web analytics
Connect with us

Berita

Microsoft Paint is finally dead, and the world Is a better place

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque laudantium, totam rem aperiam.

Published

on

Photo: Shutterstock

Nulla pariatur. Excepteur sint occaecat cupidatat non proident, sunt in culpa qui officia deserunt mollit anim id est laborum.

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque laudantium, totam rem aperiam, eaque ipsa quae ab illo inventore veritatis et quasi architecto beatae vitae dicta sunt explicabo.

Neque porro quisquam est, qui dolorem ipsum quia dolor sit amet, consectetur, adipisci velit, sed quia non numquam eius modi tempora incidunt ut labore et dolore magnam aliquam quaerat voluptatem. Ut enim ad minima veniam, quis nostrum exercitationem ullam corporis suscipit laboriosam, nisi ut aliquid ex ea commodi consequatur.

At vero eos et accusamus et iusto odio dignissimos ducimus qui blanditiis praesentium voluptatum deleniti atque corrupti quos dolores et quas molestias excepturi sint occaecati cupiditate non provident, similique sunt in culpa qui officia deserunt mollitia animi, id est laborum et dolorum fuga.

Quis autem vel eum iure reprehenderit qui in ea voluptate velit esse quam nihil molestiae consequatur, vel illum qui dolorem eum fugiat quo voluptas nulla pariatur.

Temporibus autem quibusdam et aut officiis debitis aut rerum necessitatibus saepe eveniet ut et voluptates repudiandae sint et molestiae non recusandae. Itaque earum rerum hic tenetur a sapiente delectus, ut aut reiciendis voluptatibus maiores alias consequatur aut perferendis doloribus asperiores repellat.

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

“Duis aute irure dolor in reprehenderit in voluptate velit esse cillum dolore eu fugiat”

Nemo enim ipsam voluptatem quia voluptas sit aspernatur aut odit aut fugit, sed quia consequuntur magni dolores eos qui ratione voluptatem sequi nesciunt.

Et harum quidem rerum facilis est et expedita distinctio. Nam libero tempore, cum soluta nobis est eligendi optio cumque nihil impedit quo minus id quod maxime placeat facere possimus, omnis voluptas assumenda est, omnis dolor repellendus.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Berita

Dari Diam ke Perlawanan: Saatnya Menghancurkan Kekerasan Seksual

Published

on

Sumber foto: Freepik

Oleh : T.H. Hari Sucahyo*

 

T.H. Hari Sucahyo,
alumnus Psikologi, peminat sosial humaniora

Kejahatan seksual bukan hanya melukai tubuh, tetapi juga merusak martabat dan kemanusiaan. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah bagaimana budaya diam dan permisif terhadap tindakan ini masih mengakar di masyarakat. Korban sering kali dibungkam oleh stigma, dihakimi oleh lingkungan, bahkan diabaikan oleh sistem hukum. Saatnya kita beralih dari sikap diam menuju perlawanan yang nyata dan terorganisir.

Di banyak kasus, tindak kejahatan ini dibiarkan terjadi karena korban takut berbicara. Masyarakat kerap menyalahkan korban dengan pertanyaan yang seharusnya tidak relevan, seperti “Mengapa berpakaian seperti itu?” atau “Mengapa keluar malam?”. Perspektif ini menciptakan rasa bersalah pada korban dan memberi celah bagi pelaku untuk terus beraksi tanpa konsekuensi.

Selain itu, hukum yang seharusnya melindungi korban sering kali tidak berpihak pada mereka.

             Proses hukum yang berbelit, kurangnya perlindungan bagi korban, serta minimnya edukasi tentang masalah ini menjadi hambatan dalam menegakkan keadilan. Akibatnya, banyak kasus yang tidak dilaporkan atau akhirnya menguap tanpa penyelesaian. Keadaan ini diperburuk oleh kurangnya sumber daya bagi aparat hukum dalam menangani kasus-kasus terkait serta bias gender yang sering kali menguntungkan pelaku.

Budaya patriarki yang masih kuat juga berkontribusi pada maraknya kasus ini. Perempuan, terutama, masih sering dianggap sebagai objek dan berada dalam posisi subordinat dibanding laki-laki. Hal ini melanggengkan dominasi dan pelecehan, baik di ranah publik maupun domestik. Sementara itu, korban laki-laki juga menghadapi stigma bahwa mereka harus “kuat” dan tidak boleh mengakui diri sebagai korban, yang semakin memperparah sikap diam terhadap permasalahan ini.

Perlawanan terhadap tindak kekerasan ini harus dimulai dari perubahan pola pikir. Kita harus berhenti menyalahkan korban dan mulai menempatkan tanggung jawab sepenuhnya pada pelaku. Kesadaran ini harus diperkuat dengan edukasi yang masif di berbagai lini, mulai dari keluarga, sekolah, hingga tempat kerja. Edukasi tentang persetujuan (consent) dan kesetaraan gender harus menjadi bagian dari kurikulum di sekolah untuk membangun generasi yang lebih sadar dan peduli terhadap isu ini.

Di samping itu sistem hukum harus diperbaiki agar lebih responsif terhadap korban. Undang-undang yang lebih tegas, perlindungan bagi korban, serta proses hukum yang tidak berbelit adalah hal mendesak yang harus diwujudkan. Perlu pula ada mekanisme dukungan psikologis yang mudah diakses oleh para penyintas. Negara harus menjamin adanya layanan darurat, tempat perlindungan, serta pendampingan hukum yang bebas biaya bagi korban. Di banyak negara, sistem peradilan berbasis gender telah diterapkan untuk memastikan keadilan bagi korban, dan Indonesia harus mengambil langkah serupa.

Dalam hal ini media dan tokoh publik memiliki peran penting dalam membentuk opini masyarakat. Dengan semakin banyaknya figur yang berbicara tentang pentingnya menghapus tindak pelecehan dan kekerasan, akan semakin banyak pula kesadaran yang terbangun. Kampanye daring maupun luring harus diperkuat untuk menciptakan tekanan sosial terhadap para pelaku dan sistem yang masih abai terhadap isu ini. Media harus lebih banyak memberitakan kasus-kasus terkait dengan perspektif yang berpihak pada korban dan tidak menyajikan narasi yang membenarkan perilaku pelaku.

Perusahaan dan institusi juga harus mengambil peran dalam menghapus pelecehan di lingkungan kerja. Lingkungan kerja yang bebas dari intimidasi dan kekerasan harus menjadi prioritas, dengan kebijakan nol toleransi terhadap segala bentuk pelecehan. Program pelatihan bagi karyawan serta kanal pengaduan yang aman dan terpercaya harus dibangun untuk melindungi pekerja dari ancaman serupa.

Menghapus kejahatan seksual bukan sekadar wacana, tetapi perjuangan yang harus dilakukan secara kolektif. Kita tidak boleh lagi diam dan membiarkan korban bertarung sendirian. Saatnya bergerak, berbicara, dan melawan agar dunia menjadi tempat yang lebih aman bagi semua orang. Dari diam ke perlawanan, itulah jalan yang harus kita tempuh demi keadilan dan kemanusiaan.

Perubahan tidak bisa terjadi dalam semalam, tetapi langkah kecil yang diambil secara konsisten dapat menciptakan dampak besar. Setiap orang, tanpa terkecuali, memiliki peran dalam menciptakan dunia yang bebas dari kekerasan dan pelecehan. Mari kita mulai dari diri sendiri, dari lingkungan terdekat kita, dan bersama-sama membangun masa depan yang lebih adil dan manusiawi.

 

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending