengan selamat,” ungkap salah satu peserta diskusi yang menyoroti rentannya posisi pekerja migran di berbagai negara penempatan.

Mitra Wacana, melalui perwakilannya Nurmalia, menegaskan pentingnya tanggung jawab negara dalam memastikan perlindungan menyeluruh bagi PMI. Ia menyoroti pentingnya kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, dan lembaga internasional agar pekerja migran dan keluarganya memperoleh jaminan sosial yang adil.

“Negara harus hadir secara konkret, tidak hanya menjadikan PMI sebagai pahlawan devisa, tetapi juga memastikan mereka terlindungi dari hulu ke hilir. Kami mendesak pemerintah untuk memperkuat kerja sama antara BPJS Ketenagakerjaan dan perwakilan Indonesia di luar negeri, agar sistem perlindungan berjalan efektif dan tidak ada lagi korban yang dipulangkan tanpa pemulihan yang layak,” tegas Nurmalia, mewakili Mitra Wacana.

Konsultasi nasional ini juga merekomendasikan penguatan kebijakan jaminan sosial lintas negara serta sistem reimbursement yang memungkinkan pekerja mendapatkan layanan kesehatan sebelum dipulangkan. Para peserta berharap hasil diskusi ini menjadi pijakan bagi advokasi regional dalam memperjuangkan kebijakan yang lebih adil, berkelanjutan, dan berpihak pada pekerja migran.

Kegiatan ditutup dengan komitmen bersama untuk memperluas jaringan advokasi dan mendorong pembentukan kebijakan yang tidak hanya melindungi pekerja migran, tetapi juga memberikan jaminan kesejahteraan bagi keluarga mereka di tanah air.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending