PTPPO
Menyoal Upaya Pelindungan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
Published
2 years agoon
By
Mitra WacanaBagian 3 Buku Menyuarakan Kesunyian
Ponsel berdering, ada panggilan tanpa nama dengan kode area +673
“Ah ini bukan +62.”
“Mas tolong Mas, aku kena tipu! Di sini kerjanya tidak sesuai perjanjian. Semula dijanjikan bekerja di restoran kenyataanya saya dipekerjakan di rumah tangga, jam kerjanya lebih dari 12 jam dan saya tidak boleh berkomunikasi dengan keluarga.”
Kalimat pertama dari seorang pekerja migran asal Kulon Progo yang aku kenal, mengingatkanku beberapa bulan lalu ketika ia berpamitan untuk mengadu nasib di negeri seberang. Sebelum berangkat, ia pernah berjualan soto namun kini telah tutup.
“Aku heran mas, masakan yang kubuat sering membusuk padahal baru setengah hari. Mungkin ada yang nakal, Mas.” Ungkapnya menjelaskan.
Upaya dan daya telah ia peras, namun tak kunjung membuahkan hasil sehingga menuntunnya menjadi pekerja migran. Aduan tersebut memperpanjang daftar masalah pekerja migran yang kami terima sejak 2018.
Praktek perekrutan pekerja migran dengan iming- iming gaji besar, proses pengurusan administrasi dipermudah dan tipu daya uang saku masih terjadi. Oknum calo dan sponsor menggunakan jaringan pertemanan, media sosial, bahkan merekrut langsung dari pintu-kepintu untuk mendapatkan keuntungan, melalui proses pengurusan calon pekerja migran.
Setali tiga uang, beberapa proses penempatan pekerja migran di negara tujuan sarat dengan manipulasi dan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Penempatan jenis kerja tidak sesuai, jam kerja melebihi batas dari ketentuan, fasilitas kerja tidak layak dan hak komunikasi tidak dipenuhi. Kejadian serupa banyak dialami oleh pekerja migran Indonesia bahkan kekerasan fisik, psikis, ekonomi hingga kematian sering kita dengar.
Perlakukan yang dialami pekerja migran sebelum, pada saat dan setelah bekerja dilakukan oleh oknum calo, sponsor, agensi, dan pemberi kerja. Seakan-akan mereka terkoneksi dalam jaringan antar negara yang terorganisir. Mereka bergerak dan bekerja demi meraih keuntungan tanpa memedulikan nilai-nilai kemanusian. Tentunya hal tersebut bertentangan dengan semangat internasional dalam mengakhiri segala bentuk perbudakan dan perdagangan orang. Hal ini mengingatkan diskusi tiga bulan yang lalu terkait Konvensi Palermo, dimana negara harus hadir untuk mencegah, menindak dan menghukum
para pelaku perdagangan orang. Lantas dimana negara hadir untuk melindung pekerja migran?
Banyaknya aduan yang kami terima, menuntun kami untuk bertanya, sejauh mana upaya dan hasil pencegahan, serta penanganganan tindak pidana perdagangan orang yang telah dicapai pemerintah indonesia dalam melakukannya? Menurut laporan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (GT PP TPPO) setelah Undang-undang No. 21 tahun 2007 telah disahkan, pemerintah Indonesia melaporkan telah mencegah keberangkatan dan menolak penerbitan paspor bagi 20. 853 WNI yang diduga sebagai PMI non-prosedural dan berisiko menjadi korban perdagangan orang. Pemerintah membentuk Satuan Tugas Pencegahan PMI Non-prosedural di 21 lokasi embarkasi dan debarkasi, guna melakukan pencegahan penempatan 12.757 calon PMI non-prosedural.
Pemerintah juga telah meningkatkan penindakan hukum, Bareskrim Polri berhasil menangani 554 laporan polisi, dengan korban sebanyak 2.648 orang dan 757 orang tersangka. Sekitar 87% korban TPPO yang ditangani kepolisian adalah perempuan dan anak perempuan. Sedangkan menurut laporan Kementrian Luar Negeri Amerika serikat, pada masa pandemi Covid-19 pemerintah Indonesia dinilai belum melaksanakan standar minimal dalam pencegahan dan penanganan TPPO, namun pemerintah Indonesia sedang melakukan upaya untuk memenuhinya. Lantas apakah tantangan yang dihadapi Indonesia dan apakah sistem pencegahan sudah menyelesaikan akar masalah, serta menjangkau kelompok rentan di pedesaan?
Sejumlah langkah telah dilakukan pemerintah, namun belum menghentikan praktek perekrutan pekerja migran non prosedural dan pelanggaran hak pekerja migran. Baru-baru ini Mitra Wacana menerima aduan adanya perekrutan pekerja migran ke Polandia di wilayah Kokap, Kulon Progo. Perekrutan tersebut dimobilisasi oleh calo dan sponsor dari Perusahaan Penempatan Pekerja Migran (P3MI) swasta yang tidak jelas. Mereka menawarkan upah Rp 500.000 hingga Rp 2.000.000 untuk satu calon pekerja migran.
Diluar itu, mereka menawarkan uang saku kepada calon pekerja migran. Padahal menurut komunikasi dengan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), penempatan di Polandia banyak mengalami masalah karena ketidakjelasan agen dan pekerjaan di sana. Mitra Wacana juga mencatat praktek promosi lembaga kursus bahasa di Kulon Progo yang menjanjikan pekerjaan atau penyaluran pekerjaan ke luar negeri. Hal tersebut bertentangan dengan ketentuan pemerintah, dimana pihak swasta yang diberbolehkan melakukan penyaluran pekerja migran adalah perseroan terbatas yang sudah mendapatkan ijin usaha dari Kementrian Tenaga Kerja dan mendapatkan ijin penyaluran dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI).
Fakta di atas mengatakan usaha yang telah dilakukan pemerintah dalam melakukan pencegahan TPPO belum optimal. Program yang dirancang baru melibatkan aparat penegak hukum, pemerintah desa dan jejering pemerintah di level provinsi dan kabupaten. Usaha yang dilakukan belum menyentuh pada akar permasalahan dimana pengetahuan, kesadaran dan perilaku masyarakat mencerminkan anti perdagangan orang, program yang meminimalisir kerentanan ekonomi, sosial dan budaya serta kebijakan yang berorientasi pada pelindungan dan hak warga masyarakat.
Mendorong kepedulian dan upaya pemerintah di Daerah Istimewa Yogyakarta
Berdasarkan pengamatan Mitra Wacana sepanjang tahun 2018-2021 program pencegahan tindak pidana perdagangan orang telah dilakukan oleh pemerintah. Seperti diadakan workshop, pelatihan dan bimbingan teknis untuk aparat penegak hukum dan NGO. Reorganisasi, penyusunan rencana aksi daerah Gugus Tugas TPPO di level provinsi dan pelatihan pencegahan TPPO untuk 12 pemerintah kalurahan mandiri budaya se- DIY menjadi kegiatan nyata yang dilakukan pemerintah.
Pemerintah DIY telah menerbitkan Peraturan Daerah (perda) No. 6 Tahun 2014 tentang Perlindungan Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang dan telah dilakukan evaluasi pada tahun 2018.
Hasil evaluasi merekomendasikan peraturan daerah, untuk dikaji ulang dengan mempertimbangkan: Pertama, menyelaraskan dengan peraturan perundang- undangan yang terbaru; Kedua, turunan peraturan yang dimandatkan dalam perda tersebut belum ditindaklanjuti, sehingga belum ada panduan teknis dalam pelaksanaan perda tersebut; Ketiga, sosialisasi dan publikasi perda belum optimal, hal tersebut terkonfirmasi bahwa belum ada organisasi pemerintah daerah dan lembaga penegak hukum yang menggunakan perda tersebut dalam melaksanakan programnya; Keempat, beberpa pasal yang susah diterapkan karena tidak sesuai dengan peraturan pemerintah pusat seperti di pasal 10 tentang pengendalian proses perijinan bekerja. Dalam pasal 1 dinyatakan “Setiap orang yang akan bekerja di luar kabupaten/kota wajib memiliki Surat Ijin Bekerja Keluar (SIBK) yang dikeluarkan oleh kepala desa atau lurah setempat tanpa dipungut biaya.” Pada kenyataanya sampai tulisan ini dibuat belum ada pemerintah desa/ kalurahan yang menerapkan SIBK, menurut Tri Wahyuni dari Dinas Tenaga Kerja, dalam sebuah diskusi menyampaikan “Pasal ini sulit dilaksanakan karena tidak diatur dalam kebijakan pemerintah pusat apalagi setelah disahkanya Onimbuslaw tentang Cipta Kerja.”
Langkah kami lanjutkan dengan mengadakan pertemuan secara online yang menghadirkan perwakilan Dinas Pemberdaya Perempuan Perlinduangan Anak dan Pengendalian Penduduk DIY, OPD se-Kabupaten Kulon Progo, Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat, dan tim evaluasi. “Banyak catatan dari isi perda ini, sehingga akan menjadi masalah jika dijadikan rujukan dalam menyusun peraturan di tingkat kabupaten.” Ujar Kepala Dinas Sosial dan PPA Kabupaten Kulon Progo, Drs. Yohanes Irianta, M.Si.
Mitra Wacana melihat pemerintah DIY belum menjadikan isu perdagangan orang menjadi isu prioritas, regulasi yang hadir belum dimengerti dan dilaksanakan oleh pemangku kebijakan terkait. Belum terlihat kerjasama lintas sektoral dalam pencegahan dan penanganan, sehingga program yang dilaksanakan terkesan parsial dan hanya menyentuh permukaan. Hal di atas, mengingatkan himbauan tidak tertulis Gubenur DIY tentang larangan penempatan pekerja migran asal DIY di sektor informal. Pada kenyataanya, himbauan tersebut tidak menghentikan praktek perekrutan dan penempatan bahkan menambah resiko bagi pekerja migran karena ada beberapa kasus pindah KTP ke wilayah lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sistem pelindungan pekerja migran melalui Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) yang diresmikan pada tahun 2016, belum bisa menjangkau lapisan masyarakat terbawah. Informasi lowongan Pekerjaan di luar negeri berisiko beredar luas di dunia maya, perekrutan masih gencar dilakukan oleh agen, calo, atau sponsor. Praktek iming-iming uang saku dan upah untuk perekrutan masih terjadi. Banyak oknum-oknum perusahaan swasta yang melakukan perekrutan tanpa mempertimbangkan hak-hak pekerja migran yang beroperasi di Yogyakarta.
Advokasi “Akar Rumput” Ala Mitra Wacana
Mitra Wacana telah mendampingi dan belajar bersama dengan komunitas perempuan yang sebagian besar mantan pekerja migran sejak tahun 2013. Dari sana kami mendengarkan situasi, kondisi dan cerita suka duka menjadi pahlawan devisa. Dimulai dari 225 perempuan membentuk kelompok dengan nama Pusat Pembelajaran Perempuan dan Anak di 9 kalurahan, di Kabupaten Kulon Progo. Kelurahan tersebut adalah Hargotirto, Kalirejo dan Hargorejo di Kapanewon Kokap. Kelurahan Sentolo, Salamrejo dan Demangrejo di Kapanewon Sentolo. Satu wilayah lain berada di Kapanewon Galur, Kelurahan Nomporejo, Banaran dan Tirtorahayu.
Mitra Wacana meyakini pendidikan kritis yang berorientasi pada perubahan pengetahuan, ketrampilan, kesadaran, sikap, dan perilaku menjadi faktor penting dalam Perjuangan Hak dan Demokrasi. Rangkaian kegiatan seperti pertemuan rutin, seminar, pelatihan, workshop, sosialisasi, dan pemberdayaan telah dilakukan untuk meningkatkan kapasitas perempuan baik secara individu maupun kapasitas sebagai sebuah organisasi.
Mitra Wacana beserta komunitas, mengembangkan materi pembelajaran berbasis pada pemenuhan Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi sebagai warga negara. Salah satu capaian Mitra Wacana telah mengembangkan Omah Perempuan Sinau Desa (OPSD) sebagai media pembelajaran tentang isu pencegahan tindak pidana perdagangan orang, gender, partisipasi perempuan dalam pembangunan desa, pencegahan kekerasan berbasis gender, parenting atau pengasuhan anak, pemberdayaan ekonomi perempuan, dan isu terkait peningkatan ketrampilan dan pengetahuan perempuan.
Mulai tahun 2018 pengorganisasian kelompok muda dilakukan, masing-masing kalurahan membentuk tim Media Desa. Tim Media Mesa diharapkan mampu mendukung P3A dalam mendalami, mendokumentasikan dan mengembangkan penggunaan tekhnologi informasi sebagai media sosialisasi dan kampanye. Setidaknya 12 Film pendek, poster baik cetak dan elektronik, podcast dan wawancara serta beberapa produk kampanye telah diproduksi dengan orientasi untuk mengenalkan, mengajak dan memengaruhi masyarakat dalam gerakan pencegahan perdagangan orang.
Mitra Wacana dan penerima manfaat melihat upaya yang dilakukan perlu ditingkatkan untuk membangun relasi strategis dengan pemangku kepentingan di tingkat kalurahan dan kabupaten. Kelurahan sebagai representasi negara harus hadir dalam menangangi masalah dan kebutuhan perempuan khususnya tindak pidana perdagangan orang. Berbagai upaya dilakukan seperti audiensi, menyampaikan usulan di forum desa, pelatihan, workshop sosialisasi, aksi teatrikal, hingga melakukan kegiatan bersama melibatkan pemangku kepentingan kalurahan.
Untuk memperkuat posisi P3A di kalurahan pada tahun 2019, delapan dari sembilan kelompok P3A telah mendapatkan pengakuan dari kalurahan menjadi salah satu lembaga resmi di kalurahan. Dengan pengakuan ini, P3A dapat mengoptimalkan peran dan fungsinya di masyarakat. Enam kalurahan, yaitu Nomporejo, Banaran, Hargorejo, Salamrejo, Demangrejo, dan Tirtorahayu telah melaksanakan kegiatan dalam mendukung pencegahan tindak pidana perdagangan orang. Dukungan kalurahan berupa fasilitas sarana dan prasarana, konsumsi, dan materi kegiatan untuk pencegahan. Beberapa kalurahan memulai dengan pendataan pekerja migran untuk mengetahui jalur dan proses keberangkatan, situasi dan kondisi yang dihadapi serta membuka ruang aduan untuk pekerja migran. Sedangkan Kalurahan Sentolo, mengembangkan praktek pencegahan dengan melakukan pengecekan atau verifikasi kelengkapan administrasi dan wawancara dengan menghadirkan calon dan keluarga pekerja migran.
Advokasi dalam memperjuangkan hak perempuan khususnya pelindungan dari perdagangan orang mendapat banyak tantangan. Sampai hari ini, masih ada pemerintah kalurahan dan masyarakat yang kurang peduli dan mengganggap isu perdagangan orang bukan isu prioritas di kalurahan mereka. Usulan program pemerintah terkait isu pencegahan perdagangan orang belum banyak dibahas dalam forum kalurahan. Kecuali usulan tersebut berasal dari penerima manfaat dan individu yang pernah terlibat dalam program Mitra Wacana.
Isu-isu pelindungan perempuan dan anak, terutama perdagangan orang masih tenggelam dalam forum musyawarah padukuhan. Faktanya sebagian besar forum tersebut hanya diikuti oleh laki-laki yang dianggap mewakili kepala rumah tangga. Waktu pelaksanaanya seringkali diadakan pada malam hari di mana pilihan tersebut tidak ramah bagi perempuan. Bagi perempuan sendiri, banyak tantangan ketika mengikuti kegiatan. Sering kali mereka harus mampu berembug dengan suami dan anak untuk aktif dalam berbagai kegiatan ditambah lagi ada urusan domestik yang sering kali dibebankan kepada perempuan.
Kelurahan sebagai sistem pemerintah otonom yang diakui oleh negara, seharusnya dapat mengembangkan produk hukum, kebijakan dan program sesuai dengan kebutuhan dan masalah yang dihadapi. Namun dalam konteks isu pencegahan perdagangan orang, pemerintah kalurahan seringkali menanyakan dasar hukum atau kebijakan di tingkat kabupaten. Hal ini menjadi perhatian Mitra Wacana untuk melakukan langkah advokasi di tingkat kabupaten.
Peraturan Bupati, Langkah Awal Menciptakan Pencegahan dan Penanganan Perdagangan Orang di Kulon Progo
Dalam sebuah diskusi terbatas antara Mitra Wacana dan Dinas Sosial PPA Kulon Progo pada pertengahan tahun 2018. Menurut Woro Kandini, Kepala Bidang PPA, “Kulon Progo menjadi satu-satunya kabupaten dari lima wilayah di DIY yang belum mempunyai peraturan tentang pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan.”
Kulon Progo menjadi pintu gerbang internasional untuk wilayah DIY dan sekitarnya setelah beroperasinya Yogyakarta International Airport (YIA). Pada hari ini, sudah mulai dibangun hotel berbintang, destinasi wisata bertumbuh subur di kawasan bukit menoreh dan tentunya pusat-pusat hiburan akan segera menyusul, hadir di Kulon Progo. Pembangunan selalu diharapkan berdampak positif bagi kehidupan ekonomi, sosial dan budaya bagi masyarakat. Namun kenyataanya, pembangunan juga mempunyai dampak negatif dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Penggusuran, penambangan di lahan kritis, perubahan perilaku dan budaya masyakat, bahkan kesenjangan ekonomi yang memicu tindak kejahatan lainya akan berkembang. Dalam kontek isu perdagangan orang di Kulon Progo, berpotensi menjadi asal transit dan tujuan perdagangan orang.
Dari rangkaian pertemuan, diskusi dan wokshop yang digelar dengan pemangku kepentingan di Kabupaten Kulon Progo, maka munculah wacana untuk melahirkan produk hukum, yang mengatur pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang. Muncul perdebatan antara usulan untuk membuat Peraturan Daerah atau Peraturan Bupati. Mitra Wacana berpendapat peraturan daerah lebih kuat secara hukum dan lebih mengikat. Namun, Dinas sosial PPA berpendapat, bahwa membuat sebuah peraturan daerah tidak mudah. Apalagi usulan ini berangkat dari eksekutif dan partisipasi masyarakat, usulan ini harus mampu memengaruhi legislatif atau DPRD untuk berkomitmen dalam mengawal, sampai menjadi sebuah produk hukum yang sah. Beberapa pemangku kepentingan menyarankan peraturan daerah akan tetap diusulkan namun untuk mengisi kekosongan, maka tidak ada salahnya mengusulkan peraturan bupati.
Awal 2019 penyusunan rancangan peraturan bupati dimulai, kami sepakat penyusunan kebijakan harus partisipatif, dengan melibatkan masyarakat, ormas, organisasi dan instansi pemerintah dan pemangku kepentingan lainya. Penyusunan dimulai dengan mendengarkan praktek-praktek rentan yang mengarah pada perdagangan orang. Tentu, perwakilan Pusat Pembelajaran Perempuan dan Anak (P3A) diundang untuk bercerita situasi dan kondisi sebelum, pada saat dan setelah bekerja menjadi pekerja migran. Kami juga berdiskusi praktek-praktek yang masih terjadi seperti perjodohan, pengangkatan anak, penipuan tenaga kerja, dan pekerjaan terburuk bagi anak dan pekerja anak.
Setidaknya ada tiga draft (rancangan) Peraturan Bupati yang diajukan setelah dilakukan lebih dari 12 kali workshop dan diskusi. Pada awal 2021, Draft Peraturan Bupati tentang Gugus Tugas Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan orang disepakakti untuk diajukan. Perbub ini menjadi langkah konkret pemerintah kabupaten dalam menjalankan mandat UU No 21 Tahun 2007. Dalam perbub tersebut, tugas dan kewenangan didasarkan pada kerentanan yang terjadi di Kabupaten Kulon Progo. Pertama, Pelindungan Perempuan dan Anak, mencangkup bidang pencegahan dan penanganan perempuan PMI non prosedural, perjodohan pesanan, pengangkatan anak non prosedural pekerja anak. Kedua, Sub Gugus Tugas Bidang Rehabilitasi Kesehatan, Rehabilitasi Sosial, Pemulangan, dan Reintegrasi. Bidang ini berfokus dalam menangani korban TPPO berbasis pada pemenuhan hak.
Anggota bidang ini terdiri dari OPD Bidang Kesehatan, Sosial dan Ketenagakerjaan. Ketiga, Sub Gugus Tugas Bidang Penegakan Hukum, Pengembangan Norma Hukum, dan Kerjasama. Bidang ini beranggotakan aparat penegak hukum, sekretaris, swasta dan NGO. Keempat, Sub Gugus Tugas Bidang Pendidikan dan Pelindungan Tenaga Kerja, bidang ini dianggap paling rentan terutama sektor pekerja migran, pemagangan kerja di kapal laut, penipuan lowongan pekerjaan dan adanya indikasi ekploitasi pekerja anak.
Peraturan bupati ini mengamanatkan kepada pemerintah, swasta, organisasi masyarakat, NGO dan masyarakat untuk terlibat dalam pencegahan tindak pidana perdagangan orang. Pada awal 2022, Peraturan Bupati No.114 tentang Gugus Tugas Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang telah disahkan. Peraturan ini kemudian menjadi pintu gerbang untuk melakukan pengawalan pelaksanaanya. Di dalam peraturan bupati tersebut telah mengatur penyusunan rencana aksi daerah, sosialisasi dan mendorong inisiatif semua kalangan agar terlibat dalam gerakan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.
Perjuangan kelompok rentan, khususnya perempuan dalam mengusulkan kebutuhan dan kepentinganya, baik di tingkat keluarga, masyarakat, kalurahan hingga level pusat mengalami hambatan dan tantangan berlapis. Usaha yang telah dilakukan adalah bagian dari perebutan ruang demokrasi, di mana perempuan sering kali terdiskriminasi dan terpinggirkan secara kultur dan struktur. Perjuangan harus dikobarkan demi terpenuhinya hak-hak perempuan dan kelompok rentan, sehingga tidak ada lagi kejahatan kemanusian yang merendahkan martabat manusia.
Berita
Diseminasi Pendataan PMI bersama Stakeholder
Published
2 weeks agoon
27 September 2024By
Mitra WacanaJumat, 27 September 2024 Diseminasi hasil pendataan PMI oleh Mitra Wacana selama bulan Juli-Agustus 2024 di 9 Desa dampingan di Kulon Progo yang bertempat di Joglo Girli Resto & Cafe.
Acara ini dihadiri oleh Kepala Dinas Sosial PPPA Kulon Progo, BP3MI DIY, Imigrasi DIY, Polres Kulon Progo, Balai Dikmen Kulon Progo, Diskominfo Kulon Progo dan 9 Pemerintah Kalurahan dampingan.