web analytics
Connect with us

PTPPO

Keberangkatan PMI tidak Prosedural Berbuah Ancaman

Published

on

Yngvie Ahsanu Nadiyya

 Bagian 4 Buku Menyuarakan Kesunyian

Saya tidak pernah digaji sesuai dengan kontrak, saya juga gak dibolehin ngirim uang buat keluarga di rumah, pas pulang juga gak dikasih bekal apa-apa, saya sengaja dipulangin mbak, dibikin sakit saya itu sama mereka, padahal saya malu gak bawa apa-apa buat keluarga”. (WR)

Pernyataan WR membuyarkan lamunan saya pada suatu petang saat pertemuan rutin  organisasi P3A PESISIR (Pusat Pembelajaran Perempuan dan Anak Perempuan Sehat Beriman) Desa Banaran, Kecamatan Galur, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Waktu itu saya mendapat giliran menyampaikan materi kejahatan dan pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Setelah sesi belajar selesai, saya beristirahat sebentar lalu berpindah tempat duduk untuk mendekat dengan ibu-ibu yang hadir. Di atas tikar anyaman bambu berwarna kuning telah tersedia berbagai kudapan khas desa, seperti; jadah, tempe, klepon, bakso goreng, arem-arem dan timus. Hidangan tersebut kebanyakan merupakan hasil kreasi ibu-ibu  anggota  organisasi yang dijadikan unit usaha kelompok sebagai penunjang program kerja organisasi.

Tatkala pikiran saya mengembara, tiba-tiba seorang anggota P3A PESISIR datang menghampiri. Dia terlihat cantik dengan balutan kerudung ungu muda. Atasan batik yang senada, serta celana panjang hitam yang menyempurnakan penampilannya. Saya mengenalnya dengan nama WR. Tanpa basa-basi, WR melontarkan sebuah pertanyaan tak lama setelah berada tepat di samping saya.

“Mbak, ternyata dahulu waktu aku berangkat kerja ke luar negeri aku sebenarnya kena perdagangan orang ya mbak?” Tanya WR.

“Bagaimana bu?” Saya menjawab sembari mencoba menanggapinya dengan perasaan yang tidak menentu.

WR lalu menceritakan pengalamannya ketika berangkat ke Taiwan sebagai PMI (Pekerja Migran Indonesia). Nahasnya, bukan kesejahteraan yang peroleh, justru mendapati dirinya telah ditipu habis-habisan oleh agen yang menaunginya. Sungguh sayang, pada saat itu cerita terputus karena waktu pertemuan rutin harus segera berakhir. Namun, sebelum berpamitan kami sempat membuat janji untuk melanjutkan diskusi  di hari lain.

Saya adalah seorang  CO  (Community  Organizer) di perkumpulan Mitra Wacana. Beralamat di Gedongan Baru, Banguntapan, Bantul. Bergabung semenjak bulan November 2018 hingga sekarang. Saya ditugaskan mendampingi   masyarakat,   khususnya   remaja   desa di Kecamatan Galur, Kulon Progo untuk program Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Tugas ini  menjadi  gerbang  utama  yang  membawa saya masuk ke dalam kisah-kisah  pilu  yang  dialami oleh mantan pekerja migran di Kecamatan Galur. WR merupakan satu diantaranya.

Selama mengorganisir remaja desa, saya telah berhasil mengumpulkan sejumlah muda-mudi yang bersedia bergabung sebagai tim media desa. Tujuannya untuk mengampanyekan pencegahan perdagangan orang di desanya masing-masing.

Dari beberapa pilihan  media  kampanye,  media desa Banaran memilih film pendek sebagai alat untuk mengangkat kasus perdagangan orang yang menimpa beberapa anggota P3A PESISIR. Sebagian besar dari anggota P3A merupakan mantan pekerja migran. Kisah WR akan menjadi karya pertama tim media Desa Banaran untuk turut serta mengampanyekan pencegahan tindak pidana perdagangan orang.

Demi mendapat cerita yang lengkap, saya bersama tim media desa Banaran yang berjumlah 3 orang mengunjungi kediaman WR. Ketika kami sampai di rumahnya, WR tampak bersemangat menyambut kedatangan kami. Tergambar dari senyuman yang sering dia pamerkan. Kami disuguhi teh dan bakwan jagung yang masih hangat. Dimulai dengan obrolan pembuka, saling bertanya kabar dan aktivitasnya, percakapan antara kami dan WR lambat laun berkembang. Kami mulai mengenal sosoknya secara dekat.

WR merupakan seorang ibu dari seorang anak. Bekerja sebagai buruh serabutan di desanya sepulang dari luar negeri menjadi pekerja migran. Disela-sela kesibukannya bekerja dan mengurus  rumah  tangga, WR masih menyempatkan diri untuk bergabung menjadi anggota organisasi P3A PESISIR.

Selama menjadi anggota P3A, WR banyak men- dapatkan informasi hak-hak pekerja migran. Setelah sekian lama bergabung, WR akhirnya menyadari tentang berbagai tindakan sewenang-wenang yang pernah dialaminya saat bekerja di Taiwan pada 2010 silam. Sambil menyeruput teh dan menikmati bakwan jagung yang lezat, saya memberanikan diri untuk mendiskusikan lebih rinci tentang pengalamannya saat bekerja di luar negeri.

Disebabkan oleh himpitan ekonomi dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang kerap menimpanya. WR mencari tahu informasi lowongan pekerjaan yang mungkin dapat menjadi kesempatan agar bisa keluar dari situasi sulit yang telah lama membebani hidupnya.

Pada mulanya, WR mendapat informasi dari kerabatnya tentang perusahaan penyalur tenaga kerja ke luar negeri yang berada di Jakarta. Saat mendaftar, WR sudah merasa janggal terhadap perusahaan tersebut yang justru memberikan saran pada WR agar membuat paspor wisata atau kunjungan. Padahal WR telah mengetahui bahwa salah satu syarat menjadi pekerja migran adalah memiliki paspor kerja. Saat itu, WR mengurungkan niatnya pergi ke luar negeri.

Namun, agar secepatnya bisa keluar dari kesulitan hidup, WR berusaha mendapatkan agen penyalur tenaga kerja ke luar negeri karena merasa putus asa dengan kondisinya di desa. Tak lama setelah mencari, akhirnya WR mendapatkan informasi perusahaan penyalur tenaga kerja di Yogyakarta. Berbeda dari perusahaan sebelumnya, proses pendaftaran kali ini terbilang cukup lancar, WR tidak diminta biaya apa pun untuk mengurus keberangkatannya, semua ditanggung oleh perusahaan dengan syarat dan ketentuan berlaku.

“Kata petugasnya, gak usah bayar apa-apa mbak, tetapi nanti gaji saya dipotong setiap bulan. Ya karena itu saya jadi mau, karena gak usah ngurus surat-surat, soalnya saya gak paham” ungkap WR kepada kami.

WR mengikuti prosedur yang diberikan oleh perusahaan sebelum terbang ke luar negeri, dengan mengikuti pelatihan bahasa. Pada tahun 2010 WR diberangkatkan ke Surabaya. Namun, sesampainya di Surabaya WR dikejutkan dengan kondisi dan situasi tempat tinggal sementara yang sama sekali berbeda sebagaimana yang dijanjikan oleh perusahaan. WR ditampung di sebuah rumah, bersama  dengan  calon PMI lainnya dari perusahaan yang berbeda. Bagi WR, perusahaan sebelumnya tampak cuci tangan dengan mengoper dirinya kepada perusahaan lain di Surabaya.

Akibat ketidakpastian, akhirnya WR resmi berangkat ke Taiwan pada 2010. WR meninggalkan Indonesia penuh dengan kesedihan. WR bercerai dengan suami, dan terpaksa berpisah dengan anaknya yang  masih kecil. Keinginan untuk meningkatkan ekonomi keluarga ternyata tidak semulus harapannya. Di Taiwan, WR tidak langsung dapat bekerja dengan tenang. Sialnya, malah ditampung di sebuah tempat yang lebih mirip penjara dengan sekat besi yang tampak mengerikan. Menurut WR tempat itu digunakan untuk tes kesiapan kerja, sebagaimana penuturan seorang pegawai yang ditugaskan oleh perusahaan. Sayangnya, dalam proses tes, WR diperlakukan tidak manusiawi (WR tidak bersedia menceritakan lebih rinci). Menurut WR, fasilitas kesehatan yang disediakan juga tidak memenuhi standar layak.

Dokumen resmi seperti seperti pasport dan dokumen pelengkap lainnya diminta agen secara paksa. WR juga tidak sempat mencatat hal-hal penting yang ada di dalam surat-surat miliknya. Tidak lama setelah tinggal di penampungan, akhirnya WR mendapat pekerjaan sebagai pengasuh anak. Dalam surat kontrak kerja tertulis bahwa WR hanya akan mengurus satu orang anak. Namun pada kenyataannya WR mengurus 3 orang.

Selama bekerja sebagai pengasuh anak, WR tidak pernah menerima gaji seperti yang sudah dijanjikan oleh agen. Bahkan mengirim uang kepada keluarga saja tidak diperbolehkan oleh agen.

“Kata agennya, gak usah ngirim-ngirim keluarga, nanti malah berkurang gajinya dan kamu gak bawa uang pas pulang ke Indonesia.” WR menjelaskan.

Setelah hampir enam bulan WR bekerja, tiba-tiba dia dijemput oleh agen dan dibawa ke sebuah ruangan. Di ruangan tersebut WR hanya bisa menangis dan merasa depresi hampir selama tiga minggu. Terdengar kabar bahwa WR akan dipulangkan, dan syarat agar bisa dipulangkan ke Indonesia dengan sengaja membuat dirinya sakit. Maka agen yang menaunginya membawa WR kerumah sakit. Benar saja, setelah pulang dari rumah sakit dia merasa kakinya nyeri dan membengkak. Akhirnya dia dipaksa pulang tanpa membawa apa-apa dari Taiwan. Gajinya ditahan, kondisi fisiknya juga memburuk.

Dari kisah WR, kita semua memahami bahwa tindak pidana perdagangan orang dapat menimpa siapapun dan dimanapun. Menurut hemat saya, penting untuk mengetahui apa saja indikasi tindak pidana perdagangan orang yang selanjutnya akan diuraikan pada bagian lain dalam tulisan ini.

Pengalaman WR sebagai mantan pekerja migran di Taiwan pada 2010, telah diangkat menjadi film pendek yang diproduksi oleh media desa Banaran. Kita semua dapat menyaksikan di cahnnel youtube milik Media Karsa.

Menyoal TPPO

“Saya tidak pernah digaji sesuai dengan kontrak, saya juga gak dibolehin ngirim uang buat keluarga di rumah, pas pulang juga gak dikasih bekal apa-apa, saya sengaja dipulangin mbak, dibikin sakit saya itu sama mereka, padahal saya malu gak bawa apa-apa buat keluarga.” kata WR sambil matanya berkaca-kaca.

Sepenggal kalimat yang diucapkan oleh WR dapat menggambarkan bahwa ada yang tidak beres dari proses pelindungan beliau ke Taiwan sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI). Dapat dikatakan Jika WR terindikasi menjadi korban tindak pidana perdagangan orang.

Perdagangan orang merupakan kasus pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) yang dapat menurunkan harkat dan martabat manusia. Jurnal perempuan menyebutkan, bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan. Bukti empiris menunjukkan bahwa perempuan dan anak  merupakan  kelompok  yang paling banyak menjadi korban. Terdapat beberapa bentuk dari tindak pidana perdagangan orang, yaitu: eksploitasi  seksual;  kerja  paksa;  pelayanan   paksa; dan praktik perbudakan. Tindak pidana perdagangan orang juga memiliki beberapa unsur, yakni: perekrutan; pengangkutan; pemindahan; dan penampungan dengan ancaman kekerasan, pemalsuan; penipuan; penyalahgunaan kekuasaan kepada orang yang berada dalam posisi rentan.

Kisah dan pengalaman WR, mengindikasikan sebagai korban tindak pidana perdagangan orang. WR telah melewati elemen perekrutan, pengangkutan, pemindahan dan penampungan. Tidak hanya itu, WR juga mengalami eksploitasi dalam bekerja karena tidak mendapatkan upah yang telah dijanjikan oleh agen. Mirisnya, tindak pidana perdagangan orang dalam kasus  WR  bukan   hanya   karena   ulah   perorangan saja namun telah melibatkan korporasi dengan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya demi memanfaatkan kondisi rentan calon pekerja migran.

Merujuk pada undang-undang No. 21 tahun 2007 Tentang PTPPO, WR merupakan korban tindak pidana perdagangan orang. WR telah mengalami kerugian secara fisik, psikis, sosial dan ekonomi. Kasus tindak pidana perdagangan orang masih kerap terjadi di Indonesia yang disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: akses pengetahuan yang belum merata, penyalahgunaan kekuasaan dari pihak perusahaan perihal transparansi kontrak kerja, gaji yang diterima, dan karakteristik tempat kerja, serta belum banyak calon PMI yang mengetahui mekanisme keberangkatan prosedural meskipun telah ditetapkan oleh Kementrian Tenaga kerja dan Transmigrasi. Atau karena peraturan tersebut belum ramah bagi PMI. Lantas apa yang dapat dilakukan untuk mencegah tindak pidana perdagangan orang?

PMI prosedural, sebuah langkah antisipatif

Menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, PMI dibagi menjadi 3 jenis: Pertama, PMI yang bekerja pada pemberi kerja berbadan hokum. Kedua, PMI yang bekerja pada pemberi kerja perseorangan atau rumah tangga. Ketiga, pelaut awak kapal dan pelaut perikanan. Setelah kita mengetahui siapa yang dapat dikatakan sebagai PMI, pertanyaannya adalah mengapa keberangkatan PMI prosedural diutamakan?

UU No. 18 tahun 2018 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia berbunyi: “seluruh PMI berhak mendapat pelindungan hukum, ekonomi dan sosial dengan asas keterpaduan, persamaan hak, pengakuan atas martabat dan HAM, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, nondiskriminasi, anti perdagangan manusia, transparansi, akuntabilitas dan berkelanjutan”.

Pelindungan PMI menjadi kewajiban pemerintah pusat, pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, kota) dan pemerintah desa. Lebih jelasnya pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk mengatur tata kelola penempatan dan pelindungan PMI, pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam izin dan rekruitmen calon PMI serta mempersiapkan keterampilan PMI.

Sedangkan pemerintah desa berfungsi sebagai pendeteksi dini proses penempatan dan pelindungan calon  PMI.  Cakupan  pelindungan  PMI  mulai  dari calon PMI yang sudah terdaftar di instansi pemerintah kabupaten atau kota, pekerja migran yang akan/sedang/ telah bekerja di luar negeri, keluarga pekerja migran baik yang berada di Indonesia maupun luar negeri.

Tabel tugas dan Tanggung Jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

Tugas dan Tanggung Jawab
Pusat Provinsi Kabupaten/ Kota Desa
Menjamin perlindungan dan pemenuhan hak PMI Memberikan perlindungan PMI sebelum dan setelah bekerja. Memberikan perlindungan PMI sebelum dan setelah bekerja Melakukan pemberdayaan kepada calon PMI, PMI dan keluarganya
Mengatur, membina, melaksanakan dan mengawasi penyeleng- garaan penempatan PMI Menerbitkan ijin kantor cabang perusahaan PMI dan melaporkan hasil evaluasi- nya secara berjenjang Melaporkan hasil evaluasi terhadap perusahaan penempatan PMI kepada Pemprov. Memfasilitasi pemenuhan persyaratan administrasi kependudukan calon PMI
Membentuk dan mengembang- kan sistem informasi terpadu Mengatur, membina, melaksanakan dan mengawasi penyelengga- raan penem- patan PMI Menyosialisasi- kan informasi dan perminta- an PMI kepada masyarakat, membuat basis data PMI. Menerima dan memberikan informasi dan permintaan pekerjaan dari instansi
Melakukan koordinasi kerja sama antar instansi dalam menanggapi pengaduan dan penanganan kasus PMI Dapat membentuk layanan terpadu satu atap

penemapatan dan perlindungan PMI.

Dapat membentuk layanan terpadu satu atap penempatan dan perlindungan PMI Melakukan verifikasi data dan pencatatan calon PMI

 

Mengurus kepulangan PMI Menyediakan pos bantuan dan pelayanan di tempat pemberang- katan dan pemulangan PMI Mengurus kepulangan PMI Melakukan pemantauan keberangkatan dan kepulangan PMI
Menyediakan dan memfasilitasi pelatihan calon PMI Menyeleng- garakan pendidikan dan pelatihan kerja Menyelenggara- kan pendidikan dan pelatihan kerja serta melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap lembaga pendi- dikan dan pela- tihan kerja di kabupaten/kota  
    Melakukan reintegrasi sosial dan ekonomi bagi PMI dan keluarganya  

Upaya pelindungan PMI juga didukung oleh pembentukan badan non-departemen bernama BP2MI (Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia) yang memiliki tugas untuk melakukan penempatan  atas dasar perjanjian secara tertulis antara pemerintah dengan pemerintah negara pengguna PMI atau pengguna berbadan hukum di negara tujuan penempatan.

Tidak hanya hanya itu, BP2MI wajib memberikan pelayanan, mengkoordinasikan, dan melakukan pengawasan mengenai: dokumen; Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP); penyelesaian masalah; sumber-sumber pembiayaan; pemberangkatan sampai pemulangan; peningkatan kualitas calon PMI; informasi; kualitas pelaksana penempatan TKI; dan peningkatan kesejahteraan PMI dan keluarganya.

Menurut laman https://www.bp2mi.go.id/, kementrian tenaga kerja dan transmigrasi telah mengatur tata cara keberangkatan prosedural calon PMI yang bersinergi dengan BP2MI dan beberapa lembaga terkait seperti KBRI, DISNAKER, P3MI, Kemenlu, Dirjen Imigrasi, Kemendagri, dan Kemenko Polhukam.

Tata cara penempatan PMI juga disesuaikan dengan tujuannya   masing-masing.   Misalnya    penempatan PMI private to private, penempatan PMI untuk kepentingan perusahaan sendiri, penempatan PMI untuk perseorangan, penempatan PMI visa Specified Skilled Worker (SSW) dan penempatan PMI Spesial Placement Program to Taiwan (SP2T).

Keberangkatan prosedural PMI, perlu melengkapi persyaratan dokumen, yaitu: (1) surat keterangan status perkawinan (bagi yang sudah menikah melampirkan fotokopi buku nikah), (2) surat keterangan izin suami atau istri, (3) surat keterangan izin orang tua, (4) surat keterangan izin wali yang diketahui oleh kepala desa atau lurah setempat, (5) surat kompetensi kerja, (6) surat keterangan sehat berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan psikologi, (7) paspor yang diterbitkan oleh kantor imigrasi setempat, (8) visa kerja, (9) perjanjian penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI), dan (10) perjanjian kerja.

Berdasarkan beberapa pengalaman mantan PMI yang telah saya jumpai di Kabupaten Kulon Progo, kebanyakan dari mereka berangkat menggunakan jasa perusahaan swasta yang telah bekerja sama dengan perusahan pemberi kerja di luar negeri. Jika merujuk pada istilah yang dikeluarkan oleh Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi hal tersebut termasuk kategori penempatan PMI private to private.

Secara prosedural penempatan ini memiliki skema sebagai berikut: Keberangkatan prosedural yang telah diatur merupakan langkah antisipatif mencegah tindak pidana perdagangan orang, kekerasan yang dilakukan oleh majikan, penipuan dan masalah hukum lainnya yang dapat mengakibatkan banyak kerugian pekerja migran.

Informasi mengenai hal tersebut sudah mulai disosialisasikan dari tingkat provinsi hingga desa. Namun, menurut hemat saya  perlu  ada  harmonisasi UU No. 18 tentang Penempatan dan Perlindungan PMI di Luar Negeri dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, terutama tentang pembagian urusan di bidang ketenagakerjaan termasuk urusan penempatan dan perlindungan PMI di luar negeri dan sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan daerah masing-masing. Sehingga, tidak ada lagi penyelewengan yang dilakukan oleh perusahaan swasta  penyalur tenaga kerja yang memanfaatkan kerentanan calon pekerja migran. Seluruh calon pekerja migran berhak mendapatkan akses pengetahuan tentang keberangkatan prosedural sebagai upaya pelindungan dari tindakan pelanggaran HAM tanpa memandang latar belakang, keluarga, ras, agama, status sosial dan lain sebagainya.

Menurut hemat penulis, pelindungan PMI menjadi tanggung jawab bersama untuk menuntaskan persoalan- persoalan yang selama ini banyak menimpa pekerja migran. Sudah semestinya semua sektor, baik pemerintah maupun non-pemerintah menaruh perhatian yang lebih terhadap pelindungan pekerja migran.

Dalam hal pelindungan pekerja migran di desa, tidak bisa hanya menaruh perhatian pada agen “bodong” yang menjadi ancaman bagi calon pekerja migran. Namun perlu menengok kinerja pemerintah  desa.  Merujuk pada kasus yang menimpa WR, pemerintah desa semestinya menjadi organ penting sebagai pendeteksi dini keberangkatan calon pekerja migran. Setidaknya, pemerintah desa memiliki wewenang dalam mengontrol regulasi atas keberangkatan dan kepulangan warganya yang menjadi pekerja migran. Hal inilah yang didorong oleh Mitra Wacana supaya memasukkan peraturan atau mekanisme keberangkatan atau penempatan pekerja migran mulai dari di tingkat desa hingga nasional.

Penyebaran informasi mengenai tata cara keberangkatan prosedural harus disebarluaskan secara masif dan intensif. Tidak hanya kepada masyarakat, tetapi sektor pemerintahan dari tingkat desa hingga nasional. Selain itu, mekanisme keberangkatan prosedural harus bisa memberikan kemudahan untuk keberangkatan calon pekerja migran.

Perjuangan dan kontribusi P3A

Kisah WR bukan hanya  satu-satunya  kasus dijumpai oleh Mitra Wacana. Wilayah dampingan lain di kecamatan Sentolo, dan Kokap juga terdapat kisah pilu dari ibu-ibu anggota P3A mantan pekerja migran. Kasus yang menimpa para pekerja migran semestinya menjadi “tamparan” keras bagi pemerintah yang belum maksimal dalam melakukan pelindungan pada warga negara. Oleh sebab itu Mitra Wacana hadir untuk “menambal” kekosongan kinerja pemerintah yang diawali dari pembentukan organisasi akar rumput di desa-desa.

Semenjak 2014 hingga sekarang, Mitra Wacana fokus dan konsisten berpartispasi aktif dalam advokasi Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Meskipun baru bergabung empat tahun setelahnya, namun saya telah banyak mendengar dan membaca kisah perjuangan yang dilakukan oleh Mitra Wacana bersama P3A.

Langkah awal perjuangan Mitra Wacana adalah melakukan pengorganisasian masyarakat. Tiga kecamatan dipilih berdasarkan letak geografis yaitu; wilayah perbukitan; pesisir dan kota. Wilayah perbukitan yang dipilih adalah Kecamatan Kokap, di wilayah pesisir ada Kecamatan Galur dan di wilayah kota ada Kecamatan Sentolo. Pengorganisasian ini awalnya menyasar pada perempuan mantan pekerja migran. Melalui assessment, Mitra Wacana memperoleh data perempuan mantan pekerja migran diundang dalam temuan. Dalam pertemuan pertama yang dilaksanakan di balai desa, mereka yang hadir diajak berdiskusi tentang rencana pencegahan tindak pidana perdagangan orang di desa.

Seiring berjalannya waktu, akhirnya terbentuklah organisasi P3A (Pusat Pembelajaran Perempuan dan Anak) dengan nama yang berbeda-beda di setiap desa (P3A Srikandi, P3A PESISIR, P3A Selaras, P3A Rengganis).

Saat ini, anggota organisasi P3A tidak hanya terdiri dari mantan pekerja migran saja, namun juga ibu-ibu warga desa setempat. Tujuan utama organisasi P3A adalah menjadi tempat belajar bersama, menampung aspirasi, menjadi organisasi perempuan yang memiliki perspektif gender, mencegah kekerasan terhadap perempuan, aktif terlibat dalam proses pembangunan desa, serta turut serta dalam mengampanyekan isu pencegahan tindak pidana perdagangan orang.

Kegiatan organisasi P3A meliputi sosialisasi pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), diseminasi Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), pendataan pekerja migran di masing- masing padukuhan, serta terlibat dalam musyawarah desa mewakili kelompok perempuan. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan bentuk perjuangan perempuan untuk menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, supaya tidak ada lagi perempuan yang mengalami diskriminasi, baik di Indonesia maupun yang berada di luar negeri.

WR merupakan salah satu diantara anggota P3A yang baru menyadari jika dirinya menjadi  korban tindak pidana perdagangan orang. Kesadaran tersebut muncul karena keputusannya terlibat aktif di organisasi.

Organisasi P3A juga telah terbukti mampu meningkatkan kesadaran anggotanya terhadap berbagai bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan, ketimpangan gender, diskrimasi sosial, dan persoalan lain yang belum mereka ketahui sebelumnya.

Terbentuknya organisasi P3A merupakan wujud demokrasi yang di dalamnya terdapat kaidah peng- hargaan hak-hak minoritas, yakni perempuan dan anak. Perwujudan dari pelaksanaan demokrasi juga wajib menjamin pemenuhan hak pelindungan HAM bagi warga negara.

Meskipun pada praktiknya P3A telah menjangkau pelaksanaan demokrasi di tingkat desa, namun peran dan kiprahnya dalam mewujudkan negara yang demokratis serta memperjuangan pelindungan HAM tidak boleh diabaikan.

Sebagai penutup seluruh rangkaian tulisan, saya ingin menyampaikan pernyataan ketua BP2MI Benny Rhamdani, “PMI bisa menggunakan penghasilan dari bekerja dengan sebaik mungkin dan ditabung, sehingga bisa pergi menjadi migran, pulang menjadi juragan.” https://www.bp2mi.go.id/profil-kepala

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Berita

Kunjungan Kerstin Klein dari Misereor ke Mitra Wacana Bahas Keuangan Program Pencegahan TPPO

Published

on

Pada Senin, 11 November 2024, Kerstin Klein, perwakilan dari lembaga keuangan Misereor, melakukan kunjungan penting ke kantor Mitra Wacana untuk berdiskusi mengenai pengelolaan keuangan program pencegahan tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Pertemuan ini dihadiri oleh delapan pengelola program dari Mitra Wacana yang terlibat dalam upaya pencegahan TPPO.

Dalam pertemuan tersebut, Mitra Wacana memaparkan laporan hasil kerja mereka dalam mencegah dan menangani kasus TPPO. Selain itu, mereka juga mempresentasikan rencana pengembangan program untuk periode berikutnya.

Kerstin Klein kemudian memberikan presentasi mengenai aturan dan prosedur keuangan yang diterapkan oleh Misereor, yang menjadi panduan bagi Mitra Wacana dalam mengelola dana hibah yang mereka terima. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa setiap dana yang disalurkan dapat dimanfaatkan secara optimal dan transparan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Misereor.

Kegiatan ini diharapkan dapat memperkuat koordinasi antara Misereor dan Mitra Wacana, terutama dalam pengelolaan anggaran yang efektif untuk mendukung keberhasilan program pencegahan TPPO ke depannya.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending