web analytics
Connect with us

Uncategorized @id

Hentikan Kekerasan Terhadap Jurnalis Perempuan

Published

on

Mitra Wacana

Yogyakarta-Memperingati Hari Perempuan Internasional setiap 8 Maret, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta mengusung dua isu penting. Pada peringatan Hari Perempuan Internasional 2017 ini, AJI Yogyakarta bergabung dengan aksi jalan kaki Komite Perjuangan Perempuan dari Taman Parkir Abu Bakar Ali menuju Titik Nol. Organisasi profesi jurnalis ini mendesak semua kalangan untuk melawan semua bentuk kekerasan terhadap jurnalis perempuan.

Dalam catatan AJI Yogyakarta, ada dua isu penting mengenai kekerasan terhadap perempuan yang terkait dengan jurnalis dan media. Pertama, AJI Yogyakarta mendesak semua pihak untuk menghentikan kekerasan terhadap jurnalis perempuan. Sejumlah jurnalis perempuan beberapa waktu terakhir telah mengalami sejumlah kekerasan mulai dari kekerasan verbal, fisik hingga seksual. Kekerasan verbal berupa intimidasi bahkan dilakukan aparat negara dan milisi sipil saat jurnalis perempuan meliput di lapangan.

Adapun gambaran kasus kekerasan seksual terhadap jurnalis perempuan antara lain terjadi di ruang redaksi. Menurut catatan AJI Indonesia, kekerasan seksual terhadap jurnalis perempuan di ruang redaksi perlu mendapat perhatian. Pemenuhan ruang kerja layak bagi perempuan di media masih menjadi catatan. Salah satu bentuk ruang kerja layak adalah ada mekanisme pencegahan, perlindungan dan penyelesaian dari kekerasan seksual di ruang kerja atau saat bekerja.

Kekerasan seksual itu berpotensi dialami jurnalis/ pekerja media perempuan di ruang kerja atau saat bekerja di lapangan. Bentuk kekerasan seksual sesuai definisi Komnas Perempuan diantaranya perkosaan, intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan, pelecehan seksual (fisik atau verbal), dan eksploitasi seksualnya.

Pada banyak kasus, karena perusahaan media tidak memiliki mekanisme penanganan kekerasan seksual yang berpihak pada korban, membuat korban memilih mendiamkan kasusnya. Upaya D, wartawan magang di Radar Lawu (Group Jawa Pos) membawa kasus kekerasan seksual yang dialaminya di ruang redaksi ke proses hukum menjadi pelajaran penting. Kekerasan seksual yang dilakukan Didik Purwanto (redaktur senior Radar Lawu), terjadi sepanjang Januari- awal Maret 2016.

Proses awal advokasi kasus ini tidak mudah, karena lingkungan kerja (terutama rekan sejawat dan atasan) pelaku lebih melindungi pelaku. Kerjasama sepanjang tujuh bulan antar berbagai lembaga perempuan dan bantuan hukum di Jawa Timur dan Solo dengan AJI Kediri mengawal kasus hukum kekerasan seksual ini, membuahkan hasil.

Pelaku divonis bersalah dan dihukum 8 bulan penjara.Catatan AJI, kasus ini adalah kasus pertama kekerasan seksual di ruang kerja (media) yang diproses hukum dan pelaku dihukum penjara. Putusan ini patut diapresiasi meskipun jauh dari harapanya, agar pelaku mendapat hukuman maksimal sesuai pasal 281 ayat 1 KUHAP, yaitu 2 tahun 8 bulan.

Proses hukum kasus kekerasan seksual yang sebelumnya pernah terjadi, seperti di LKBN Antara pada 2014 lalu, macet. Padahal empat korban telah melaporkan pelaku (manajer LKBN Antara) ke Polda Metro Jaya. LKBN Antara hanya memberikan sanksi berupa mutasi tempat kerja bagi pelaku karena menunggu putusan pengadilan.

Begitu juga pada kasus kekerasan seksual di Geotimes yang terjadi tahun lalu yang dialami salah seorang reporter, di ruang redaksi. Manajemen tidak serius menindak pelaku. Pelecehan seksual saat peliputan juga dialami reporter CNN Indonesia saat melakukan peliputan aksi massa 4 Desember lalu.
Kondisi ini setidaknya perlu mendapat perhatian bagi perusahaan media dengan membuat menciptakan ruang kerja yang nyaman bagi semua, dan SOP penanganan kasus kekerasan seksual di tempat kerja atau selama bekerja yang berpihak pada korban agar jurnalis perempuan dapat memaksimalkan potensinya tanpa rasa khawatir. Selain itu media perlu terus mengawal kasus-kasus itu untuk menunjukkan keseriusan penanganan kasus dengan tetap memberikan pendampingan yang psikologis pada korban.

Langkah di atas penting karena dapur media adalah refleksi dari produk media khususnya dalam menulis isu-isu kekerasan seksual. Hasil riset Komisi Nasional Anti kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) terhadap pemberitaan kekerasan seksual sepanjang 2015 menunjukkan, media (termasuk media mainstream) cenderung tidak sensitif pada korban. Kepekaan internal media dengan menciptakan ruang kerja yang layak bagi perempuan diharapkan meningkatkan sensitifitas pekerja media dalam melakukan peliputan kekerasan seksual.

Dewan Pers, AJI dan Komnas Perempuan pada 27 November 2016 mendirikan posko pengaduan kekerasan seksual bagi pekerja media sebagai bagian kampanye penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan bagi pekerja media. Kedepan akan merumuskan mekanisme advokasi penanganan kasus kekerasan seksual pekerja media.

Isu kedua yang tidak kalah penting pada peringatan Hari Perempuan Internasional 2017 adalah, praktik pemberitaan oleh sejumlah redaksi media yang tidak sensitif pada isu perempuan dan anak. Terutama pemberitaan mengenai kasus-kasus pemerkosaan atau KDRT yang menimpa korban perempuan. Sejumah media ditemukan lebih senang mengumbar sensasional ketimbang memberi perspektif edukasi agar kasus kekerasan terhadap perempuan ini dihentikan.

Contact person
Ketua AJI Yogyakarta, Anang Zakaria: 081353297464
Koordinator Divisi Gender AJI Yogyakarta, Shinta Maharani: 082221495244

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

KONSTRUKSI MEDIA MASSA TERHADAP CITRA PEREMPUAN

Published

on

Sumber: Freepik

TANTANGAN GERAKAN PEREMPUAN DI ERA DIGITAL

Lilyk Aprilia Volunteer Mitra Wacana

Di era globalisasi, media massa menjadi salah satu hal yang penting dalam kehidupan masyarakat baik digunakan sebagai alat untuk komunikasi, mencari informasi, atau hiburan. Media massa terus mengalami perkembangan dari yang mulanya konvensional hingga sekarang menjadi modern . Berbicara mengenai media massa tentu ada hal yang menjadikan media massa memiliki nilai tarik tersendiri terlebih jika dihubungkan dengan keberadaan perempuan.

      (Suharko, 1998)  bahwa tubuh perempuan digunakan sebagai simbol untuk menciptakan citra produk tertentu atau paling tidak berfungsi sebagai latar dekoratif suatu produk.  Media massa dan perempuan merupakan dua hal yang sulit dipisahkan. Terutama dalam bisnis media televisi. Banyaknya stasiun televisi yang berlomba-lomba dalam menyajikan sebuah program agar diminati oleh masyarakat membuat mereka mengemas program tersebut semenarik mungkin salah satunya dengan melibatkan perempuan. Perempuan menjadi kekuatan  media untuk menarik perhatian masyarakat. Bagi media massa tubuh perempuan seolah aset terpenting yang harus dimiliki oleh media untuk memperindah suatu tayangan yang akan disajikan kepada masyarakat sehingga memiliki nilai jual yang tinggi.

     Media massa memiliki beberapa fungsi diantaranya sebagai wadah untuk memberikan informasi kepada masyarakat. Informasi yang diberikan kepada masyarakat salah satunya dalam bentuk iklan sebuah produk atau layanan jasa . Iklan merupakan sebuah informasi yang diberikan kepada masyarakat mengenai hal yang berhubungan dengan suatu produk atau jasa yang dikemas dengan semenarik mungkin.  Memiliki tujuan untuk menarik minat konsumen membuat salah satu pihak menjadi dirugikan . Pasalnya pemasang iklan dalam mengenalkan produknya kepada masyarakat sering kali memanfaatkan perempuan sebagai objek  utama untuk memikat para konsumen. Memanfaatkan wajah dan bentuk tubuh sebagai cara untuk menarik perhatian masyarakat membuat citra perempuan yang dimuat pada iklan terus menjadi sumber perdebatan karena dinilai menjadikan tubuh perempuan sebagai nilai jual atas produk yang ditawarkan . Ironisnya hal ini terus menerus dilakukan. 

         Memanfaatkan fisik sebagai objek untuk diekploitasi sudah bukan menjadi rahasia umum lagi. Terlihat dari citra perempuan yang digambarkan oleh tayangan iklan ataupun acara program televisi. Kecantikan perempuan dijadikan sebagai penghias tampilan dari suatu program acara. Dipoles sedemikian rupa untuk mendapatkan tampilan yang cantik kemudian dikonsumsi oleh publik. Demi untuk mengedepankan kepentingan media bahkan hak hak perempuan yang seharusnya dimiliki mereka dikesampingkan oleh media .  

     Selain sebagai wadah informasi untuk masyarakat media massa juga berfungsi sebagai hiburan.. Tayangan televisi yang sampai saat ini menempati rating tertinggi yaitu dalam kategori sinetron. Gambaran dalam tayangan tersebut banyak yang melibatkan perempuan dengan menggambarkan posisi perempuan selalu dibawah laki-laki. Tidak terlalu memperhatikan  pesan tersirat apa yang terkandung dalam tayangan tersebut, masyarakat terus-menerus mengkonsumsinya seolah tayangan tersebut tidak memiliki pesan yang bermasalah. Jika diperhatikan lebih lanjut banyak sekali peran perempuan yang digambarkan dari sisi lemahnya atau hanya melakukan pekerjaan domestik saja. Dengan begitu apa yang disajikan oleh media akan tertanam difikiran mereka sehingga menganggap pesan media massa sebagai realitas yang benar dan menjadi nilai yang kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

 

 Kekuatan Media Massa Dalam Membentuk Citra Perempuan

      Media massa memiliki kemampuan dalam membentuk citra . Bermula dari gambaran atas kenyataan yang ada dimasyarakat kemudian dikembangkan dengan menggunakan bahasa yang mengandung makna baru  namun masih memiliki acuan terhadap fakta yang ada kemudian disajikan kepada masyarakat secara terus menerus.  Dengan begitu citra yang dibentuk oleh media massa akan mempengaruhi realitas kehidupan dimasyarakat. Mengingat minat masyarakat terhadap objektifikasi perempuan cukup tinggi, media massa berlomba-lomba membentuk citra perempuan yang sempurna untuk mencapai target pasar dengan menggiring opini publik dalam menetapkan standar ‘cantik’ menurut media. Perempuan kerap kali dijadikan alat oleh media massa sebagai ladang untuk mendapatkan keuntungan dengan menampilkan kemolekan dan kecantikan fisiknya. Konstruksi sosial pada citra perempuan yang terjadi pada media massa bukan lagi hal baru dan tabu, fenomena ini terus berulang seolah menjadi kebenaran dalam mengkotakkan citra perempuan. 

     Selain itu pembenaran yang terus dilanggengkan oleh media massa terkait citra perempuan menjadikan sudut pandang masyarakat berkiblat pada standar yang digaungkan media massa tersebut sehingga menjadi salah satu agen budaya yang berpengaruh terhadap realita di kehidupan masyarakat.  Penggambaran terhadap perempuan oleh media massa semakin memperjelas bahwa posisi perempuan diranah publik masih lemah.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending