web analytics
Connect with us

Opini

Ironi dan Sarkasme dalam Cerpen AYAH, ANJING Karya Yusrizal KW

Published

on

Oleh: Aini Nurlatipa

Ironi dan sarkasme mungkin terdengar familiar di telinga kita, mungkin seseorang pernah mengatakan suatu sarkasme kepadamu atau kamu mengatakan sarkasme kepada orang lain. Jika pernah mengalami dua hal diatas, lalu tahukah kamu apa yang dimaksud dengan sarkarme dan ironi? Dalam stlistika ironi dan sarkasme merupakan salah satu stile bahasa yang bersifat pengontrasan, singaktnya seperti menyindir seseorang. Hal yang membedakan keduanya adalah tingkat intensitasnya. Ironi terkesan seperti menyindir seseorang dengan lembut dan lebih sopan, sedangkan sarkasme lebih serius dan langsung.

Seperti halnya dalam percakapan sehari-hari, ironi dan sarkasme juga banyak digunakan oleh penulis dalam menciptakan karyanya. Memakai ironi dan sarkasme dalam karya sastra menuntut pembaca untuk mencari kotras dari apa yang dituturkan agar dapan memahami makna yang diutarakan oleh penulis. Ironi dan sarkasme biasanya digunakan pengarang agar lebih mendukung tema dan pesan yang tersirat dalam karya tersebut. Penggunaan ironi dan sarkasme juga dapat membuat pembaca lebih memahami masalah apa yang ingin dikritik oleh penulis. contohnya dalam cerpen AYAH, ANJING karya Yusrizal KW yang kaya akan ironi dan sarkasme dalam penulisannya.

Cerpen AYAH, ANJING ditulis oleh Yusrizal dengan latar budaya Minangkabau. Mengisahkan sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, Samuik (seekor anjing pemburu), ibu, dan seorang anak laki-laki. Ayah atau yang disebut Pajatu memiliki seekor anjing pemburu yang sangat disayanginya melebihi anaknya sendiri yaitu Samuik. Ibu (Lia) dan anak (Imron) merasa bahwa Pajatu tidak adil sebab ia memperlakukan seekor anjing lebih baik daripada mereka. Akibatnya Samuik sering disiksa ketika Pajatu pergi ke ladang atau ketempat lain, hal ini menyebabkan pertengkaran antara Pajatu dan Lia. Pada kahirnya karena merasa bahwa ayahnya lebih menyayangi seekor anjing, maka suatu hari Imron melepaskan anjing pemburu tersebut dan menggantikanya dengan dirinya sendiri menjad seekor anjing.

Setelah membaca cerpen tersebut maka akan tampaklah bahwa tema dari cerpen tersebut merupakan kritik terhadap sosok ayah yang lebih menghargai anjing pelihaaraanya dibandingkan anak dan keluarganya sendiri. Perilaku pilih kasih tokoh ayah didukung oleh ironi dan sarkasme yang terdapat dalam cerpen tersebut. Ironi dan sarkasme ini datang dari berbagai tokoh dalam cerpen dan pengarang cerpen itu sendiri. Beriukut beberapa ironi dan sarkasme yang ditemukan dalam cerpen AYAH, ANJING:

Seperti yang telah didefinisikan di atas, ironi adalah bentuk penyampaian kritik atau sindiran dengan intensitas yang rendah.

  1. “Pajatu mengelus-elus anjing, anjing menujulur-julurkan lidah ke arah Lia yang tengah mengusap-usap rambut Imron. Ibu dan anak duduk berhadap-hadapan dengan ayah dan anjing
  2. “Wah, ini anak saya selain Imron lo, Pak Juar,” kata Pajatu.
  3. “Ia kulepas karena ribut terus. Habis kau pergi tak bawa-bawa dia. Dia protes, seperti Imron waktu kecil menangis ketika tak kubawa ke pasar.” jawab Lla agak sengit.
  4. Imron murung di sudut kamar. la makin sedih dan kecewa pada ayahnya. Apalagi, mengingat tiga hari lalu, ia kebetulan mendapatkan sepotong roti. Roti itu ia makan, lalu ketahuan Ayah. Ayahnya marah, karena roti yang diberikan Pak Juar dari Pak Camat untuk Samuik.
  5. -Tak jarang, bahkan sering kini, pertengkaran di rumah petani sederhana itu dipicu oleh si anjing.

Berbagai ironi yang tertera diatas melalui narasi pengarang dan dialog tokoh ditujukan pada tokoh Pajatu. Ironi ini digunakan untuk mengkritik perilaku yang ditampilkan leh tokoh Pajatu sekaligus menyoroti tindakan pilih kasih yang ia lakukan terhadap anak dan istrinya. Selain ironi, ditemukan juga beberapa sarkasme dalam cerpen tersebut yaitu:

  1. “Pak Camat menawar anjing ini satu juta rupiah, tapi aku tak mau jual…”

 

Imron ditawar seratus juta juga aku tak mau jual.” sungut istrinya

  1. “Pokoknya nggak jual. Cuma ini kebanggaan saya. Kadang lebih membanggakan dari Imron”-Pajatu
  2. “Kadang, ketika seranjang, Lla merasa disetubuhi oleh anjing, karena erangan nikmat suaminya terasa bak suara Samuik yang baginya menjijikkan”.
  3. Kalau ada anjing yang hidupnya beruntung. Samuiklah salah satunya. Dibuatkan kandang, dibelikan gelang leher dari kulit dan rantai yang baik mutunya. Padahal, sepatu dan baju seragam Imron sudah lepas jahitannnya, dan kusam lagi-tak pernah digubris.
  4. Imron duduk bagai anjing dengan lehernya terikat rantai yang biasanya dipakai Samuik. Lidahnya dijulur-julurkan, menirukan gaya anjing.

 

“Ngapain kamu Imron?!” suara Pajatu meninggi. agak parau. Belum kumur-kumur.

 

“Imron ingin menjadi anjing, biar disayang Ayah!”

 

Pajatu terperanjat, hatinya bagai disergap beribu-ribu taring anjing yang tajam

ironi dan sarkasme yang digunakan dalam novel AYAH, ANJING selain bertujuan agar cerita terasa lebih menarik adalah untuk mendukung tema yang diangkat ole penulis. tema kritik sosial terhadap ayah yang pilih kasih antara keluarga dan anjing didukung oleh ironi dan sarkasme yang digunkan oleh penulis. Selain itu narasi dan dialog yang berunsur ironi dan sarkasme juga menunjukkan bagaimana karakter tokoh yang ditampilkan dalam cerita berkembang. Misalnya pada tokoh Imron yang mengalami tindakan tidak adil dari yahnya sehingga menyebabkan Imron cemburu pada seekor anjing lalu memilih menjadi anjing agar disayang oleh ayahnya. Hal ini berdampak pada pembaca yang membaca cerpen AYAH, ANJING. Emosi dan pesan cerita dapat lebih tersampaikan kepada pembaca melalui ironi dan sarkasme yang digunakan penulis.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Nasib Manuskrip Pasca Banjir: Upaya Penyelamatan dan Restorasi Budaya

Published

on

Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas2

Ungkapan “Sakali aia gadang, sakali tapian barubah.” bukan hanya sekedar pepatah Minangkabau, melainkan juga memori ekologis masyarakat terhadap alam. Banjir bukan hanya sekedar peristiwa alam, melainkan bagian dari sejarah yang terus berulang dan meninggalkan bekas pada masyarakat. Namun, perubahan yang ditinggalkannya bukan hanya pada bentang alam dan kehidupan sosial, tetapi juga pada jejak intelektual masa lalu masyarakat, salah satunya terekam dalam manuskrip.

Manuskrip merupakan tulisan yang ditulis menggunakan tangan pada lembaran-lembaran kertas, yang didalamnya berisi pemikiran orang-orang pada masa lampau. Sejalan dengan Baried (1985:54) manuskrip adalah medium teks berbentuk konkret dan nyata. Di dalam Manuskrip ditemukan tulisan-tulisan yang merupakan sebuah simbol bahasa untuk menyampaikan sesuatu hal tertentu. Manuskrip dapat dikatakan sebagai salah satu warisan nenek moyang pada masa lampau, berbentuk tulisan tangan yang mengandung berbagai pemikiran dan perasaan tercatat sebagai perwujudan budaya masa lampau. Sehingga akan sayang sekali jika pemikiran nenek moyang kita hilang akibat penanganan yang kurang tepat.

Manuskrip-manuskrip yang tersimpan di surau, rumah gadang, perpustakaan nagari, maupun kediaman para ninik mamak sering kali menjadi korban dari bencana alam, salah satunya banjir. Karena setelah banjir tersebut mulai surut, nasib manuskrip itu dipertaruhkan. Ketika banjir menyapu perkampungan, kertas-kertas manuskrip itu basah oleh air, menyebabkan tulisan pada teks-nya bisa saja pudar. Pada titik inilah penanganan awal menjadi penentu apakah sebuah naskah masih mungkin diselamatkan atau justru rusak.

Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui cara penanganan darurat manuskrip basah. Di beberapa tempat, manuskrip yang terendam justru dijemur langsung di bawah terik matahari yang bisa menyebabkan lembarannya menempel. Ada pula yang mengeringkannya di dekat api untuk mempercepat proses pengeringan, padahal suhu panas justru membuat tinta luntur dan kertas mengerut. Bahkan dalam situasi panik, sebagian manuskrip dibersihkan dengan kain kasar atau disikat karena dianggap kotor, yang pada akhirnya merobek halaman-halaman yang sebenarnya masih mungkin diselamatkan. Kecerobohan kecil seperti itu sering kali menjadi perbedaan antara manuskrip yang dapat bertahan dan punah.

Untuk itu, perlunya peran dan dukungan pemerintah dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya penanganan dan perawatan manuskrip yang benar, karena manuskrip seringkali berada di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, detik-detik pertama setelah air surut sepenuhnya bergantung pada pengetahuan masyarakat setempat. Pemerintah dapat melibatkan masyarakat baik individu maupun lembaga dalam merawat dan melestarikan manuskrip. 

Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan edukasi tentang perawatan manuskrip yang baik dan benar sehingga manuskrip yang ada seringkali rusak sebelum sempat di digitalisasi. Padahal langkah-langkah sederhana seperti memisahkan halaman yang menempel, mengeringkan naskah di tempat teduh dan berangin, atau menyerap air dengan tisu tanpa tekanan berlebihan, bisa menjadi penyelamat sebelum tim konservator datang. Edukasi inilah yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah daerah, perpustakaan, dan lembaga kebudayaan.

Bencana banjir sudah berulang kali terjadi, bahkan dari dahulu kala. Hal tersebut seharusnya menjadi pengingat bahwa pengetahuan mengenai perawatan naskah manuskrip sangat penting, tidak hanya bagi satu pihak saja tetapi diperlukan kerjasama dari berbagai pihak. Kerja sama antara pemerintah, akademisi, komunitas budaya, dan masyarakat adalah kunci dalam menjaga keberlangsungan manuskrip. Pemerintah dapat mengambil peran sebagai penyedia edukasi, tentang bagaimana penanganan darurat terhadap manuskrip, serta menyediakan peralatan yang menunjang penyelamatan manuskrip. Sementara masyarakat, sebagai pihak terdekat dengan naskah, menjadi penentu apakah pengetahuan teoretis itu dapat dijalankan dengan benar di lapangan.

Jika manuskrip adalah kunci yang menyimpan ingatan suatu peradaban, maka penyelamatannya adalah urusan berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga, masyarakat adat, dll. Banjir boleh mengubah bentuk geografis daerah, tetapi bukan berarti ia bisa menghapus jejak pemikiran para leluhur yang sudah diwariskan begitu lama. Karena pada akhirnya, yang membuat suatu masyarakat bertahan bukan hanya rumah dan infrastruktur yang diperbaiki, ataupun peradaban yang dibangun ulang, tetapi juga tentang cerita, gagasan, ilmu dan identitas yang mereka wariskan melalui lembaran-lembaran kertas tua.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending