web analytics
Connect with us

Opini

PKI, GERWANI, dan Stigma yang Menghantui

Published

on

Sumber: Detik

Indah Hikmatul Faizah Mahasiswa Magang KPI UIN Sunan Kali Jaga

GERWANI atau Gerakan Wanita Indonesia seringkali dihubung-hubungkan keikutsertaannya dengan tragedi berdarah yang dilakukan oleh PKI pada 30 september 1965 kepada jenderal perwira tinggi militer TNI AD. Bahkan, banyak fitnah yang menunjuk GERWANI telah melakukan hal-hal keji kepada jasad para jenderal tersebut. Fitnah tak berdasar inilah yang menyebabkan GERWANI banyak disalahpahami dan diserang oleh tentara dibawah pimpinan Soeharto untuk menumpas siapapun yang memiliki keterkaitan dengan PKI.

Sebelum membahas lebih lanjut, ada baiknya kita ketahui terlebih dahulu terkait GERWANI dan sejarah kemunculannya. GERWANI atau Gerakan Wanita Indonesia merupakan salah satu organisasi wanita yang berhaluan progresif revolusioner dan terbentuk sejak tahun 1960-1965. GERWANI dalam perjalanannya cukup panjang, mulanya bernamakan GERWIS atau Gerakan Wanita Sedar yang dibentuk pada tahun 1950. GERWIS sendiri merupakan peleburan dari beberapa organisasi wanita Indonesia. Sepanjang sejarah, GERWIS banyak berperan penting dalam perjuangan mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Indonesia dalam bentuk politik maupun fisik. Dengan catatan perjalanan yang cukup baik, di tahun 1954 GERWIS akhirnya berubah nama menjadi GERWANI.

GERWANI dikenal sebagai organisasi wanita yang sangat mementingkan hak-hak wanita, hak-hak anak, dan peningkatan kesejahteraan nasional. Adanya kesamaan program dalam mendukung hak-hak wanita dan hak-hak anak, GERWANI sering dihubungkan dan disebut berafiliasi dengan PKI, bahkan disebut sebagai mantel PKI oleh lawan politik mereka. Fitnah yang menyerang GERWANI mulai bermunculan saat terjadinya kekacauan yang disebabkan oleh G-30S/PKI. GERWANI yang saat itu tengah melangsungkan acara pemilihan kader terseret namanya ikut serta dalam kegiatan pemberontakan tersebut. Harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha milik tentara menyebutkan keterlibatan GERWANI dalam pembunuhan kepada jenderal-jenderal dan pemberontakan yang dilakukan G-30S/PKI. GERWANI disebutkan melakukan ritual tarian setan dan memutilasi jasad jenderal dengan cara yang sangat keji. Akibatnya, GERWANI diserang masyarakat dan juga diburu oleh tentara karena dianggap telah bersekongkol dengan PKI.

Anggota GERWANI disiksa dan dilecehkan oleh para tentara, tak sedikit dari mereka yang mengalami tekanan mental dan gangguan jiwa karena diperlakukan dengan sangat kasar dan tak layak oleh para tentara tersebut, oleh karenanya banyak dari anggota GERWANI yang memutuskan untuk mengakhiri hidup. Fitnah yang mengintai GERWANI terus berlanjut hingga berpuluh-puluh tahun lamanya, sehingga fakta terungkap bahwa tidak ada keterlibatan GERWANI dalam G-30S/PKI dan tidak ada ritual tarian setan maupun memutilasi jasad karena berdasarkan hasil forensik menyatakan para jenderal meninggal akibat luka tembak. Namun, sangat disayangkan GERWANI masih belum bisa sepenuhnya membersihkan namanya karena fitnah keji yang dijatuhkan kepada mereka berjalan bertahun-tahun lamanya.

Stigma Buruk yang Menghantui Keturunan PKI dan GERWANI

Tragedi pemberontakan G-30S/PKI telah terjadi 56 tahun silam, namun kenangan penuh luka itu tentu masih membekas di hati dan terasa sampai sekarang. Hukuman yang tak kalah kejam telah diterima oleh para pelaku pemberontakan, mirisnya keluarga dan anak cucu yang tak mengerti apapun terkena imbasnnya.

Label buruk telah melekat untuk segala hal yang berbau PKI dan GERWANI. Jika melakukan kesalahan, sudah barang tentu dikatai “Awas PKI!”. Jika perempuan ikut serta di organisasi yang mewadahinya kerap kali dibilang “Hati-hati nanti kamu jadi GERWANI!”. Dosa tiada akhir, mungkin ungkapan tersebut akan selalu anggota PKI pikul pada pundaknya. Stigma buruk semacam hal tersebut mestinya disudahi. Hukuman yang sangat pedih telah diterima oleh pelaku pemberontakan, dan pahitnya keluarga dan keturunan PKI serta GERWANI harus menanggung dosa tiada akhir tersebut.

Tak mendapat persamaan hak dan kewajibannya sebagai warga negara merupakan salah satu bentuk diskriminasi yang dialami oleh keluarga dari mantan simpatisan PKI, belum lagi label buruk yang melekat di diri mereka atas dosa yang mereka sendiri tidak tahu, harus mereka tanggung. Sudah selayaknya kita sebagai masyarakat dan rakyat Indonesia tidak berlaku diskriminatif kepada siapapun, termasuk mereka yang tidak terlibat di G-30S/PKI dan hanya menyandang status sebagai anak cucu pelaku pemberontakan. Belum lagi untuk mereka keturunan GERWANI yang sejatinya adalah korban dari fitnah keji yang dilontarkan. Ketidakadilan mereka pikul, memohon keadilan mereka gaungkan, namun tetap saja kita semua menutup mata dan telinga rapat-rapat. Harusnya perilaku diskriminasi entah apapun itu bentuknya tidak ada pembenaran di dalamnya, termasuk sikap diskriminasi pada mereka keturunan PKI dan GERWANI. Oleh sebab itu, stigma buruk yang selama ini melekat pada mereka sebaiknya tidak kita ungkit kembali dan seyogyanya kita bersikap terbuka juga berteman dengan siapapun tanpa ada embel-embel atau label buruk yang melekat pada mereka yang tak bersalah.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Nasib Manuskrip Pasca Banjir: Upaya Penyelamatan dan Restorasi Budaya

Published

on

Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas2

Ungkapan “Sakali aia gadang, sakali tapian barubah.” bukan hanya sekedar pepatah Minangkabau, melainkan juga memori ekologis masyarakat terhadap alam. Banjir bukan hanya sekedar peristiwa alam, melainkan bagian dari sejarah yang terus berulang dan meninggalkan bekas pada masyarakat. Namun, perubahan yang ditinggalkannya bukan hanya pada bentang alam dan kehidupan sosial, tetapi juga pada jejak intelektual masa lalu masyarakat, salah satunya terekam dalam manuskrip.

Manuskrip merupakan tulisan yang ditulis menggunakan tangan pada lembaran-lembaran kertas, yang didalamnya berisi pemikiran orang-orang pada masa lampau. Sejalan dengan Baried (1985:54) manuskrip adalah medium teks berbentuk konkret dan nyata. Di dalam Manuskrip ditemukan tulisan-tulisan yang merupakan sebuah simbol bahasa untuk menyampaikan sesuatu hal tertentu. Manuskrip dapat dikatakan sebagai salah satu warisan nenek moyang pada masa lampau, berbentuk tulisan tangan yang mengandung berbagai pemikiran dan perasaan tercatat sebagai perwujudan budaya masa lampau. Sehingga akan sayang sekali jika pemikiran nenek moyang kita hilang akibat penanganan yang kurang tepat.

Manuskrip-manuskrip yang tersimpan di surau, rumah gadang, perpustakaan nagari, maupun kediaman para ninik mamak sering kali menjadi korban dari bencana alam, salah satunya banjir. Karena setelah banjir tersebut mulai surut, nasib manuskrip itu dipertaruhkan. Ketika banjir menyapu perkampungan, kertas-kertas manuskrip itu basah oleh air, menyebabkan tulisan pada teks-nya bisa saja pudar. Pada titik inilah penanganan awal menjadi penentu apakah sebuah naskah masih mungkin diselamatkan atau justru rusak.

Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui cara penanganan darurat manuskrip basah. Di beberapa tempat, manuskrip yang terendam justru dijemur langsung di bawah terik matahari yang bisa menyebabkan lembarannya menempel. Ada pula yang mengeringkannya di dekat api untuk mempercepat proses pengeringan, padahal suhu panas justru membuat tinta luntur dan kertas mengerut. Bahkan dalam situasi panik, sebagian manuskrip dibersihkan dengan kain kasar atau disikat karena dianggap kotor, yang pada akhirnya merobek halaman-halaman yang sebenarnya masih mungkin diselamatkan. Kecerobohan kecil seperti itu sering kali menjadi perbedaan antara manuskrip yang dapat bertahan dan punah.

Untuk itu, perlunya peran dan dukungan pemerintah dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya penanganan dan perawatan manuskrip yang benar, karena manuskrip seringkali berada di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, detik-detik pertama setelah air surut sepenuhnya bergantung pada pengetahuan masyarakat setempat. Pemerintah dapat melibatkan masyarakat baik individu maupun lembaga dalam merawat dan melestarikan manuskrip. 

Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan edukasi tentang perawatan manuskrip yang baik dan benar sehingga manuskrip yang ada seringkali rusak sebelum sempat di digitalisasi. Padahal langkah-langkah sederhana seperti memisahkan halaman yang menempel, mengeringkan naskah di tempat teduh dan berangin, atau menyerap air dengan tisu tanpa tekanan berlebihan, bisa menjadi penyelamat sebelum tim konservator datang. Edukasi inilah yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah daerah, perpustakaan, dan lembaga kebudayaan.

Bencana banjir sudah berulang kali terjadi, bahkan dari dahulu kala. Hal tersebut seharusnya menjadi pengingat bahwa pengetahuan mengenai perawatan naskah manuskrip sangat penting, tidak hanya bagi satu pihak saja tetapi diperlukan kerjasama dari berbagai pihak. Kerja sama antara pemerintah, akademisi, komunitas budaya, dan masyarakat adalah kunci dalam menjaga keberlangsungan manuskrip. Pemerintah dapat mengambil peran sebagai penyedia edukasi, tentang bagaimana penanganan darurat terhadap manuskrip, serta menyediakan peralatan yang menunjang penyelamatan manuskrip. Sementara masyarakat, sebagai pihak terdekat dengan naskah, menjadi penentu apakah pengetahuan teoretis itu dapat dijalankan dengan benar di lapangan.

Jika manuskrip adalah kunci yang menyimpan ingatan suatu peradaban, maka penyelamatannya adalah urusan berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga, masyarakat adat, dll. Banjir boleh mengubah bentuk geografis daerah, tetapi bukan berarti ia bisa menghapus jejak pemikiran para leluhur yang sudah diwariskan begitu lama. Karena pada akhirnya, yang membuat suatu masyarakat bertahan bukan hanya rumah dan infrastruktur yang diperbaiki, ataupun peradaban yang dibangun ulang, tetapi juga tentang cerita, gagasan, ilmu dan identitas yang mereka wariskan melalui lembaran-lembaran kertas tua.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending