web analytics
Connect with us

Opini

Pelindungan dan Pemenuhan Hak Transpuan sebagai Warga Negara Dijamin UUD

Published

on

Sumber: Freepik

Oleh Wahyu Tanoto

Terlepas dari apakah kita mengakui atau tidak, sering kali keberadaan waria atau perempuan transgender (transpuan) di Indonesia menghadapi penolakan karena dianggap sebagai tidak normal. Meminjam istilah Masthuriyah Sa’dan (Santri Waria, 2020), mereka dikategorikan sebagai makhluk “Lain”. Tidak sedikit yang menilai bahwa waria sebagai hal memalukan yang merusak moralitas masyarakat. Akibatnya, terjadi perlakuan yang tidak adil-diskriminatif terhadap transpuan, dan hak-hak mereka acap kali diabaikan.

Meskipun zaman telah berkembang begitu pesat yang ditandai dengan era digital, kehadiran transpuan seolah-olah telah diterima oleh masyarakat. Namun, kenyataannya masih terjadi penolakan dari segelintir orang/kelompok. Terlepas dari pemahaman kita bahwa transpuan bagian dari keberagaman alam semesta yang diciptakan oleh Tuhan, realitanya masih banyak transpuan yang berjuang untuk mendapatkan hak-haknya karena beban stereotip. Bahkan, hak-hak yang seharusnya mereka miliki kerap diabaikan oleh pemerintah dan bahkan masyarakat. Akibatnya, tidak sedikit transpuan mengalami diskriminasi dan marginalisasi.

Peristiwa Kekerasan

Menurut Yayasan Kebaya, pada tahun 2021, seperti yang diberitakan oleh dw.com terdapat sekitar 200 orang transpuan yang terdaftar di Yogyakarta. Dari jumlah tersebut, hanya 50 orang yang merupakan penduduk asli Yogyakarta dan sisanya sebanyak 150 orang berasal dari kota-kota lain di Indonesia. Saat ini, sekitar 15 orang masih belum memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan mereka sedang berjuang untuk mendapatkannya.

Selain masalah identitas kependudukan, transpuan juga sering kali mengalami perlakuan yang tidak adil di tempat kerja. Banyak tempat kerja yang menolak menerima transpuan sebagai karyawan. Alasan di balik penolakan tersebut beragam, mulai dari ketidaksesuaian dengan aturan tempat kerja, menimbulkan ketidaknyamanan, dan dianggap “tidak normal,” atau bahkan karena didasarkan pada keyakinan-nilai tertentu.

Transpuan juga mengalami diskriminasi di institusi pendidikan. Banyak transpuan kesulitan mendapatkan akses pendidikan yang layak karena stigma dari anggota masyarakat, ormas, termasuk dari lembaga pendidikan itu sendiri. Misalnya, pada 2016 terjadi kasus penggrebekan Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Yogyakarta oleh kelompok Front Jihad Islam (FJI) yang menuntut penutupan pesantren. Kasus ini merupakan contoh nyata bahwa mereka juga menjadi korban persekusi dalam bidang religiusitas-agama. Sebenarnya, Hak kebebasan beragama juga dijamin dalam Pasal 29 ayat dua UUD NRI 1945.

Semua orang mengetahui, jika transpuan kerap menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual. Sayangnya, peristiwa tersebut tidak dilaporkan kepada pihak berwajib karena mereka merasa tidak dihargai, khawatir, dan takut akan stigma yang muncul akibat laporan tersebut. Dalam istilah lain lazim sebagai insecure; akibat pengalaman traumatik di masa lalu. Kurangnya pelindungan keamanan dari pemerintah semakin memperparah kondisi ini. Sebagai contoh, yang terjadi pada 2018, dilaporkan bahwa dua transpuan di Bekasi diserang dan salah satunya bahkan dilecehkan secara seksual oleh puluhan orang dengan kata-kata bernada kebencian.

Selain itu, hak-hak transpuan juga sering diabaikan dalam bidang layanan sosial, agama, dan kesehatan. Sebuah laporan dari salah satu majalah investigasi nasional, pada bulan Juli 2021 menyebutkan bahwa sebanyak 57,5% orang lesbian, gay, biseksual, transgender, dan interseks (LGBTI) tidak mendapatkan bantuan sosial Covid-19 dari pemerintah. Alasan di balik hal ini antara lain keterbatasan akses informasi, diskriminasi berdasarkan gender dan identitas seksual, serta ketiadaan dokumen kependudukan.

Hak sebagai warga negara

Sudah terlalu banyak transpuan yang menghadapi kesulitan ketika ingin mendapatkan layanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan mereka karena stigma dan diskriminasi. Padahal, Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Namun, seringkali transpuan diabaikan dan hak-hak mereka dilanggar.

Dalam bidang sosial dan agama, transpuan juga seringkali tidak mendapatkan hak yang sama seperti masyarakat lainnya. Banyak lembaga sosial atau keagamaan yang menolak keberadaan transpuan, sehingga mereka diabaikan dan sulit mendapatkan layanan sosial yang memadai, seperti bantuan sosial atau program pengembangan diri. Beberapa transpuan bahkan meninggal karena masalah gizi selama pandemi Covid-19 di Yogyakarta karena masalah identitas kependudukan.

Masih banyak lagi hak-hak transpuan yang seringkali diabaikan atau dicabut oleh pihak-pihak yang seharusnya melindungi mereka. Misalnya, hak untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum, hak mendapatkan akses pada pelayanan publik seperti transportasi dan fasilitas umum, serta hak untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial dan politik. Hal ini tidak hanya merugikan transpuan secara individu, tetapi juga merugikan masyarakat dan negara secara keseluruhan. Ketidakadilan dalam kehidupan hanya akan menyebabkan ketidakstabilan sosial dan politik yang berdampak negatif pada citra negara.

Merespon kebutuhan

Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk memperjuangkan hak-hak transpuan yang selama ini diabaikan. Langkah-langkah yang dapat dilakukan antara lain memperkuat perlindungan hukum bagi transpuan dan menghapus diskriminasi terhadap mereka. Edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat juga penting untuk mengubah persepsi dan sikap negatif terhadap transpuan. Kampanye sosial, pembentukan komunitas yang peduli terhadap hak-hak transpuan, dan program pelatihan dan pengembangan diri bagi transpuan dapat dilaksanakan sebagai bagian dari upaya ini.

Pemerintah juga memiliki peran penting dalam memenuhi hak-hak transpuan sesuai dengan amanat undang-undang dasar. Mereka harus menyediakan layanan kesehatan dan sosial yang komprehensif bagi transpuan, melindungi mereka dari kekerasan dan diskriminasi, serta memastikan akses yang sama dalam bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Implementasi kebijakan inklusi dalam pendidikan juga perlu diperkuat agar setiap orang, termasuk transpuan, dapat mengakses pendidikan tanpa diskriminasi. Pemerintah juga dapat mendukung pendirian lembaga pendidikan khusus untuk transpuan dan memberikan dukungan finansial bagi mereka yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Dalam hal keagamaan, kesadaran dan pemahaman yang lebih luas diperlukan, terutama dari kalangan pemuka agama, terhadap keberadaan transpuan. Pertemuan dan pendampingan yang lebih intens perlu digiatkan dengan tindak lanjut yang sesuai kebutuhan transpuan, dengan sudut pandang mereka sendiri. Para tokoh agama juga bisa terlibat dalam advokasi untuk mendukung transpuan memperoleh identitas kependudukan sebagai hak warga negara. Selain itu, pandangan agama juga dapat diperbarui agar lebih ramah dan inklusif terhadap transpuan.

Upaya memperjuangkan hak-hak transpuan agaknya wajib melibatkan semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, organisasi masyarakat sipil, dan transpuan sendiri. Peran aktif seluruh komponen di masyarakat juga perlu diintensifkan, karena mereka yang akan membangun dialektika bahasa-sikap terhadap transpuan dalam kehidupan sehari-hari.

Menutup uraian ini, penulis ingin mengingatkan kembali bahwa hak hidup dengan martabat dan bebas dari diskriminasi haram dirampas dari transpuan. Mengingat, perjuangan terhadap hak-hak transpuan bukan hanya diskursus tingkal lokal, tetapi isu krusial dalam perjuangan hak asasi manusia secara global. Melalui resolusi tentang Hak Asasi Manusia, Identitas Gender, dan Orientasi Seksual yang dikeluarkan oleh Dewan HAM PBB pada tahun 2011 menggarisbawahi pentingnya membebaskan setiap individu dari diskriminasi, penindasan dan segala bentuk kekerasan. ***

Tulisan ini juga terbit di https://yoursay.suara.com/rona/2023/07/05/154524/pelindungan-dan-pemenuhan-hak-transpuan-sebagai-warga-negara-dijamin-uud

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Konsumsi Telur Setiap Hari dapat Mencegah Stunting pada Anak

Published

on

Penulis : Chuznul Mujiyanti I.M, S. Gz.

Stunting merupakan salah satu masalah gizi kronis yang masih menjadi perhatian di berbagai negara, termasuk Indonesia. Stunting terjadi akibat kurangnya asupan gizi yang berlangsung dalam waktu lama, terutama selama periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Kondisi ini berdampak pada pertumbuhan fisik anak yang terhambat, serta memengaruhi perkembangan otak, kemampuan belajar, dan produktivitas di masa depan.

Salah satu upaya yang sederhana namun efektif untuk mencegah stunting adalah dengan mengonsumsi protein hewani yang cukup, termasuk telur. Telur merupakan salah satu sumber protein hewani yang kaya akan zat gizi penting untuk pertumbuhan anak.

Kandungan Gizi Telur

Telur mengandung berbagai zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh, seperti:

  1. Protein berkualitas tinggi: Membantu membangun dan memperbaiki jaringan tubuh.
  2. Vitamin D: Penting untuk penyerapan kalsium dan kesehatan tulang.
  3. Zat besi: Mencegah anemia yang dapat memengaruhi pertumbuhan anak.
  4. Kolin: Mendukung perkembangan otak dan fungsi kognitif.
  5. Vitamin A, B2, dan B12: Menjaga kesehatan mata, kulit, dan sistem saraf.
  6. Asam amino esensial: Mendukung pertumbuhan optimal anak.
  7. Rendah kalori: Cocok untuk diet seimbang.
  8. Lemak sehat: Termasuk asam lemak omega-3 untuk perkembangan otak

Alasan Mengapa Memilih Telur dibandingkan Sumber Protein Hewani Lainnya

  1. Kandungan Asam Amino Esensial Lengkap

Telur mengandung sembilan asam amino esensial yang diperlukan tubuh untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan. Asam amino seperti lisin, metionin dan triptofan berperan penting dalam mendukung pertumbuhan optimal anak.

  1. Kandungan Lemak Jenuh yang Rendah

Dibandingkan dengan daging merah, telur mengandung lebih sedikit lemak jenuh sehingga baik untuk kesehatan jantung anak.

  1. Mudah Didapat dan Terjangkau

Telur relatif lebih murah dibandingkan sumber protein hewani lainnya, seperti daging sapi atau ikan salmon.

  1. Kemudahan Penyajian

Telur lebih fleksibel untuk diolah menjadi berbagai hidangan yang menarik bagi anak-anak, seperti telur rebus, omelet atau sup telur.

Perbandingan Kandungan Gizi: Telur, Ikan Bandeng dan Ikan Salmon

Telur Ayam

28.000/kg

Ikan Bandeng

50.000/kg

Ikan Salmon

300.000/kg

Kandungan Gizi per 100 gram
Energi

Protein

Lemak 

Omega-3

Kolesterol

Zat Besi

: 143 kkal

: 12,6 g

: 9,5 g

: 35-50 mg

: 373 mg

: 1,75 mg

Energi

Protein

Lemak 

Omega-3

Kolesterol

Zat Besi

: 123 kkal

: 20 g

: 5 g

: 1000-1500 mg

: 70 mg

: 0,8 mg

Energi

Protein

Lemak 

Omega-3

Kolesterol

Zat Besi

: 206 kkal

: 22 g

: 13 g

: 2000-2500 mg

: 55 mg

: 0,8 mg

      

Telur Ayam : Memiliki asam amino yang lengkap dibandingkan dengan ikan bandeng dan ikan salmon, kandungan omega-3 dapat meningkat jika telur diperkaya dengan pakan khusus

Ikan Bandeng : Kandungan omega-3 cukup tinggi menjadikannya sumber asam lemak esensial yang baik

Ikan Salmon : Memiliki kandungan omega-3 tertinggi diantara ketiganya, baik untuk kesehatan jantung dan otak.

Manfaat Konsumsi Telur Setiap Hari

  1. Mendukung Pertumbuhan Optimal

Kandungan protein dalam telur membantu memperbaiki jaringan tubuh dan meningkatkan massa otot, sehingga mendukung pertumbuhan fisik anak.

  1. Meningkatkan Kesehatan Tulang

Vitamin D dalam telur membantu tubuh menyerap kalsium, yang berperan penting dalam pertumbuhan tulang yang sehat.

  1. Meningkatkan Kecerdasan Anak

Kolin dan asam lemak esensial dalam telur mendukung perkembangan otak, yang penting untuk kemampuan belajar dan daya ingat anak.

  1. Mencegah Kekurangan Zat Gizi

Telur mengandung berbagai vitamin dan mineral yang membantu memenuhi kebutuhan gizi harian anak, sehingga mencegah kekurangan zat gizi yang berisiko menyebabkan stunting.

  1. Meningkatkan Fungsi Otak dan Daya Ingat

Kolin dalam telur berperan penting dalam perkembangan otak dan fungsi kognitif anak.

  1. Meningkatkan Fungsi Kognitif

Kolin dan omega-3 dalam telur mendukung perkembangan otak, sehingga membantuanak dalambelajar dan berpikir dengan lebih baik.

Cara Penyajian Telur yang Sehat untuk Anak

Telur dapat diolah menjadi berbagai hidangan yang menarik dan lezat untuk anak, seperti:

  • Telur Rebus: Pilihan rendah kalori dan bebas tambahan minyak.
  • Omelet Sayur: Tambahkan bayam, wortel, atau tomat untuk meningkatkan asupan serat dan vitamin.
  • Sup Telur: Gabungkan telur dengan sayuran dan kaldu untuk hidangan yang seimbang.
  • Telur Ceplok: Menggunakan sedikit minyak untuk menggoreng memberikan tambahan lemak sehat.

Konsumsi Telur Setiap Hari: Investasi untuk Masa Depan Anak

Kebiasaan mengonsumsi 1-2 butir telur setiap hari dapat menjadi bagian dari pola makan seimbang untuk anak. Selain telur, pastikan anak juga mengonsumsimakan lain seperti daging, ikan, sayuran, dan buah-buahan untuk mendukung pertumbuhan yang optimal.

Konsumsi telur setiap hari dapat menjadi langkah sederhana dan efektif untuk mencegah stunting pada anak. Kandungan protein, asam amino esensial, serta vitamin dan mineral penting dalam telur, menjadikannya salah satu sumber protein hewani terbaik. Dengan harga yang terjangkau, kemudahan pengolahan, dan keunggulan gizinya, telur adalah pilihan yang tepat untuk memenuhi kebutuhan nutrisi anak dan mendukung tumbuh kembang mereka secara optimal. Mari biasakan mengonsumsi telur setiap hari untuk generasi yang lebih sehat dan bebas dari stunting!

Sumber:

Badan Pusat Statistik (BPS). (2024). Harga Komoditas Pangan di Indonesia. Jakarta: BPS RI.

Kemenkes RI. (2024). Kementerian Kesehatan : Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan. Telur jadi Pilihan Ekonomis Cegah Stunting:https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/3293/telur-jadi-pilihan-ekonomis-cegah-stunting

Kemenkes RI. (2023). Tabel Komposisi Pangan Indonesia (TKPI). Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (https://tkpi.kemkes.go.id)

Zulfa, R., & Syahputri, D. (2022). Pengaruh Konsumsi Telur dan Ikan terhadap Status Gizi Anak. Jurnal Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 12(3), 45–55.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending