Opini
Pelindungan dan Pemenuhan Hak Transpuan sebagai Warga Negara Dijamin UUD
Published
3 months agoon
By
Mitra Wacana
Oleh Wahyu Tanoto
Terlepas dari apakah kita mengakui atau tidak, sering kali keberadaan waria atau perempuan transgender (transpuan) di Indonesia menghadapi penolakan karena dianggap sebagai tidak normal. Meminjam istilah Masthuriyah Sa’dan (Santri Waria, 2020), mereka dikategorikan sebagai makhluk “Lain”. Tidak sedikit yang menilai bahwa waria sebagai hal memalukan yang merusak moralitas masyarakat. Akibatnya, terjadi perlakuan yang tidak adil-diskriminatif terhadap transpuan, dan hak-hak mereka acap kali diabaikan.
Meskipun zaman telah berkembang begitu pesat yang ditandai dengan era digital, kehadiran transpuan seolah-olah telah diterima oleh masyarakat. Namun, kenyataannya masih terjadi penolakan dari segelintir orang/kelompok. Terlepas dari pemahaman kita bahwa transpuan bagian dari keberagaman alam semesta yang diciptakan oleh Tuhan, realitanya masih banyak transpuan yang berjuang untuk mendapatkan hak-haknya karena beban stereotip. Bahkan, hak-hak yang seharusnya mereka miliki kerap diabaikan oleh pemerintah dan bahkan masyarakat. Akibatnya, tidak sedikit transpuan mengalami diskriminasi dan marginalisasi.
Peristiwa Kekerasan
Menurut Yayasan Kebaya, pada tahun 2021, seperti yang diberitakan oleh dw.com terdapat sekitar 200 orang transpuan yang terdaftar di Yogyakarta. Dari jumlah tersebut, hanya 50 orang yang merupakan penduduk asli Yogyakarta dan sisanya sebanyak 150 orang berasal dari kota-kota lain di Indonesia. Saat ini, sekitar 15 orang masih belum memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan mereka sedang berjuang untuk mendapatkannya.
Selain masalah identitas kependudukan, transpuan juga sering kali mengalami perlakuan yang tidak adil di tempat kerja. Banyak tempat kerja yang menolak menerima transpuan sebagai karyawan. Alasan di balik penolakan tersebut beragam, mulai dari ketidaksesuaian dengan aturan tempat kerja, menimbulkan ketidaknyamanan, dan dianggap “tidak normal,” atau bahkan karena didasarkan pada keyakinan-nilai tertentu.
Transpuan juga mengalami diskriminasi di institusi pendidikan. Banyak transpuan kesulitan mendapatkan akses pendidikan yang layak karena stigma dari anggota masyarakat, ormas, termasuk dari lembaga pendidikan itu sendiri. Misalnya, pada 2016 terjadi kasus penggrebekan Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Yogyakarta oleh kelompok Front Jihad Islam (FJI) yang menuntut penutupan pesantren. Kasus ini merupakan contoh nyata bahwa mereka juga menjadi korban persekusi dalam bidang religiusitas-agama. Sebenarnya, Hak kebebasan beragama juga dijamin dalam Pasal 29 ayat dua UUD NRI 1945.
Semua orang mengetahui, jika transpuan kerap menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual. Sayangnya, peristiwa tersebut tidak dilaporkan kepada pihak berwajib karena mereka merasa tidak dihargai, khawatir, dan takut akan stigma yang muncul akibat laporan tersebut. Dalam istilah lain lazim sebagai insecure; akibat pengalaman traumatik di masa lalu. Kurangnya pelindungan keamanan dari pemerintah semakin memperparah kondisi ini. Sebagai contoh, yang terjadi pada 2018, dilaporkan bahwa dua transpuan di Bekasi diserang dan salah satunya bahkan dilecehkan secara seksual oleh puluhan orang dengan kata-kata bernada kebencian.
Selain itu, hak-hak transpuan juga sering diabaikan dalam bidang layanan sosial, agama, dan kesehatan. Sebuah laporan dari salah satu majalah investigasi nasional, pada bulan Juli 2021 menyebutkan bahwa sebanyak 57,5% orang lesbian, gay, biseksual, transgender, dan interseks (LGBTI) tidak mendapatkan bantuan sosial Covid-19 dari pemerintah. Alasan di balik hal ini antara lain keterbatasan akses informasi, diskriminasi berdasarkan gender dan identitas seksual, serta ketiadaan dokumen kependudukan.
Hak sebagai warga negara
Sudah terlalu banyak transpuan yang menghadapi kesulitan ketika ingin mendapatkan layanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan mereka karena stigma dan diskriminasi. Padahal, Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Namun, seringkali transpuan diabaikan dan hak-hak mereka dilanggar.
Dalam bidang sosial dan agama, transpuan juga seringkali tidak mendapatkan hak yang sama seperti masyarakat lainnya. Banyak lembaga sosial atau keagamaan yang menolak keberadaan transpuan, sehingga mereka diabaikan dan sulit mendapatkan layanan sosial yang memadai, seperti bantuan sosial atau program pengembangan diri. Beberapa transpuan bahkan meninggal karena masalah gizi selama pandemi Covid-19 di Yogyakarta karena masalah identitas kependudukan.
Masih banyak lagi hak-hak transpuan yang seringkali diabaikan atau dicabut oleh pihak-pihak yang seharusnya melindungi mereka. Misalnya, hak untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum, hak mendapatkan akses pada pelayanan publik seperti transportasi dan fasilitas umum, serta hak untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial dan politik. Hal ini tidak hanya merugikan transpuan secara individu, tetapi juga merugikan masyarakat dan negara secara keseluruhan. Ketidakadilan dalam kehidupan hanya akan menyebabkan ketidakstabilan sosial dan politik yang berdampak negatif pada citra negara.
Merespon kebutuhan
Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk memperjuangkan hak-hak transpuan yang selama ini diabaikan. Langkah-langkah yang dapat dilakukan antara lain memperkuat perlindungan hukum bagi transpuan dan menghapus diskriminasi terhadap mereka. Edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat juga penting untuk mengubah persepsi dan sikap negatif terhadap transpuan. Kampanye sosial, pembentukan komunitas yang peduli terhadap hak-hak transpuan, dan program pelatihan dan pengembangan diri bagi transpuan dapat dilaksanakan sebagai bagian dari upaya ini.
Pemerintah juga memiliki peran penting dalam memenuhi hak-hak transpuan sesuai dengan amanat undang-undang dasar. Mereka harus menyediakan layanan kesehatan dan sosial yang komprehensif bagi transpuan, melindungi mereka dari kekerasan dan diskriminasi, serta memastikan akses yang sama dalam bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Implementasi kebijakan inklusi dalam pendidikan juga perlu diperkuat agar setiap orang, termasuk transpuan, dapat mengakses pendidikan tanpa diskriminasi. Pemerintah juga dapat mendukung pendirian lembaga pendidikan khusus untuk transpuan dan memberikan dukungan finansial bagi mereka yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Dalam hal keagamaan, kesadaran dan pemahaman yang lebih luas diperlukan, terutama dari kalangan pemuka agama, terhadap keberadaan transpuan. Pertemuan dan pendampingan yang lebih intens perlu digiatkan dengan tindak lanjut yang sesuai kebutuhan transpuan, dengan sudut pandang mereka sendiri. Para tokoh agama juga bisa terlibat dalam advokasi untuk mendukung transpuan memperoleh identitas kependudukan sebagai hak warga negara. Selain itu, pandangan agama juga dapat diperbarui agar lebih ramah dan inklusif terhadap transpuan.
Upaya memperjuangkan hak-hak transpuan agaknya wajib melibatkan semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, organisasi masyarakat sipil, dan transpuan sendiri. Peran aktif seluruh komponen di masyarakat juga perlu diintensifkan, karena mereka yang akan membangun dialektika bahasa-sikap terhadap transpuan dalam kehidupan sehari-hari.
Menutup uraian ini, penulis ingin mengingatkan kembali bahwa hak hidup dengan martabat dan bebas dari diskriminasi haram dirampas dari transpuan. Mengingat, perjuangan terhadap hak-hak transpuan bukan hanya diskursus tingkal lokal, tetapi isu krusial dalam perjuangan hak asasi manusia secara global. Melalui resolusi tentang Hak Asasi Manusia, Identitas Gender, dan Orientasi Seksual yang dikeluarkan oleh Dewan HAM PBB pada tahun 2011 menggarisbawahi pentingnya membebaskan setiap individu dari diskriminasi, penindasan dan segala bentuk kekerasan. ***
Tulisan ini juga terbit di https://yoursay.suara.com/rona/2023/07/05/154524/pelindungan-dan-pemenuhan-hak-transpuan-sebagai-warga-negara-dijamin-uud
You may like
Opini
Bentuk-Bentuk Kekerasan di Tempat Kerja
Published
7 days agoon
18 September 2023By
Mitra Wacana
Oleh Wahyu Tanoto
Menurut studi yang dilakukan oleh Equal Employment Opportunity Commission (EEOC) pada 2016 di Amerika Serikat, sekitar 75% orang yang mengalami pelecehan di tempat kerja tidak melaporkan kejadian kepada manajer, supervisor, atau perwakilan serikat pekerja. Salah satu alasan utama adalah karena merasa takut akan keamanan kerja serta takut kehilangan sumber pendapatan mereka. Selain itu ada beberapa faktor lain, seperti:
- Faktor relasi kuasa. Salah satu pihak memiliki kekuatan, posisi atau jabatan yang lebih tinggi atau dominan dibandingkan korban. Misalnya, antara bos dengan karyawan.
- Kebijakan perlindungan pekerja masih tidak jelas. Absennya perlindungan terhadap korban dapat menyebabkan korban merasa takut untuk melapor karena khawatir pelaku akan balas dendam dan melakukan kekerasan yang lebih parah.
- Mekanisme penanganan kasus kekerasan seksual yang tidak tersedia. Misalnya, perusahaan belum memiliki Standard Operating Procedure (SOP) mengenai kekerasan seksual, sehingga tidak ada jalur pelaporan atau sanksi yang jelas.
- Budaya yang kerap menyalahkan korban, seperti: “Kamu sih ke kantor pakai baju seperti itu!” “Kamu ngapain memangnya sampai bos marah begitu?”
Namun, kemungkinan lain adalah karena banyak orang belum memahami atau tidak yakin perilaku apa saja yang melanggar batas dan dapat dikategorikan sebagai pelecehan atau kekerasan. Maka dari itu, yuk kita bahas apa saja bentuk-bentuk pelecehan dan kekerasan di tempat kerja!
Kekerasan verbal
Kekerasan verbal termasuk ucapan yang merendahkan, melakukan gerakan yang ofensif, memberikan kritik yang tidak masuk akal, memberikan cercaan atau komentar yang menyakitkan, serta melontarkan lelucon yang tidak sepantasnya. Beberapa contohnya adalah:
- Mengirim email dengan lelucon atau gambar yang menyinggung identitas seseorang, seperti identitas gender, orientasi seksual, ras, atau agama.
- Berulang kali meminta kencan atau ajakan seksual, baik secara langsung atau melalui pesan.
- Membuat komentar yang menghina tentang disabilitas seseorang.
- Mengolok-olok aksen berbicara (logat) seseorang.
Kekerasan psikologis
Perilaku berulang atau menjengkelkan yang melibatkan kata-kata, perilaku, atau tindakan yang menyakitkan, menjengkelkan, memalukan, atau menghina seseorang. Ini termasuk:
- Mengambil pengakuan atas pekerjaan orang lain.
- Menuntut hal-hal yang mustahil.
- Memaksakan tenggat waktu (deadline) yang tidak masuk akal pada karyawan tertentu.
- Secara terus-menerus menuntut karyawan untuk melakukan tugas-tugas merendahkan yang berada di luar lingkup pekerjaannya.
Kekerasan fisik
Pelecehan di tempat kerja yang melibatkan ancaman atau serangan fisik, termasuk sentuhan yang tidak diinginkan. Misalnya:
- Menyentuh pakaian, tubuh, baju, atau rambut orang lain.
- Melakukan penyerangan fisik. Misalnya: memukul, mencubit, atau menampar.
- Melakukan ancaman kekerasan.
- Merusak properti pribadi. Misalnya: mengempeskan ban kendaraan, melempar ponsel orang lain.
Kekerasan berbasis digital
Ini merupakan berbagai bentuk kekerasan atau pelecehan yang dilakukan di ranah daring (online), seperti:
- Memposting ancaman atau komentar yang merendahkan di media sosial.
- Membuat akun palsu dengan tujuan merundung seseorang secara online.
- Membuat tuduhan palsu.
- Menyebarkan foto atau rekaman orang lain yang bersifat privat atau bernuansa seksual.
Kekerasan seksual
- Rayuan seksual yang tidak diinginkan.
- Melakukan sentuhan yang tidak pantas atau tidak diinginkan.
- Melontarkan lelucon bernuansa seksual.
- Membagikan media pornografi.
- Mengirim pesan yang bersifat seksual.
- Pemerkosaan dan kegiatan seksual lain yang dilakukan dengan paksaan.
- Meminta hubungan seksual sebagai imbalan atau promosi pekerjaan.
Jika kamu atau teman kerjamu mengalami salah satu atau beberapa bentuk kekerasan seperti yang disebutkan di atas dan membutuhkan bantuan lembaga layanan, kamu bisa cek website https://carilayanan.com/ atau belipotbunga.com ya. Jangan ragu untuk segera mengontak lembaga layanan, karena mereka ada untuk membantu kamu!
Sumber