Opini
Catatan Tentang Iman, Harapan dan Ruang Berbagi di Kelurahan Baciro
Published
5 months agoon
By
Mitra Wacana
Dari sebuah aula berukuran cukup besar di sisi utara Kota Yogyakarta, saya menyaksikan peristiwa yang jarang terjadi dalam iklim sosial kita yang belakangan mudah menyulut emosi. Orang-orang dari latar belakang agama dan kepercayaan berbeda duduk bersama, mendiskusikan tentang cara mencegah intoleransi, radikalisme dan ektremisme. Disana, tidak ada jargon-jargon berlebihan, dan bahkan tidak disorot oleh lensa kamera. Hanya orang-orang yang ingin mendengar, dan didengar.
Program itu, “Merajut Kolaborasi Lintas Iman dalam Pencegahan Intoleransi, Radikalisme, dan Ekstremisme”. Pelaksananya adalah Perkumpulan Mitra Wacana, bekerja sama dengan Yayasan Keadilan dan Perdamaian Indonesia (YKPI). Sekilas, tampak seperti program biasa yang sering digelar oleh organisasi masyarakat sipil. Tapi di kelurahan Baciro, Kapanewon Gondokusuman, program ini menjadi “ruang langka” dan berhasil menyentuh sisi kemanusiaan yang kerap kali terabaikan dalam diskursus kebijakan atau wacana media sosial; keberanian untuk membuka diri pada yang berbeda.
Saya bukan pelaksana langsung (insider) dari program ini, namun, bagian dari Mitra Wacana. Saya mengamati dari luar (outsider), menyambangi lokakarya, menjadi salah satu pemantik diskusi, menyimak laporan evaluasi, membaca cerita perubahan yang ditulis para partisipan aktif, dan mencermati bagaimana sebuah inisiatif ini justru bisa menjadi contoh proses membangun perdamaian tanpa bantuan pengeras suara.
Salah satu cerita yang paling membekas bagi saya adalah dari Lutfiyah, seorang perempuan dari komunitas Ahmadiyah. Ia menyebutkan bahwa untuk pertama kalinya, merasa bisa membicarakan tentang keyakinannya tanpa merasa cemas akan dicibir atau disingkirkan. Boleh jadi, hal ini bukanlah suatu kisah dramatis. Hanya saja, di tengah kepungan masyarakat yang kerap mencurigai mereka sebagai yang “tidak lazim”, keberanian seperti itu sungguh pantas diapresiasi – bahkan dirayakan.

0-0x0-0-0#
Ada pula Wiji Nurasih, perempuan muda dari jaringan Gusdurian Jogja, yang mengungkapkan bahwa ruang dialog ini sebagai “tempat yang membuat saya merasa utuh.” Kalimat yang tampak biasa saja, tapi sarat makna. Kita tahu, dalam konteks polarisasi klasifikasi, ruang-ruang seperti dialog yang membuat seseorang merasa “utuh” merupakan sebuah anomali yang sungguh layak untuk dirawat terus menerus.
Memang, program hanya berlangsung selama tiga bulan, dengan anggaran tidak sampai Rp. 70 juta. Program ini dilaksanakan sejak Maret hingga Mei 2025, sebagai bagian dari inisiatif kolaboratif antara Mitra Wacana dan YKPI. Namun, dalam waktu relatif singkat itu, telah berhasil memuat rumusan alat deteksi dini gejala intoleransi, dengan melibatkan tokoh agama, aparat, orang muda, konten kreator, dan kelompok minoritas. Bahkan aparat Polsek setempat pun turut serta. Adalah Parjo, salah satu Babhinkabtibmas, menuliskan bahwa program oleh Mitra Wacana telah menyadarkannya akan pentingnya pendekatan yang lebih humanis dalam menangani ekstremisme.
Dalam catatan pelaksanaan program, saya membaca hasil evaluasi bahwa partisipasi peserta mencapai 76%. Kampanye digital yang telah dilakukan mampu menjangkau lebih dari 82.000 tayangan. Sungguh angka yang cukup signifikan untuk ukuran kampanye di komunitas basis. Secara statistik, angka dapat dibaca, namun, yang mengesankan saya adalah bagaimana setiap kegiatan dirancang menjadi ruang setara. Tidak ada yang menggurui. Tidak ada yang diposisikan lebih tinggi karena keyakinannya.
Meskipun begitu, hemat saya, keberhasilan itu menimbulkan satu kegelisahan. Bagaimana jika program ini berhenti? Tidak ada jaminan bahwa benih-benih yang telah ditanam akan tumbuh jika tanah sosial di sekitarnya tidak subur (dirawat). Evaluasi akhir program juga mencatat bahwa belum ada struktur kebijakan atau dukungan kelembagaan yang cukup untuk menopang keberlanjutan. Dengan kata lain, perdamaian agak rentan.
Saya teringat pada ucapan Sri Winarsih, salah satu perempuan penggerak di Baciro. “Kami butuh jejaring dan ruang,” katanya. Kalimat ini semestinya menjadi bahan renungan-pembelajaran bagi banyak pihak, termasuk Mitra Wacana dan terlebih, YKPI. Bahwa program seperti ini tidak akan cukup jika hanya dilaksanakan satu kali. Butuh dukungan jangka panjang, dari pemerintah, dari masyarakat, dan dari kita semua yang percaya bahwa perbedaan bukan alasan untuk bermusuhan.
Pelaksanaan program di Baciro, menurut saya, adalah bukti bahwa perdamaian tidak selalu lahir dari ruang-ruang parlemen atau meja-meja konferensi. Justru tumbuh dari obrolan santai, keberanian untuk mendengar, dan kesediaan melepas klaim kebenaran. Inisiatif semacam ini setidaknya mampu mengikis kecurigaan yang, dalam istilah Charles Kimball (2013), merupakan salah satu akar ketika agama berubah menjadi bencana.
Di tengah narasi-narasi tentang kebangsaan yang kerap saya dengar, upaya semacam ini justru terasa paling konkret, atau bahkan paling mengena. Terlebih, ketika (utamanya) media sosial dipenuhi informasi tentang polarisasi, persekusi, dan ujaran kebencian, program seperti ini menjadi oase. Tidak menyolok, tidak viral, tapi penting dan mengena di relung terdalam. Program ini juga mengingatkan saya bahwa di luar jangkauan lensa kamera konvensional, masih ada orang-orang yang berjuang merawat kemajemukan dan kemanusiaan.
Saya tidak tahu pasti apakah program ini akan dilanjutkan. Tapi saya juga tahu, bahwa program telah meninggalkan jejak dalam kerja-kerja kemanusiaan. Seperti kata tokoh pendidikan dan perdamaian, Daisaku Ikeda yang menyebut perdamaian sejati tidak dibangun oleh kekuatan politik atau kekuasaan, tetapi oleh hati manusia yang terbuka dan mampu memahami penderitaan orang lain.
Wahyu Tanoto
Ketua Perkumpulan Mitra Wacana
You may like
Opini
Stranger Things – Siap Melihat Kisah Akhir dari Kota Hawkins? Ini 5 Hal yang Bikin Stranger Things Iconic!
Published
4 weeks agoon
22 October 2025By
Mitra Wacana

Zaky Nur Maktsuroh
Halo! Kalian ada yang belum nonton serial Stranger Things? Ini adalah saatnya untuk langsung kejar semua season-nya! Serial ini salah satu serial terbaik yang pernah ada di Netflix. Dari season 1 sampai season 4, perjalanan serial ini bikin aku speechless. Dan pada bulan November 2025 ini, Stranger Things akan hadir kembali untuk final season. Sebelum nonton season 5 yuk kita throwback dulu!
Season 1: Kita ingat lagi saat seorang anak hilang di sebuah kota Hawkins. Ternyata ada cerita ke dunia lain yang disebut “Upside Down”! Plot twist yang gila. Season 1 ini misterinya dapat dan pengenalan karakter yang smooth. Winona Ryder sebagai Joyce Byers bawa beban emosional yang berat dengan sempurna, ini buat penonton nangis sih.
Season 2: Alurnya agak melambat di bagian tengah, tapi tetap worth it ditonton. Perkembangan karakternya terlihat, terutama Eleven. Lalu ada pengenalan Maxine yang fresh dan bikin vibes lebih colorful. Banyak orang bilang season ini “underrated“, tapi tetap punya momen emosi pastinya!
Season 3: SEASON 3 PALING KEREN! Dinamika karakter yang udah demasa, akting nya intens, dan yang bikin season ini paling keren adalah nostalgia 80s-nya. Dari setting mall, synth musik, dan pertemanan yang semakin solid bikin season ini banyak disukai orang.
Season 4: Episode panjang dan munculnya Vecna sebagai penjahat yang legit menakutkan. Season ini ada yang suka dan ada yang kurang suka. Episode 1-7 mungkin agak membosankan, terus episode 8-9 boom! Semuanya seakan terjadi dalam satu waktu. Backstory-nya sangat kompleks. Chemistry Millie Bobby Brown dan Winona Ryder di season ini heartbreaking banget.
5 Hal yang Bikin Stranger Things Ikonik?
- Nostalgia 80s, dari fashion sampai musik vintage buat aestetik. Bagi yang pernah hidup di era 80-an, serial ini adalah perjalanan nostalgia yang menyenangkan. Sementara bagi generasi muda, Stranger Things menjadi jendela untuk melihat keindahan kesederhanaan masa lalu.
- Perkembangan Karakter yang smooth dari season 1 sampai season 4, perkembangan karakternya nya nggak terasa dipaksa. Terutama dari sekelompok anak-anak yang gemar bermain Dungeons & Dragons – Mike, Dustin, Lucas, dan Will – kita melihat mereka tumbuh dan berkembang melalui empat season.
- Kombinasi horror, drama, dan komedi yang seimbang. Serial ini tahu kapan harus takut, kapan harus fokus, dan kapan harus lucu. Kemampuan serial ini untuk berpindah antar genre dengan mulus tanpa kehilangan fokus cerita adalah hal yang keren.
- Persahabatan dan Kekeluargaannya yang solid, persahabatan Mike, Dustin, Lucas, dan Will adalah fondasi dari seluruh cerita, tidak peduli seberapa menakutkan ancaman yang kita hadapi, bersama teman-teman kita bisa menghadapi apa pun. Mereka menunjukkan loyalitas tanpa batas, saling melindungi, dan tidak pernah menyerah satu sama lain. Bahkan karakter-karakter dewasa seperti Joyce Byers dan Jim Hopper menunjukkan betapa kuatnya cinta dan pengorbanan untuk melindungi orang-orang yang mereka sayangi.
- Dunia Upside Down yang Misterius. Dimensi paralel yang gelap dan menakutkan ini menjadi sumber misteri dan ketegangan sepanjang serial. Monster-monster ikonik seperti Demogorgon, Mind Flayer, dan Vecna menjadi antagonis yang menakutkan sekaligus menarik. Setiap season mengungkap lebih banyak rahasia tentang dimensi ini, membuat penonton terus penasaran dan berspekulasi.
Nah, season 5 udah di depan mata! Ini final season, jadi harus menutup semua cerita dengan memuaskan. Sekarang tinggal tunggu season 5 dan bersiap-siap untuk petualangan terakhir! Siapa tau ada yang bakal bikin kita terharu. This is the end—jadi pastikan kalian sudah nonton season 1-4 sebelum season 5 tayang!
Highly recommended untuk semua orang! Serius, nggak peduli umur, series ini punya sesuatu untuk semua orang. Ada horror, drama, action, humor, dan nostalgia yang bikin kita penonton betah dan penasaran terus.
Happy watching!










