Opini
Estetika Kritik Religius dalam Puisi Sunnah Basa-Basi Karya Hardi Abu Rafa
Published
5 months agoon
By
Mitra Wacana
Oleh: Nada Aprila Kurnia
Mahasiswa Aktif Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, yang bergiat di Labor Penulisan Kreatif (LPK)
Puisi seringkali dipandang sebagai wadah ekspresi keindahan dan rangkaian kata yang memesona hati. Akan tetapi, puisi juga bisa menjadi cermin tajam yang memantulkan realitas, bahkan kritik yang menusuk. Salah satunya adalah puisi Sunnah Basa-Basi karya Hardi Abu Rafa, yang termuat dalam buku kumpulan puisinya Tafakur 3 Munajat Cinta Seorang Hamba (2022). Puisi ini bukan hanya sekadar deretan kata religius, melainkan sebuah kritik religius yang dibungkus rapi dalam balutan estetika bahasa.
Hardi Abu Rafa, melalui Sunnah Basa-Basi, secara langsung menyentil fenomena spiritualitas yang dangkal. Praktik keagamaan kerap kali hanya menjadi formalitas tanpa substansi. Pemahaman akan bagaimana Sunnah Basa-Basi menyampaikan kritik religiusnya tidak lepas dari pendekatan strukturalisme dalam sastra, sebagaimana banyak dibahas oleh Rachmat Djoko Pradopo dalam Pengkajian Puisi (2002). Pradopo menjelaskan bahwa puisi adalah sebuah struktur yang utuh, setiap unsurnya seperti diksi, citraan, rima, dan gaya bahasa saling terkait dan berfungsi membentuk makna keseluruhan. Dalam puisi ini, kritik religius tidak hanya muncul sendiri, melainkan timbul dari jalinan padu setiap unsur estetikanya yang disengaja oleh penyair untuk menciptakan efek penekanan pada pesan kritik tersebut.
Pemilihan kata (diksi) adalah pondasi utama dalam membangun pesan sebuah puisi. Hardi Abu Rafa dengan cerdas memilih diksi yang menciptakan kontras tajam antara idealitas dan realitas yang dikritik. Bait pertama menggambarkan suasana Malam Jumat yang seharusnya diisi dengan aktivitas spiritual:
Malam Jum’at telah tiba,
saatnya hidupkan sunnah,
tingkatkan qira’ah,
Surah Al-Kahfi dikhatamkan penuh cahaya,
dan shalawat pada maulana,
Rasulullah penghulu jiwa,
Kata-kata seperti hidupkan sunnah, qira’ah, Surah Al-Kahfi, dan shalawat membangun citra ketaatan yang tulus. Namun, kontras itu muncul di bait kedua dengan penggunaan diksi yang langsung mengarah pada kritik:
Tetapi kau hanya sibuk dengan urusan syahwat saja,
seolah itu satu-satunya sunnah yang ada,
menampilkan seolah kau tau sedekah yang mulia,
padahal berdalih dengan tanpa ilmu dan hujjah,
hanya nafsu syahwat yang ada di kepala.
Frasa seperti hanya sibuk dengan urusan syahwat saja, seolah itu satu-satunya sunnah, dan tanpa ilmu dan hujjah adalah pisau tajam yang dipilih penyair untuk menyingkap kepalsuan. Diksi ini tidak hanya deskriptif, tetapi juga menghakimi, menunjukkan kekecewaan dan teguran keras terhadap mereka yang menyempitkan makna sunnah menjadi pemuas nafsu semata.
Puisi ini juga kaya akan citraan (imaji) yang membantu pembaca memvisualisasikan dan merasakan kritik yang disampaikan. Di satu sisi, ada citraan ideal dari Malam Jumat yang penuh cahaya berkat lantunan Al-Kahfi dan shalawat. Ini adalah gambaran tentang kebersihan jiwa dan ketaatan yang murni. Di sisi lain, penyair membangun citraan yang menggambarkan kemunafikan secara gamblang sibuk dengan urusan syahwat saja dan puncaknya, hanya nafsu syahwat yang ada di kepala. Citraan terakhir ini melukiskan seseorang yang pikirannya dipenuhi oleh hal-hal duniawi dan kesenangan fisik, bahkan ketika ia mencoba ‘menampilkan’ kesalehan. Kontras citraan inilah yang menjadi kekuatan estetika puisi, menyoroti jurang antara yang seharusnya dan yang terjadi.
Salah satu kekuatan utama puisi Sunnah Basa-Basi dalam menyampaikan kritik religius adalah penggunaan gaya bahasa, khususnya ironi dan sarkasme. Kalimat seolah itu satu-satunya sunnah yang ada atau menampilkan seolah kau tau sedekah yang mulia bukanlah pernyataan tulus, melainkan sindiran halus yang menusuk. Penyair menggunakan ironi untuk mengatakan sesuatu yang berlawanan dengan maksud sebenarnya. Ini mengajak pembaca untuk merenungkan makna tersembunyi di balik kata-kata tersebut, yaitu kritik terhadap orang-orang yang menggunakan dalih agama untuk kepentingan pribadi atau nafsu. Kritik menjadi lebih tajam dan membuat pembaca yang merasakan fenomena tersebut akan merasa tertampar.
Pada akhirnya, puisi Sunnah Basa-Basi adalah contoh bagaimana estetika kritik religius bekerja dalam sastra. Hardi Abu Rafa tidak hanya menciptakan karya yang indah secara linguistik, tetapi juga memanfaatkan setiap unsur estetika dari diksi, citraan, hingga gaya bahasa, untuk menyampaikan teguran dan ajakan introspeksi. Puisi ini mengajak kita untuk merenungkan kembali esensi sunnah dan spiritualitas sejati. Ia menjadi pengingat bahwa praktik keagamaan haruslah dilandasi ilmu, hujjah, dan keikhlasan hati, bukan sekadar basa-basi yang lahir dari nafsu dan kemunafikan. Melalui keindahan bahasanya, Hardi Abu Rafa berhasil menyajikan kritik yang kuat, relevan, dan menggugah kesadaran.
You may like
Opini
Nasib Manuskrip Pasca Banjir: Upaya Penyelamatan dan Restorasi Budaya
Published
1 week agoon
8 December 2025By
Mitra Wacana

Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas2
Ungkapan “Sakali aia gadang, sakali tapian barubah.” bukan hanya sekedar pepatah Minangkabau, melainkan juga memori ekologis masyarakat terhadap alam. Banjir bukan hanya sekedar peristiwa alam, melainkan bagian dari sejarah yang terus berulang dan meninggalkan bekas pada masyarakat. Namun, perubahan yang ditinggalkannya bukan hanya pada bentang alam dan kehidupan sosial, tetapi juga pada jejak intelektual masa lalu masyarakat, salah satunya terekam dalam manuskrip.
Manuskrip merupakan tulisan yang ditulis menggunakan tangan pada lembaran-lembaran kertas, yang didalamnya berisi pemikiran orang-orang pada masa lampau. Sejalan dengan Baried (1985:54) manuskrip adalah medium teks berbentuk konkret dan nyata. Di dalam Manuskrip ditemukan tulisan-tulisan yang merupakan sebuah simbol bahasa untuk menyampaikan sesuatu hal tertentu. Manuskrip dapat dikatakan sebagai salah satu warisan nenek moyang pada masa lampau, berbentuk tulisan tangan yang mengandung berbagai pemikiran dan perasaan tercatat sebagai perwujudan budaya masa lampau. Sehingga akan sayang sekali jika pemikiran nenek moyang kita hilang akibat penanganan yang kurang tepat.
Manuskrip-manuskrip yang tersimpan di surau, rumah gadang, perpustakaan nagari, maupun kediaman para ninik mamak sering kali menjadi korban dari bencana alam, salah satunya banjir. Karena setelah banjir tersebut mulai surut, nasib manuskrip itu dipertaruhkan. Ketika banjir menyapu perkampungan, kertas-kertas manuskrip itu basah oleh air, menyebabkan tulisan pada teks-nya bisa saja pudar. Pada titik inilah penanganan awal menjadi penentu apakah sebuah naskah masih mungkin diselamatkan atau justru rusak.
Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui cara penanganan darurat manuskrip basah. Di beberapa tempat, manuskrip yang terendam justru dijemur langsung di bawah terik matahari yang bisa menyebabkan lembarannya menempel. Ada pula yang mengeringkannya di dekat api untuk mempercepat proses pengeringan, padahal suhu panas justru membuat tinta luntur dan kertas mengerut. Bahkan dalam situasi panik, sebagian manuskrip dibersihkan dengan kain kasar atau disikat karena dianggap kotor, yang pada akhirnya merobek halaman-halaman yang sebenarnya masih mungkin diselamatkan. Kecerobohan kecil seperti itu sering kali menjadi perbedaan antara manuskrip yang dapat bertahan dan punah.
Untuk itu, perlunya peran dan dukungan pemerintah dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya penanganan dan perawatan manuskrip yang benar, karena manuskrip seringkali berada di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, detik-detik pertama setelah air surut sepenuhnya bergantung pada pengetahuan masyarakat setempat. Pemerintah dapat melibatkan masyarakat baik individu maupun lembaga dalam merawat dan melestarikan manuskrip.
Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan edukasi tentang perawatan manuskrip yang baik dan benar sehingga manuskrip yang ada seringkali rusak sebelum sempat di digitalisasi. Padahal langkah-langkah sederhana seperti memisahkan halaman yang menempel, mengeringkan naskah di tempat teduh dan berangin, atau menyerap air dengan tisu tanpa tekanan berlebihan, bisa menjadi penyelamat sebelum tim konservator datang. Edukasi inilah yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah daerah, perpustakaan, dan lembaga kebudayaan.
Bencana banjir sudah berulang kali terjadi, bahkan dari dahulu kala. Hal tersebut seharusnya menjadi pengingat bahwa pengetahuan mengenai perawatan naskah manuskrip sangat penting, tidak hanya bagi satu pihak saja tetapi diperlukan kerjasama dari berbagai pihak. Kerja sama antara pemerintah, akademisi, komunitas budaya, dan masyarakat adalah kunci dalam menjaga keberlangsungan manuskrip. Pemerintah dapat mengambil peran sebagai penyedia edukasi, tentang bagaimana penanganan darurat terhadap manuskrip, serta menyediakan peralatan yang menunjang penyelamatan manuskrip. Sementara masyarakat, sebagai pihak terdekat dengan naskah, menjadi penentu apakah pengetahuan teoretis itu dapat dijalankan dengan benar di lapangan.
Jika manuskrip adalah kunci yang menyimpan ingatan suatu peradaban, maka penyelamatannya adalah urusan berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga, masyarakat adat, dll. Banjir boleh mengubah bentuk geografis daerah, tetapi bukan berarti ia bisa menghapus jejak pemikiran para leluhur yang sudah diwariskan begitu lama. Karena pada akhirnya, yang membuat suatu masyarakat bertahan bukan hanya rumah dan infrastruktur yang diperbaiki, ataupun peradaban yang dibangun ulang, tetapi juga tentang cerita, gagasan, ilmu dan identitas yang mereka wariskan melalui lembaran-lembaran kertas tua.

Mitra Wacana Hadiri Rapat Koordinasi Organisasi Kemasyarakatan Kabupaten Bantul

Mitra Wacana Ikuti Orasi Budaya Hari HAM FISB UII







