web analytics
Connect with us

Berita

Youth Camp Mitra Wacana 2025 Membangun Komitmen Anak Muda untuk Demokrasi dan HAM

Published

on

Mitra Wacana melaksanakan kegiatan Youth Camp dengan tema “Muda Bicara, Muda Bergerak untuk Demokrasi dan HAM” pada Sabtu–Minggu, 27–28 September 2025 di Villa Ndalem Sabine, Piyungan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kegiatan ini menjadi ruang belajar bersama bagi anak muda lintas identitas untuk memperkuat pemahaman tentang demokrasi, hak asasi manusia (HAM), serta upaya pencegahan intoleransi, kekerasan, dan radikalisme.

Indonesia sebagai negara majemuk dengan beragam suku, agama, ras, dan budaya menghadapi tantangan serius berupa meningkatnya kekerasan berbasis SARA. Laporan dari Setara Institute, Komnas Perempuan, KontraS, hingga Amnesty International menunjukkan adanya kasus intoleransi yang mengancam kebebasan sipil dan berdampak pada pelanggaran HAM. Dalam konteks inilah, anak muda dipandang perlu memiliki kesadaran kritis sekaligus keterampilan untuk melawan praktik diskriminasi sejak dini.

Kegiatan ini diikuti oleh beragam latar belakang, antara lain komunitas Rusyan Fikri, Pemuda Katolik, Pemuda Kristen, mahasiswa UIN, jaringan Gusdurian, YAKKUM, Talithakum, AJI, dan Transpuan. 

Hari pertama dimulai dengan registrasi, pembukaan, serta kontrak belajar yang menekankan saling menghormati dan kesetaraan. Sebelum sesi dimulai, peserta menyampaikan harapan dan kekhawatiran mereka. Sebagian berharap bisa menambah ilmu, relasi, serta membangun ruang yang lebih inklusif. Namun ada juga kekhawatiran, seperti rasa malu berbicara di depan umum, takut tidak fokus mengikuti materi, atau munculnya candaan yang tidak pantas maupun diskriminasi.

Peserta kemudian mengikuti sesi pertama tentang potret intoleransi di kalangan muda. Peserta diajak mendengar pengalaman langsung dari berbagai narasumber yang mewakili kelompok minoritas, yaitu pertama, Pusat Rehabilitasi Yakkum berbicara tentang bagaimana penyandang disabilitas sering hidup dalam stigma dan menghadapi hambatan struktural dalam mengakses haknya. Kedua, Penghayat Kepercayaan membahas pengalamannya. Bagaimana penghayat kerap dianggap penganut agama “impor” dan pernah tidak diakui oleh negara. Serta, bagaimana komunitas Syiah yang kerap jadi sasaran diskriminasi dan politisasi agama.

Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai prinsip demokrasi dan HAM. Materi ini dibawakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta yang menekankan bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah hak asasi yang universal dan nondiskriminatif. Negara berkewajiban melindungi dan memenuhinya, sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan UU HAM. 

Materi diakhiri oleh Wahyu Tanoto, Ketua Mitra Wacana yang membahas tentang identitas, gender, dan intoleransi. Peserta belajar bagaimana identitas seseorang seringkali menjadi dasar perlakuan diskriminatif. Diskusi kelompok membantu mereka memahami bahwa stereotip dan prasangka adalah akar dari tindakan intoleransi.

Dalam setiap sesi, peserta diminta menuliskan “loker pengetahuan” (apa yang mereka pelajari) dan “loker pertanyaan” (apa yang masih mengganjal).

Malam harinya, peserta diajak menonton film Beta Mau Jumpa (2020) untuk melihat realitas intoleransi dan keberagaman, yang kemudian dilanjutkan diskusi reflektif.

Pada pagi di hari kedua, peserta mengikuti permainan reflektif untuk mengingat kembali pembelajaran dari hari pertama. Mereka juga mengunjungi booth pengetahuan yang menghadirkan pengalaman dari kelompok transpuan dan Yayasan Talitha Kum Indonesia (Yayasan yang berfokus pada pemberdayaan perempuan dan pencegahan human trafficking).

Dalam sesi ini, transpuan menceritakan diskriminasi yang mereka hadapi, tentang stigma dan kesalahpahaman orang lain yang bersumber dari informasi yang tidak valid dan tidak bertanya langsung dari sumbernya.  

Sementara itu, para suster dari Talitha Kum Indonesia berbagi kisah panggilan hidup religius yang juga penuh tantangan. Mereka pernah merasakan keraguan, bahkan diskriminasi dari keluarga, namun dukungan komunitas membuat mereka mantap dalam keyakinan. “Kita pernah ragu. Keraguan itu selalu muncul. Tapi saya yakin itu dari suara hati saya. Memang bisa keliru, tapi kami juga selalu didampingi oleh suster-suster yang lain, makanya kami bisa yakin,” ungkap Sr. Zefanya, FSE.

Kedua pengalaman ini membuka wawasan peserta tentang beragam bentuk diskriminasi sekaligus pentingnya ruang aman bagi setiap individu. Serta pentingnya menyelami dan menggali informasi yang benar bersumber langsung dari orang pertama tanpa alih-alih perkataan orang lain maupun  hoax yang tidak jelas.

Dari pengalaman ini, peserta membuat pohon masalah untuk menganalisis akar penyebab, dampak, dan solusi intoleransi, lalu mempresentasikannya dan dipajang pada gallery walk. Beberapa peserta mengaku kaget dan tersentuh, misalnya Syifa yang mengatakan, “Tadi Mbak Olla dan Mbak Kadita cerita kalau mereka susah mendapatkan ruang aman. Aku yang sudah sesuai dengan standar masyarakat, pakai jilbab, aku merasa kaget.”

Selanjutnya, peserta mengikuti sesi kampanye dan advokasi media sosial. Tim media Mitra Wacana menjelaskan strategi membuat konten yang efektif, seperti pentingnya hook untuk menarik perhatian audiens. Peserta kemudian berkelompok untuk membuat konten kampanye, mulai dari unggahan media sosial hingga ide aksi seni, yang kemudian diunggah berkolaborasi dengan akun Instagram @mitra_wacana_official.

Acara ini kemudian ditutup dengan para peserta diminta untuk menuliskan harapan masing-masing pada pohon harapan. “To Love To Understand”, “Open Minded”, merupakan beberapa kalimat yang ditulis oleh peserta dengan rasa pengharapan yang penuh akan terwujudnya demokrasi dan HAM.

Oleh karena itu, dengan seluruh rangkaian kegiatan Youth Camp, diharapkan mampu menumbuhkan komitmen kolektif anak muda lintas identitas sebagai agen perdamaian dan toleransi, sekaligus mendorong mereka untuk berani bersuara, bergerak, dan berjejaring dalam memperjuangkan demokrasi serta HAM di komunitas masing-masing.

(Maria Ingridelsya J. Kolin, Magang UAJY)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Berita

Mitra Wacana Dorong Pemerintah Perkuat Pelindungan bagi Pekerja Migran Indonesia

Published

on

Jakarta, 10 November 2025 — Mitra Wacana turut berpartisipasi aktif dalam Konsultasi Nasional tentang Akses terhadap Pelindungan Sosial yang Layak dan Berkelanjutan bagi Pekerja Migran Indonesia yang diselenggarakan di Swiss-Belresidences Kalibata, Jakarta Selatan. Kegiatan ini diinisiasi oleh Migrant Forum in Asia (MFA) bekerja sama dengan Migrant Care, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), dan Solidaritas Perempuan, dengan dukungan dari IOM melalui program Migration, Business and Human Rights in Asia (MBHR Asia) yang didanai oleh Uni Eropa dan Pemerintah Swedia.

Acara yang dihadiri oleh perwakilan pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan serikat buruh ini bertujuan untuk memperkuat advokasi dan sinergi kebijakan dalam menjamin akses perlindungan sosial bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI), baik di tahap pra-penempatan, selama bekerja di luar negeri, maupun setelah kembali ke tanah air.

Dalam sesi diskusi, berbagai isu krusial mencuat, mulai dari minimnya akses pendidikan dan lapangan kerja yang layak di dalam negeri hingga praktik perekrutan yang tidak adil dan jeratan hutang yang menjerat calon pekerja migran. Kondisi ini, menurut para peserta, memperlihatkan bagaimana kemiskinan struktural masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah.

“Ketika pemerintah tidak menyediakan akses pendidikan dan pekerjaan yang layak, masyarakat akhirnya mencari penghidupan di luar negeri. Tapi di sana pun mereka menghadapi eksploitasi dan kekerasan, bahkan ada yang tidak kembali dengan selamat,” ungkap salah satu peserta diskusi yang menyoroti rentannya posisi pekerja migran di berbagai negara penempatan.

Mitra Wacana, melalui perwakilannya Nurmalia, menegaskan pentingnya tanggung jawab negara dalam memastikan perlindungan menyeluruh bagi PMI. Ia menyoroti pentingnya kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, dan lembaga internasional agar pekerja migran dan keluarganya memperoleh jaminan sosial yang adil.

“Negara harus hadir secara konkret, tidak hanya menjadikan PMI sebagai pahlawan devisa, tetapi juga memastikan mereka terlindungi dari hulu ke hilir. Kami mendesak pemerintah untuk memperkuat kerja sama antara BPJS Ketenagakerjaan dan perwakilan Indonesia di luar negeri, agar sistem perlindungan berjalan efektif dan tidak ada lagi korban yang dipulangkan tanpa pemulihan yang layak,” tegas Nurmalia, mewakili Mitra Wacana.

Konsultasi nasional ini juga merekomendasikan penguatan kebijakan jaminan sosial lintas negara serta sistem reimbursement yang memungkinkan pekerja mendapatkan layanan kesehatan sebelum dipulangkan. Para peserta berharap hasil diskusi ini menjadi pijakan bagi advokasi regional dalam memperjuangkan kebijakan yang lebih adil, berkelanjutan, dan berpihak pada pekerja migran.

Kegiatan ditutup dengan komitmen bersama untuk memperluas jaringan advokasi dan mendorong pembentukan kebijakan yang tidak hanya melindungi pekerja migran, tetapi juga memberikan jaminan kesejahteraan bagi keluarga mereka di tanah air.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending