web analytics
Connect with us

Berita

NASA seeks to build a quieter supersonic plane for passenger flight

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore.

Published

on

Photo: Shutterstock

Temporibus autem quibusdam et aut officiis debitis aut rerum necessitatibus saepe eveniet ut et voluptates repudiandae sint et molestiae non recusandae. Itaque earum rerum hic tenetur a sapiente delectus, ut aut reiciendis voluptatibus maiores alias consequatur aut perferendis doloribus asperiores repellat.

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

Nemo enim ipsam voluptatem quia voluptas sit aspernatur aut odit aut fugit, sed quia consequuntur magni dolores eos qui ratione voluptatem sequi nesciunt.

Et harum quidem rerum facilis est et expedita distinctio. Nam libero tempore, cum soluta nobis est eligendi optio cumque nihil impedit quo minus id quod maxime placeat facere possimus, omnis voluptas assumenda est, omnis dolor repellendus.

Nulla pariatur. Excepteur sint occaecat cupidatat non proident, sunt in culpa qui officia deserunt mollit anim id est laborum.

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque laudantium, totam rem aperiam, eaque ipsa quae ab illo inventore veritatis et quasi architecto beatae vitae dicta sunt explicabo.

“Duis aute irure dolor in reprehenderit in voluptate velit esse cillum dolore eu fugiat”

Neque porro quisquam est, qui dolorem ipsum quia dolor sit amet, consectetur, adipisci velit, sed quia non numquam eius modi tempora incidunt ut labore et dolore magnam aliquam quaerat voluptatem. Ut enim ad minima veniam, quis nostrum exercitationem ullam corporis suscipit laboriosam, nisi ut aliquid ex ea commodi consequatur.

At vero eos et accusamus et iusto odio dignissimos ducimus qui blanditiis praesentium voluptatum deleniti atque corrupti quos dolores et quas molestias excepturi sint occaecati cupiditate non provident, similique sunt in culpa qui officia deserunt mollitia animi, id est laborum et dolorum fuga.

Quis autem vel eum iure reprehenderit qui in ea voluptate velit esse quam nihil molestiae consequatur, vel illum qui dolorem eum fugiat quo voluptas nulla pariatur.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Berita

Mewaspadai Radikalisme Digital: Mencegah Intoleransi, Radikalisme, dan Ekstremisme di Era Media Sosial

Published

on

Jumat, 9 Mei 2025, Mitra Wacana berkolaborasi dengan Mahasiswa Magang mengadakan diskusi bersama. Diskusi ini menghadirkan teman-teman dari berbagai latar belakang keberagaman. Tema yang diangkat terasa sangat relevan dengan kondisi saat ini: Pencegahan Intoleransi, Radikalisme, dan Ekstremisme, khususnya dalam konteks digital yang kian kompleks.

Di tengah derasnya arus informasi yang membanjiri lini masa kita setiap hari, bentuk penyebaran paham radikal dan intoleran pun telah berubah wajah. Jika dahulu radikalisme menyebar lewat mimbar, buku, atau ceramah, kini ia menjelma lewat algoritma media sosial. Platform seperti TikTok, Telegram, YouTube, dan sejenisnya telah menjadi ladang subur penyebaran kebencian, prasangka, dan ide-ide ekstrem. Ironisnya, konten-konten ini sering kali dikemas dengan sangat menarik—visual yang apik, narasi yang meyakinkan, dan dibungkus dalam bahasa anak muda yang akrab—sehingga sulit dikenali sebagai ancaman sejak awal.

Kita sering kali lupa bahwa intoleransi tidak muncul begitu saja. Ia tumbuh pelan-pelan dari kegagalan kita menghargai perbedaan. Dalam kehidupan sehari-hari, bentuknya bisa beragam: penolakan pembangunan rumah ibadah, larangan atribut keagamaan di ruang publik, atau bahkan kos-kosan yang secara terang-terangan hanya menerima penghuni dari agama tertentu. Sekilas tampak sepele, tapi di baliknya tersembunyi cara pandang eksklusif yang tak memberi ruang pada keragaman.

Lebih jauh lagi, radikalisme dan ekstremisme berkembang dalam tiga tahap yaitu cara pandang, sikap, dan tindakan. Ketika seseorang merasa paling benar, mulai mudah melabeli orang lain sebagai “kafir”, dan menolak hidup berdampingan, itu adalah tanda-tanda awal dari bahaya yang lebih besar. Dalam konteks sosial, hal ini kerap diperparah oleh ketimpangan ekonomi, rasa terpinggirkan, dan sentimen bahwa identitas kelompoknya sedang diserang. Perasaan-perasaan inilah yang kerap menjadi bahan bakar bagi radikalisme, terutama ketika disulut oleh informasi yang tidak benar.

Media sosial memperburuk situasi ini. Algoritma hanya menunjukkan apa yang ingin kita lihat, memperkuat bias, mempersempit pandangan, dan menutup ruang dialog. Akibatnya, pengguna terjebak dalam echo chamber yang memperkuat keyakinan sendiri tanpa pernah mendapat perspektif lain. Ditambah lagi dengan maraknya hoaks dan ujaran kebencian, polanya menjadi semakin mengkhawatirkan.

Yang membuat situasi semakin rumit adalah jenis-jenis hoaks yang kini semakin canggih. Ada hoaks yang menyamar sebagai humor atau satire, ada pula yang mencampur informasi palsu dengan fakta, bahkan ada yang memanipulasi video agar terlihat benar. Hoaks semacam ini bukan sekadar kebohongan biasa—ia bisa menjadi pemicu konflik sosial yang besar. Kita pernah melihat dampaknya, seperti pada konflik Ambon atau insiden Tolikara. Satu informasi menyesatkan bisa berubah menjadi bara api dalam hitungan jam.

Melawan semua ini jelas tidak cukup hanya dengan seruan toleransi. Diperlukan langkah yang lebih konkret, seperti memperkuat literasi digital masyarakat, mengajarkan cara memilah informasi, serta membongkar cara berpikir eksklusif yang sering menjadi akar masalah. Kita juga perlu lebih kritis terhadap narasi-narasi publik—termasuk kebijakan pemerintah—yang mengandung bias atau diskriminasi terhadap kelompok tertentu.

Yang kita butuhkan adalah ruang-ruang inklusif yang tidak sekadar menerima keberagaman, tetapi juga merayakannya. Ruang di mana setiap orang, dari latar belakang apa pun, merasa aman dan dihargai. Ini bukan hal utopis. Ini bisa dimulai dari kebiasaan sederhana: memilih informasi yang kita baca, membagikan konten yang memperluas wawasan, dan berhenti menyebarkan kabar yang belum jelas kebenarannya.

Pada akhirnya, dunia digital memang tidak bisa kita hindari. Tapi kita masih punya kendali atas cara kita bersikap di dalamnya. Kita bisa memilih untuk curiga satu sama lain, atau memilih untuk saling belajar dan memahami. Di era ini, pilihan itu hadir dalam bentuk yang sangat sederhana—apa yang kita klik, siapa yang kita ikuti, dan konten seperti apa yang kita bagikan.

Maka, mari kita bijak dalam menyaring informasi. Karena dari situlah inklusivitas bisa tumbuh, diskriminasi bisa dicegah, dan keberagaman bisa menjadi kekuatan, bukan ancaman. Ini bukan hanya soal dunia maya—ini soal bagaimana kita membentuk masyarakat yang adil dan damai di dunia nyata.

Penulis : Oksafira

Continue Reading

Trending