web analytics
Connect with us

Kulonprogo

Diskusi Komunitas Purna Migran dan Kelompok Perempuan: Mengupas Kerentanan Tindak Pidana Perdagangan Orang di Kulon Progo

Published

on

Kulon Progo, Yogyakarta – Pada Selasa, 7 Januari 2025, Komunitas Purna Migran, kelompok perempuan, dan media desa berkumpul untuk mendiskusikan isu krusial mengenai kerentanan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Kabupaten Kulon Progo. Diskusi ini berlangsung di ruang rapat Kantor Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPA) Kulon Progo dan dihadiri oleh 20 peserta. Mereka terdiri dari perwakilan 9 Pusat Pembelajaran dan Perlindungan Anak (P3A), Koordinasi Purna Pekerja Migran Indonesia (KOPPMI) Kulon Progo, kelompok media desa, pegiat atau kader kalurahan, dan pamong kalurahan.

Kegiatan ini dilatarbelakangi oleh meningkatnya kasus TPPO sejak tahun 2023, terutama di sekitar Bandara Internasional Yogyakarta (YIA). Data menunjukkan bahwa Kabupaten Kulon Progo sering menjadi daerah transit TPPO. Hasil survei dan pendataan di delapan kalurahan pada tahun 2024 juga mengungkapkan bahwa wilayah ini masih rentan menjadi daerah asal perdagangan orang. Kondisi ini menuntut perhatian serius dari berbagai pihak untuk mencegah dan menangani kasus TPPO yang semakin kompleks.

Dalam sambutannya, Kepala Dinas Sosial PPA Kulon Progo, Drs. Lucius Bowo Pristianto, menegaskan pentingnya kolaborasi dalam menangani masalah ini. “Dinas Sosial mendukung upaya berbagai pihak dalam pencegahan dan penanganan TPPO. Hari ini kita akan membahas kerentanan yang mungkin dialami saudara-saudara kita yang mencari penghidupan / “pengupo jiwo”  di luar negeri. Semoga diskusi ini memberikan pemahaman mendalam tentang fenomena ini,” ujar Lucius.

Ketua Dewan Pengurus Mitra Wacana, Drs. Istiatun, menjelaskan bahwa diskusi ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor risiko dan modus operandi TPPO di Kulon Progo. Selain itu, kegiatan ini diharapkan dapat membangun pemahaman bersama mengenai tantangan yang dihadapi dalam pencegahan TPPO sekaligus merumuskan strategi yang efektif untuk mengatasi masalah tersebut.

Setelah sesi pembukaan, peserta dibagi ke dalam kelompok diskusi kecil berdasarkan wilayah Kapanewon Sentolo, Kokap, dan Galur. Dalam kelompok-kelompok ini, peserta mendalami pemahaman bahwa TPPO merupakan kejahatan yang melibatkan proses perekrutan, pengiriman, penampungan, hingga penerimaan seseorang dengan cara manipulasi, pemalsuan, kekerasan, jerat utang, atau metode ilegal lainnya. Kejahatan ini bertujuan untuk eksploitasi fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi.

Salah satu peserta, Aji Saputra, memberikan pandangan mendalam tentang TPPO. Menurutnya, kejahatan ini sangat terstruktur dan memenuhi unsur proses, cara, dan tujuan. Kelompok rentan, seperti masyarakat miskin, perempuan, anak-anak, dan pekerja migran, menjadi sasaran utama pelaku TPPO. Diskusi juga diwarnai dengan kisah-kisah nyata dari para peserta yang pernah mengalami langsung praktik perdagangan orang.

Ngadiman, seorang peserta yang pernah menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) pada tahun 1994, mengisahkan pengalamannya. Ia semula dijanjikan pekerjaan di industri kayu lapis, tetapi akhirnya bekerja di distribusi listrik tanpa kejelasan kontrak. Hal serupa dialami oleh Ibu Budi, seorang PMI yang pada tahun 2021 bekerja di Brunei Darussalam. Ia dijanjikan pekerjaan di restoran, tetapi kenyataannya ia dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga dengan kondisi kerja yang tidak manusiawi, termasuk larangan berkomunikasi dengan keluarga dan jam kerja yang sangat panjang.

Selain pengalaman pribadi, peserta juga menyoroti modus TPPO yang kini semakin berkembang, memanfaatkan teknologi seperti media sosial. Pelaku sering menggunakan janji-janji palsu, seperti “calling visa” dan tawaran gaji tinggi, untuk menarik perhatian korban. Kelompok muda dan berpendidikan tinggi juga menjadi target baru dalam kasus TPPO, seperti yang terjadi pada “industri scam” di Kamboja.

Dalam sesi diskusi, Lestari, Koordinator KOPPMI, menekankan perlunya edukasi dan sosialisasi hingga tingkat desa. Menurutnya, pemerintah dan lembaga non-pemerintah (NGO) harus bersinergi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang migrasi aman. Lutfia, perwakilan media desa Harjotirto, menambahkan bahwa desa sebagai pintu gerbang utama harus memiliki sistem pendataan yang kuat, menyediakan informasi tentang migrasi aman, dan mampu mendeteksi kerentanan sejak dini.

Diskusi yang difasilitasi oleh pegiat Mitra Wacana ini menghasilkan berbagai rekomendasi strategis untuk pencegahan dan penanganan TPPO di Kulon Progo. Para peserta berharap kolaborasi yang erat antara pemerintah, NGO, dan masyarakat dapat menciptakan sistem perlindungan yang kokoh bagi kelompok rentan, sehingga pekerja migran dapat bekerja dengan aman dan bermartabat.

Penulis : Muazim

Penyunting : Ruliyanto

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Berita

Mitra Wacana Dorong Peningkatan Kapasitas Masyarakat Kulon Progo untuk Wujudkan Kalurahan Ramah Perempuan dan Anak

Published

on

Kulon Progo – Mitra Wacana gelar sosialisasi Kalurahan Ramah Perempuan dan Peduli Anak (KRPPA) di tiga kapanewon Kabupaten Kulon Progo. KRPPA merupakan program yang didorong oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bersama pemerintah daerah, organisasi, dan masyarakat setempat dalam menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif bagi perempuan dan anak.

KRPPA merupakan program nasional yang mendorong setiap kalurahan untuk lebih responsif terhadap kebutuhan, perlindungan, dan pemberdayaan perempuan serta anak. Melalui sosialisasi ini, masyarakat diajak untuk memahami dan berperan aktif dalam penerapan prinsip-prinsip KRPPA di lingkungan mereka.

Sosialiasasi ini merupakan tindak lanjut dari penandatanganan komitmen KRPPA yang sebelumnya telah dilakukan oleh masing-masing pemangku kepentingan di tingkat lokal, yakni Kalurahan Salamrejo, Sentolo, dan Demangrejo untuk wilayah Kapanewon Sentolo, Kalurahan Tirtorahayu, Nomporejo, dan Banaran untuk wilayah Galur, dan Kalurahan Hargotirto, Hargorejo, dan Kalirejo untuk wilayah Kapanewon Kokap. Pelakasanaan sosialisasi ini dilakukan selama enam hari di tiga kapanewon, masing-masing selama dua hari, yaitu Kapanewon Sentolo pada 20-21 Oktober 2025, Kapanewon Galur pada 22-23 Oktober 2025, dan penutupnya di Kapanewon Kokap pada 27-28 Oktober 2025, yang dihadiri oleh pemangku kepentingan lokal dari pemerintah Kalurahan, unsur penggerak perempuan, tokoh masyarakat dan kelompok P3A (Pusat Pembelajaran Perempuan&Anak) dampingan Mitra Wacana.

Selama dua hari kegiatan, peserta dari berbagai kalurahan di setiap kapanewon mendengarkan empat materi yang dipaparkan oleh pegiat Mitra Wacana. Sebelum sesi pemaparan materi dimulai, hari pertama kegiatan diawali dengan pre-test yang bertujuan untuk mengukur sejauh mana pengetahuan setiap peserta tentang KRPPA. Selanjutnya, peserta mendapatkan dua materi, yaitu Hak dan Perlindungan Perempuan, serta Hak dan Perlindungan Anak. Kedua materi ini menyoroti pentingnya kesetaraan akses, perlindungan hukum, serta peran masyarakat dalam menghapus diskriminasi terhadap perempuan dan anak.

Pada hari kedua, kegiatan berlanjut dengan materi tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dan Panduan Pelaksanaan Gerakan SAPA (Sahabat Perempuan dan Anak). SAPA merupakan sebuah inisiatif partisipatif yang mendorong masyarakat untuk berperan aktif dalam pencegahan kekerasan berbasis gender dan perlindungan anak. Di akhir kegiatan, diadakan juga post-test untuk mengukur tingkat pemahaman dan penguasaan peserta terhadap materi yang telah disampaikan.

Materi tentang Hak dan Perlindungan Perempuan membahas berbagai bentuk diskriminasi berbasis gender, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) sebagai payung hukum internasional dalam melindungi hak-hak perempuan, serta prinsip dan tantangan dalam mewujudkan kesetaraan gender. Setelah itu, dilanjutkan materi tentang Hak dan Perlindungan Anak membahas tentang landasan hukum dalam melindungi hak anak, serta berdiskusi tentang kasus-kasus pelanggaran hak anak, seperti kasus pernikahan anak, putus sekolah, dan keterbatasan ruang aman dalam bermain.

Hari kedua kegiatan dimulai dengan pemaparan materi Pengarutamaan Gender (PUG) dan Panduan Pelaksanaan Gerakan SAPA (Sahabat Perempuan dan Anak). Dalam sesi PUG, tim Mitra Wacana menjelaskan kesetaraan gender tidak sekadar memperjuangkan hak perempuan, tetapi meningkatkan kapasitas dan partisipasi aktif perempuan dan laki-laki dalam pembangunan daerah. Tim Mitra Wacana juga menjelaskan indikator keberhasilan PUG meliputi partisipasi pengambilan keputusan, akses ekonomi, kesejahteraan, pendidikan, keadilan sosial, dan kesadaran terhadap perubahan sosial.

“Kesetaraan gender bukan hanya tentang perempuan, tapi tentang bagaimana laki-laki dan perempuan memiliki hak dan tanggung jawab yang sama dalam kehidupan,” tegas Alfi Rahmadani, tim Mitra Wacana, pada sosialisasi di Kapanewon Galur, Kamis (23/10/2025).

Setelah pemaparan PUG selesai, dilanjutkan dengan pemaparan Panduan Pelaksanaan Gerakan SAPA (Sahabat Perempuan dan Anak) oleh Muhammad Mansur, tim Mitra Wacana. Gerakan SAPA menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah daerah, lembaga layanan, apparat hukum dan masyarakat dalam menciptakan sistem perlindungan yang cepat tanggap dan berkeadilan. Setelah menjelaskan tentang SAPA, Mansur mengajak semua peserta untuk berdiskusi tentang implementasi gerakan SAPA di tingkat kalurahan.

“Melalui gerakan SAPA, kita wujudkan lingkungan aman, setara, dan bebas dari kekerasan bagi perempuan dan anak,” ujar Mansur pada sosialisasi di Kapanewon Galur, Kamis (23/10/2025).

Melalui kegiatan ini, Mitra Wacana berharap adanya peningkatan kapasitas masyarakat, serta memperkuat pondasi pemahaman dan kesadaran kolektif dalam masyarakat tentang KRPPA. Selain itu, diharapkan proses kolaborasi ini dapat berjalan lebih efektif, partisipatif, dan berkelanjutan demi terciptanya kalurahan yang setara, aman, dan inklusif bagi perempuan dan anak.

 

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending