Ekspresi
My Experience as a Social Worker in Belanda
Published
3 years agoon
By
Mitra Wacana
Hey! Let me introduce myself first! My name is Arianne and I’m from Belanda. In Belanda I’m studying Social Work (Pekerjaan Social) and I’m now in my 7th semester. At this moment I’m doing my internship (magang) for Mitra Wacana. And as a part of my internship, I will tell you a little bit about Belanda.
In this article I will tell you about Social Work in Belanda.
In Belanda a lot of people work as a Social Worker. And there are a lot of jobs that a Social Worker can do. They can not only work in an NGO or at the government, but they can also work in (high)schools, elderly homes or in the facilities for handicapped. Also a lot of Social Workers work with children. For example, if the parents are unstable and can’t raise their child, a social worker will come to the family and help them.
In my experience Social Work is an informal job in Belanda, just like in Indonesia. The people who are a Social Worker do have a big heart for people. Meaning, they want to help people getting a better life. But in Belanda Social Workers think it’s very important to work together with the people. So instead of just helping the people, we want to work together with them to empower them. The goal is to teach them how to take care of themselves in the future. And I think that is a really good goal!
Now I’m going to tell you about one of the social problems that we have in Belanda. The reason I do this, is to give knowledge about that in western countries there are also problems in the society, just like in Indonesia. And of course, we can’t compare a western country with Indonesia. But it’s still good to know that a country as Belanda has its own problems.
One of the problems we have now is that there are a lot of old people (65+) in Belanda, and not enough young people to do all the jobs. So, in Indonesia it’s hard to get a job because there are so many people, but in Belanda there are a lot of jobs that are open. The reason that we have so many old people is because after World War 2 a lot of babies were born (we call that the baby boom generation). People had 5 until 10 children. But since it is really expensive to have that many children, from 1960/1970 people decided to have only 2 or 3 children. So what’s happening now is that the whole baby boom generation is not working anymore. And all the young people should fill their jobs. But there are not enough people to do all the jobs. So that’s why we have a lot of people from east Europe that come and work in Belanda. For example people from Poland, Bulgaria, Romania. And sometimes from Asia.
Ekspresi
Narasi Cinta yang Terbelah di Simpang Keyakinan Dalam Lagu “Mangu”
Published
5 months agoon
23 June 2025By
Mitra Wacana

Penulis Yuliani Tiara (Mahasiswi jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)
Abstrak
Lagu Mangu karya Fourtwnty dan Charita Utami menampilkan dinamika cinta yang tidak sekadar kandas oleh konflik biasa, melainkan oleh perbedaan spiritual yang fundamental. Artikel ini mengeksplorasi makna lirik sebagai bentuk refleksi eksistensial, dan memperluas pemahaman melalui pendekatan musikologis. Musik populer dalam hal ini menjadi medium kontemplatif terhadap isu-isu kepercayaan, identitas, dan spiritualitas.
Pendahuluan
Di tengah arus musik populer yang kerap menyederhanakan tema cinta, Mangu hadir sebagai pengecualian yang memikat. Kata mangu, yang berarti tertegun atau diam dalam kebimbangan, menjadi landasan emosional dari lagu ini. Dirilis dalam album Linimasa (2017) dan kembali viral pada 2025, lagu ini menandai kebangkitan musik reflektif di tengah masyarakat yang semakin haus makna.
Cinta dalam Simpang Spiritualitas
Lirik Mangu menyampaikan tragedi cinta yang tidak bisa dipertahankan karena benturan spiritual.
“Cerita kita sulit dicerna,
Tak lagi sama,
Cara berdoa”
Bait ini memperlihatkan pergulatan antara perasaan dan keyakinan. Penggunaan diksi seperti “kiblat” dan “berdoa” menunjukkan bahwa relasi ini berhenti bukan karena hilangnya rasa, melainkan karena jalan spiritual yang tidak searah. Lagu ini mengangkat dilema etis yang jarang disentuh oleh musik populer bahwa cinta kadang harus tunduk pada iman.Musikologis: Ketika Aransemen Menjadi Medium Sunyi Secara musikal, Mangu mengusung pendekatan minimalistik dengan warna akustik yang kuat. Lagu ini dibangun di atas progresi akor yang repetitif dan lembut, yang menciptakan ruang emosional yang kontemplatif. Beberapa poin penting dari analisis musikologis:
- Tempo dan Ritme:
Lagu ini berjalan dalam tempo lambat (sekitar 70–75 BPM), mendekati karakter ballad. Ritme yang datar dan tenang mendukung nuansa meditasi dan renungan. Tidak ada ketukan tajam atau dinamika mendadak; semua bergerak dengan lembut, menciptakan suasana mangu itu sendiri—diam, termenung, dan berat.
- Harmoni dan Progresi Akor:
Progresi akor lagu ini tidak kompleks, namun sangat efektif dalam menciptakan resonansi emosional. Akor minor mendominasi, dengan sesekali modulasi ke akor mayor yang memberikan kesan “harapan yang gagal”. Struktur ini mencerminkan situasi emosional lirik: cinta yang pernah hangat, namun perlahan surut tanpa bisa dicegah.
- Vokal dan Ekspresi:
Kekuatan utama Mangu terletak pada teknik vokal yang mengandalkan restrain (penahanan). Vokal Fourtwnty tidak pernah meledak; justru dengan desahan dan nada rendah itulah kesedihan tersampaikan lebih dalam. Kehadiran Charita Utami sebagai kolaborator menambah dimensi naratif: suara laki-laki dan perempuan yang sama-sama lirih, menandakan keterlibatan emosional dua pihak secara setara dalam perpisahan ini.
- Instrumentasi:
Dominasi gitar akustik dan ambience suara latar seperti efek reverb menciptakan ilusi ruang hampa—seolah narasi ini terjadi dalam ruangan kosong yang penuh gema. Unsur musik ambient menjadi semacam pengingat bahwa yang hadir bukan hanya manusia, tapi juga kesadaran spiritual yang tak terlihat.
Simbolisme Arah Kiblat: Antara Religiusitas dan Identitas
Frasa “arah kiblat” menjadi titik kunci dalam lirik. Secara literal, ia merujuk pada arah shalat umat Islam. Namun secara simbolik, kiblat adalah arah hidup: nilai, tujuan, dan orientasi eksistensial. Dua insan yang saling mencintai tetapi kehilangan arahkiblat yang sama adalah dua jiwa yang berpotensi saling mencintai, namun tak bisa berjalan bersama.
Penutup: Musik Populer sebagai Ruang Perenungan
Lagu Mangu bukan hanya karya musik, tetapi juga artefak kultural. Ia berbicara tentang ketegangan antara cinta dan spiritualitas dalam masyarakat plural. Analisis musikologis memperkuat kenyataan bahwa kesedihan dan kontemplasi tidak hanya datang dari lirik, melainkan juga dari bagaimana musik dibangun secara struktural. Dalam dunia yang semakin tergesa, Mangu hadir untuk mengajak kita berhenti sejenak, memikirkan ulang makna cinta, keyakinan, dan diam. Lagu ini tidak memberikan jawaban, melainkan ruang untuk memahami luka yang sunyi namun
dalam.
Referensi
- Kierkegaard, S. (1843). Fear and Trembling.
- Meyer, Leonard B. (1956). Emotion and Meaning in Music. University of Chicago Press.
- Tagg, Philip. (2013). Music’s Meanings: A Modern Musicology for Non-Musos.
- Spotify. (2017). Mangu – Fourtwnty ft. Charita Utami.
- Liputan6. (2025). Di Balik Viralnya Lagu Mangu dari Fourtwnty.
- Detik. (2025). Lirik Lagu Mangu Fourtwnty ft. Charita Utami










