web analytics
Connect with us

Opini

MENDUKUNG KEMANDIRIAN MAHASISWA DALAM ERA AI

Published

on

Sumber gambar: Freepik

Kharisma Miftha
Mahasiswa Manajemen Administrasi Universitas Sebelas Maret

Artificial Intelligence atau AI merupakan teknologi yang dirancang untuk membuat sistem komputer mampu meniru kemampuan intelektual manusia. Kehadiran AI atau telah mengubah banyak hal, terutama di dunia pendidikan. Sebagai mahasiswa di era modern ini, kita sangat terpengaruh oleh kemajuan teknologi, khususnya dalam bidang AI. AI bukan lagi hal yang asing bagi kita; sebaliknya, itu telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kegiatan belajar, interaksi sosial, dan bahkan dalam proses berpikir kita sehari-hari.

Dampak Positif AI dalam Pendidikan

Salah satu dampak Posistif AI bagi mahasiswa adalah kemudahan dalam mengakses informasi. Berkat AI, akses terhadap pengetahuan tidak lagi terbatas pada buku dan dosen saja, tetapi juga meliputi berbagai platform e-learning, basis data digital, dan sistem tutor virtual. Ini memungkinkan mahasiswa untuk mendapatkan sumber daya pendidikan secara lebih efisien dan tepat waktu.

Selain itu, dampak positif AI lainya yaitu kemampuannya dalam memfasilitasi pembelajaran dan inovasi. AI memudahkan kita mendapatkan jawaban dan solusi dengan cepat. Ketika kita merasa bingung atau memerlukan informasi, kita bisa mencari apapun di AI seperti ChatGPT, GeminiAI, Flexibility, dan AI lainnya. Dengan bantuan AI juga bisa memberikan sudut pandang baru dan ide-ide yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya. Dengan berbagai algoritma canggih dan basis data yang luas, AI mampu menghubungkan informasi dari berbagai sumber dan menghasilkan ide-ide inovatif yang dapat kita kembangkan lebih lanjut. Ini sangat membantu dalam tugas-tugas akademik yang memerlukan kreativitas dan pemikiran kritis.

Dengan demikian, AI berperan penting dalam mendukung pembelajaran dan inovasi bagi mahasiswa. Dengan memanfaatkan teknologi ini secara bijak, kita dapat mengoptimalkan proses belajar, memperkaya ide-ide, dan menjadi lebih kreatif dalam berpikir.

Dampak Negatif penggunaan AI dalam Pendidikan

Namun, penggunaan AI dalam pendidikan juga menimbulkan beberapa kekhawatiran. Salah satunya adalah ketergantungan yang berlebihan terhadap teknologi. Mahasiswa dapat menjadi terlalu bergantung pada AI untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka tanpa melakukan pemikiran kritis yang diperlukan. Ini bisa mengurangi kemampuan mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan analitis dan penalaran yang mandiri.

Selain itu, ada kekhawatiran tentang pengurangan interaksi tatap muka. Penggunaan AI untuk mendapatkan informasi dan menyelesaikan tugas dapat mengurangi frekuensi interaksi langsung antara mahasiswa dan dosen, serta antara sesama mahasiswa. Akibatnya, mahasiswa mungkin kehilangan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan interpersonal yang penting, seperti komunikasi verbal, empati, dan kerja sama tim. Interaksi tatap muka sangat penting untuk membangun hubungan sosial yang kuat dan untuk belajar bagaimana bekerja sama dengan orang lain, memahami perspektif yang berbeda, dan menyelesaikan konflik secara efektif.

 

Apa saja Solusi yang dapat kita ambil ??

Setelah kita mengetahui dampak negatif dari penggunaan AI, Kita Sebagai Mahasiswa dapat mengambil langkah langkah Untuk menghindari kecanduan atau ketergantungan pada AI tersebut, berikut beberapa langkah yang dapat kita lakukan :

  1. Batasi Waktu Penggunaan

Tetapkan batasan waktu yang jelas untuk menggunakan AI. Misalnya, kita bisa menetapkan aturan hanya menggunakan AI untuk mencari informasi atau membantu dalam tugas-tugas tertentu selama periode waktu tertentu setiap hari.

  1. Berlatih Kemandirian

Teruslah melatih diri untuk menyelesaikan masalah atau tugas secara mandiri sebelum mengandalkan bantuan AI. Cobalah untuk selalu mencari jawaban atau menyelesaikan masalah sendiri terlebih dahulu. Ini akan meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan analitis. Misalnya, sebelum bertanya kepada AI tentang topik tertentu, tuliskan dulu apa yang sudah Anda ketahui dan apa yang ingin Anda pelajari lebih lanjut. Ini tidak hanya membantu dalam memahami topik lebih baik tetapi juga mengurangi ketergantungan pada AI.

  1. Gunakan AI dengan Bijak

Gunakan AI sebagai alat bantu, bukan pengganti dari usaha dan proses berpikir kritis kita. AI harus dilihat sebagai salah satu dari banyak alat yang dapat mendukung pembelajaran, bukan satu-satunya. Selalu lakukan evaluasi terhadap jawaban atau solusi yang diberikan oleh AI untuk memastikan kebenaran dan relevansinya. Bandingkan informasi yang diberikan AI dengan sumber lain untuk memastikan keakuratan dan validitasnya. Ini membantu dalam mengembangkan keterampilan verifikasi informasi yang kritis.

  1. Diversifikasi Sumber Informasi

Selain menggunakan AI, luangkan waktu untuk memeriksa sumber informasi lain seperti buku teks, artikel ilmiah, atau berdiskusi dengan teman atau dosen. Diversifikasi sumber informasi membantu memperluas perspektif dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis.

  1. Berinteraksi dengan Manusia

Jaga keseimbangan antara interaksi dengan AI dan interaksi dengan orang lain. Diskusi dengan teman, berpartisipasi dalam kelompok studi, atau berkonsultasi dengan dosen dapat membantu menambah pemahaman kita dan mengurangi ketergantungan pada AI. Interaksi sosial ini juga penting untuk mengembangkan keterampilan komunikasi dan kolaborasi. Membangun jaringan belajar dengan teman sekelas atau kelompok studi bisa memberikan wawasan baru dan solusi yang mungkin tidak kita dapatkan hanya dari AI.

AI menghadirkan peluang besar untuk meningkatkan kualitas pendidikan, namun penggunaannya perlu dilakukan secara bijak dan bertanggung jawab. Mahasiswa harus memanfaatkan AI sebagai alat bantu untuk memperkaya pembelajaran, bukan sebagai pengganti proses belajar dan interaksi sosial. Dengan menyeimbangkan penggunaan AI dan metode pembelajaran tatap muka, kita sebagai mahasiswa dapat memaksimalkan potensi dan menjadi pembelajar yang mandiri, kritis, dan kreatif di era digital ini

Gunakan AI untuk membuka potensimu, bukan untuk menggantikanmu!!!

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Si Cantik, Si Ganteng, dan Kampus Kita

Published

on

Sumber foto: Freepik

Naila Rahma, mahasiswa jurusan Tadris Bahasa Indonesia di Fakultas Adab dan Bahasa, Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta.

Di era digital saat ini, citra kampus dibangun tidak hanya lewat prestasi akademik atau fasilitas yang megah, tetapi juga melalui unggahan di media sosial terutama Instagram. Setiap kegiatan mahasiswa, lomba, dan juga potret keseharian diabadikan untuk memperkuat “Branding” lembaga atau kampus.

Namun, di balik tampilan yang estetik itu, ada fenomena yang sering luput dari perhatian, yaitu akun resmi kampus seperti Instagram yang cenderung menampilkan wajah-wajah yang dianggap menarik secara visual, yang sering diiming-imingi sebagai “Si cantik dan si ganteng.” Sementara itu, mahasiswa lain yang sama-sama berkontribusi, jarang mendapat ruang.

Sebagai mahasiswa, tentu kita senang melihat kampus sendiri tampil secara rapi dan modern di media sosial. Tetapi, jika setiap unggahan hanya menonjolkan satu tipe wajah dan gaya, secara perlahan akan muncul persepsi yang tidak baik. Kampus akan tampak ekslusif, seolah hanya diisi oleh mereka yang tampilannnya “Instagramable.”

Padahal, kenyataan yang terjadi lebih dari itu. Kampus memiliki berbagai ragam tipe mahasiswa, ada yang berprestasi di bidang akademik dan non akademik, ada yang aktif di organisasi sosial, dan juga ada yang diam-diam menginspirasi lewat karya kecilnya.

Fenomena seperti ini tidak akan bisa terlepas dari budaya visual di era digital. Dijelaskan oleh Rahman (2021) dalam penelitianya, bahwa strategi komunikasi digital kampus sering kali lebih berfokus pada pembentukan citra dibanding pada keberagaman.

Ketika media sosial kampus lebih sering menampilkan wajah-wajah visual tertentu, yang akan terbentuk bukan hanya citra lembaga, tetapi juga standar ideal dari “Mahasiswa kampus tersebut.” Akibatnya, media sosial yang seharusnya menjadi ruang representatif malah berubah menjadi etalase selektif.

Penelitian yang dilakukan oleh Rahman (2021) mengenai representasi perguruan tinggi di media sosial juga menunjukkan bahwa komunikasi digital kampus lebih berfokus pada tampilan visual yang dianggap “Menarik” dan “Mengesankan”. Namun, hal ini akan menimbulkan dampak yang cukup besar. Akan ada mahasiswa yang mulai merasa minder karena dirinya tak sesuai dengan standar visual yang ditampilkan di sosial media. Ada juga yang mengukur nilai dirinya dari seberapa sering dia muncul di feed kampus. Pola pikir yang seperti ini dapat menimbulkan kesan eksklusif terhadap identitas mahasiswa.

Padahal, akun kampus seharusnya bisa menjadi ruang inklusif yang mengakui keberagaman mahasiswanya, bukan malah menutupinya dengan filter dan sudut pengambilan gambar yang seragam. Ketika akun resmi kampus hanya menampilkan “Tipe ideal,” pesan yang tersampaikan ke publik pun tidak sepenuhnya netral dan dipandang kalau citra kampus ditentukan oleh tampilan fisik, bukan isi pikirannya. Hal ini bisa berbahaya dalam waktu jangka panjang karena membentuk persepsi eksklusif yang tidak mencerminkan realitas mahasiswa secara utuh.

Maka, sudah saatnya kampus memikirkan kembali strategi komunikasinya di media sosial. Mendorong akun resmi kampus untuk menampilkan keberagaman mahasiswa bukan berarti mengorbankan estetika, melainkan memperluas narasi. Hal seperti ini disampaikan juga oleh Handayani (2022) dalam Jurnal Komunikasi Indonesia, konten visual yang beragam justru memperkuat keterlibatan penonton karena menghadirkan kedekatan dan representasi yang lebih nyata.

Sesuatu yang di unggah bisa memuat tentang mahasiswa yang menang perlombaan akademik maupun non akademik, kemudian mahasiswa yang aktif di komunitas sosial, ataupun yang berkarya di luar kampus. Dengan begitu, setiap postingan yang diunggah tidak hanya menarik secara visual, tetapi juga bermakna secara sosial.

Admin yang memegang media sosial kampus pun memiliki peran penting. Mereka tidak hanya sekadar pembuat konten, tetapi juga penjaga citra kampus. Dengan menampilkan keberagaman mahasiswa, berarti menunjukkan bahwa kampus menghargai setiap individu, tanpa melihat warna kulit, bentuk tubuh, gaya berpakaian, atau latar sosialnya. Justru dari situlah nilai keindahan yang sebenarnya, yaitu pada keberagaman yang nyata, bukan pada keseragaman yang dibuat-buat.

Di tengah budaya visual yang saat ini semakin mendominasi, kampus perlu untuk kembali pada esensi pendidikan yang mampu membentuk mahasiswa berpikir kritis, empatik, dan terbuka. Keindahan sejati kampus tidak terletak pada seberapa “Estetik” unggahannya, tetapi pada seberapa luas ruang yang diberikan kepada mahasiswanya untuk terlihat dan diakui.

Mungkin bukan masalah besar jika akun kampus menampilkan wajah visual yang menarik. Namun, perlu diingat kembali, bahwa di balik setiap unggahan yang tampak sempurna, selalu ada cerita lain yang layak untuk disorot. Karena, keberagaman bukan hanya sekadar konten, tetapi ia adalah cermin dari siapa kita sebagai komunitas akademik.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending