Opini
Harmoni Kolaborasi Agama, Negara, dan Masyarakat dalam Mengatasi Krisis Lingkungan
Published
2 years agoon
By
Mitra Wacana

Akbar Pelayati, Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam, Uin Alauddin Makassar, Juga merupakan Aktivis HMI MPO Cabang Makassar.
Krisis lingkungan bukan hanya sekadar bencana yang akan melanda bumi kita; ini adalah sebuah panggilan yang mendesak kita untuk bertindak. Di tengah gemerlapnya pergulatan isu-isu global seperti perubahan iklim dan penurunan biodiversitas, dunia kini membutuhkan respons holistik. Itulah mengapa kolaborasi antara agama, negara, dan masyarakat menjadi semakin penting untuk memecahkan masalah dalam menangani tantangan lingkungan.
Dari sudut pandang agama, kita melihat bagaimana nilai-nilai moral dan spiritual memberikan landasan kuat untuk menjaga alam. Konsep ecotheology, misalnya, menggabungkan prinsip-prinsip agama dengan wawasan lingkungan, menawarkan perspektif baru tentang hubungan antara manusia dan alam. Ajaran Islam menekankan penghormatan terhadap lingkungan sebagai bagian integral dari iman, menjadikannya sumber inspirasi bagi individu dan komunitas untuk bertindak bertanggung jawab terhadap lingkungan.
Di sisi lain, peran negara tidak bisa diabaikan. Melalui kebijakan lingkungan yang ketat, negara dapat menciptakan kerangka kerja yang mendukung praktik bisnis berkelanjutan. Program seperti PROPER di Indonesia bukan hanya sekadar alat evaluasi, tetapi juga sebagai pendorong bagi industri untuk bergerak menuju praktik yang lebih ramah lingkungan. Selain itu, negara juga memiliki peran dalam menggalang kerjasama internasional untuk menangani masalah lingkungan secara bersama-sama.
Namun, tanggung jawab tidak hanya terletak pada pundak agama dan negara. Setiap individu dalam masyarakat memiliki peran penting dalam menjaga lingkungan. Dari tindakan sederhana seperti pengelolaan sampah hingga dukungan terhadap inisiatif lingkungan, setiap langkah kecil memiliki dampak yang besar dalam menjaga keberlanjutan Bumi.
Kolaborasi yang erat antara agama, negara, dan masyarakat adalah kunci untuk mengatasi krisis lingkungan. Dengan bersatu, kita dapat menjaga harmoni antara manusia dan alam, menciptakan lingkungan yang lebih baik untuk generasi mendatang. Tantangan ini bukan hanya panggilan untuk bertindak, tetapi juga kesempatan untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik bagi Bumi kita dan semua makhluk yang menghuninya.
You may like


Naila Rahma, mahasiswa jurusan Tadris Bahasa Indonesia di Fakultas Adab dan Bahasa, Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta.
Di era digital saat ini, citra kampus dibangun tidak hanya lewat prestasi akademik atau fasilitas yang megah, tetapi juga melalui unggahan di media sosial terutama Instagram. Setiap kegiatan mahasiswa, lomba, dan juga potret keseharian diabadikan untuk memperkuat “Branding” lembaga atau kampus.
Namun, di balik tampilan yang estetik itu, ada fenomena yang sering luput dari perhatian, yaitu akun resmi kampus seperti Instagram yang cenderung menampilkan wajah-wajah yang dianggap menarik secara visual, yang sering diiming-imingi sebagai “Si cantik dan si ganteng.” Sementara itu, mahasiswa lain yang sama-sama berkontribusi, jarang mendapat ruang.
Sebagai mahasiswa, tentu kita senang melihat kampus sendiri tampil secara rapi dan modern di media sosial. Tetapi, jika setiap unggahan hanya menonjolkan satu tipe wajah dan gaya, secara perlahan akan muncul persepsi yang tidak baik. Kampus akan tampak ekslusif, seolah hanya diisi oleh mereka yang tampilannnya “Instagramable.”
Padahal, kenyataan yang terjadi lebih dari itu. Kampus memiliki berbagai ragam tipe mahasiswa, ada yang berprestasi di bidang akademik dan non akademik, ada yang aktif di organisasi sosial, dan juga ada yang diam-diam menginspirasi lewat karya kecilnya.
Fenomena seperti ini tidak akan bisa terlepas dari budaya visual di era digital. Dijelaskan oleh Rahman (2021) dalam penelitianya, bahwa strategi komunikasi digital kampus sering kali lebih berfokus pada pembentukan citra dibanding pada keberagaman.
Ketika media sosial kampus lebih sering menampilkan wajah-wajah visual tertentu, yang akan terbentuk bukan hanya citra lembaga, tetapi juga standar ideal dari “Mahasiswa kampus tersebut.” Akibatnya, media sosial yang seharusnya menjadi ruang representatif malah berubah menjadi etalase selektif.
Penelitian yang dilakukan oleh Rahman (2021) mengenai representasi perguruan tinggi di media sosial juga menunjukkan bahwa komunikasi digital kampus lebih berfokus pada tampilan visual yang dianggap “Menarik” dan “Mengesankan”. Namun, hal ini akan menimbulkan dampak yang cukup besar. Akan ada mahasiswa yang mulai merasa minder karena dirinya tak sesuai dengan standar visual yang ditampilkan di sosial media. Ada juga yang mengukur nilai dirinya dari seberapa sering dia muncul di feed kampus. Pola pikir yang seperti ini dapat menimbulkan kesan eksklusif terhadap identitas mahasiswa.
Padahal, akun kampus seharusnya bisa menjadi ruang inklusif yang mengakui keberagaman mahasiswanya, bukan malah menutupinya dengan filter dan sudut pengambilan gambar yang seragam. Ketika akun resmi kampus hanya menampilkan “Tipe ideal,” pesan yang tersampaikan ke publik pun tidak sepenuhnya netral dan dipandang kalau citra kampus ditentukan oleh tampilan fisik, bukan isi pikirannya. Hal ini bisa berbahaya dalam waktu jangka panjang karena membentuk persepsi eksklusif yang tidak mencerminkan realitas mahasiswa secara utuh.
Maka, sudah saatnya kampus memikirkan kembali strategi komunikasinya di media sosial. Mendorong akun resmi kampus untuk menampilkan keberagaman mahasiswa bukan berarti mengorbankan estetika, melainkan memperluas narasi. Hal seperti ini disampaikan juga oleh Handayani (2022) dalam Jurnal Komunikasi Indonesia, konten visual yang beragam justru memperkuat keterlibatan penonton karena menghadirkan kedekatan dan representasi yang lebih nyata.
Sesuatu yang di unggah bisa memuat tentang mahasiswa yang menang perlombaan akademik maupun non akademik, kemudian mahasiswa yang aktif di komunitas sosial, ataupun yang berkarya di luar kampus. Dengan begitu, setiap postingan yang diunggah tidak hanya menarik secara visual, tetapi juga bermakna secara sosial.
Admin yang memegang media sosial kampus pun memiliki peran penting. Mereka tidak hanya sekadar pembuat konten, tetapi juga penjaga citra kampus. Dengan menampilkan keberagaman mahasiswa, berarti menunjukkan bahwa kampus menghargai setiap individu, tanpa melihat warna kulit, bentuk tubuh, gaya berpakaian, atau latar sosialnya. Justru dari situlah nilai keindahan yang sebenarnya, yaitu pada keberagaman yang nyata, bukan pada keseragaman yang dibuat-buat.
Di tengah budaya visual yang saat ini semakin mendominasi, kampus perlu untuk kembali pada esensi pendidikan yang mampu membentuk mahasiswa berpikir kritis, empatik, dan terbuka. Keindahan sejati kampus tidak terletak pada seberapa “Estetik” unggahannya, tetapi pada seberapa luas ruang yang diberikan kepada mahasiswanya untuk terlihat dan diakui.
Mungkin bukan masalah besar jika akun kampus menampilkan wajah visual yang menarik. Namun, perlu diingat kembali, bahwa di balik setiap unggahan yang tampak sempurna, selalu ada cerita lain yang layak untuk disorot. Karena, keberagaman bukan hanya sekadar konten, tetapi ia adalah cermin dari siapa kita sebagai komunitas akademik.

Si Cantik, Si Ganteng, dan Kampus Kita

Mitra Wacana Hadiri Rapat Koordinasi Organisasi Kemasyarakatan Kabupaten Bantul







