web analytics
Connect with us

Opini

PEREMPUAN DALAM BAYANG-BAYANG SEKSUALITAS

Published

on

Sumber gambar: Freepik

Penulis : Ice Trisnawati

Pasang surut kajian feminisme tergantung dari mana referensi yang kamu terima atau dengan siapa kamu mengelolah paradigma tersebut. Akan tetapi akan lebih menarik jika kita betul-betul memahami apa sebenarnya yang menjadi poin utama dari lahirnya gerakan tersebut.

Sejauh ini sebagian dari kita memahami bahwa konstruk sosial yang melahirkan atau membangkitkan kesadaran kita bahwa telah terjadi pembantaian sosial yang membatasi ruang gerak perempuan secara berkala dan itu mengakibatkan kerugian yang berjangka panjang.

Di indonesia tentunya kita tidak asing lagi dengan sosok perempuan yang melahirkan pemikiran yang luar biasa sangat besar dampaknya bagi kita semua yaitu R.A Kartini. Yang dapat kita semua rasakan hingga saat ini. Namun, apakah dengan begitu segala problematika yang kita alami sudah terselesaikan? Tentu banyak sekali bagian dari kehidupan kita sebagai perempuan yang masih terbatasi, seperti di ranah budaya, ekonomi, bahkan politik yang masih kita persoalkan. Maka dari itu perlu bagi kita untuk menuntaskan sebagian besar problem yang terjadi saat ini. Saya akan membahas sedikit mengenai bagaimana budaya mengkonstruk perempuan atau menjarah tubuh perempuan dalam karya Novel Haruki Murakami (Nowergian Wood).

Namun tetap menjadi perdebatan jika membahas persoalan tubuh perempuan dengan laki-laki, pasti akan menjadi topik yang panjang dari perbedaan sudut pandang bagaimana Haruki menggambarkan sosok perempuan dalam setiap karyanya.

Saya melihat dan merasakan langsung bagaimana sosok setiap tokoh perempuan yang ada dalam novel Nowergian Wood dijadikan sebagai objektivikasi seksual oleh Haruki Murakami.

Saya sepakat bahwa Haruki ingin menunjukkan langsung kepada kita gambaran seksualitas yang berbeda dari Novel tersebut. Bagaiamana sebenarnya seksualitas itu bekerja didalam kondisi mental yang tidak mendukung kita untuk bersosialisasi apalagi untuk melakukan hubungan seksual. Namun apakah itu dapat dibenarkan dalam setiap adegan seksual tanpa adanya consent dari salah satu pihak yang bahkan dalam keadaan jiwa yang masih memerlukan dukungan secara emosional.

Hanya saja saya tidak begitu sepakat dengan segala penggambaran tokoh perempuan yang dibangun oleh Haruki dalam setiap karya Novelnya, yang menjadikan setiap perempuan sebagai subjek seksual bagi setiap laki-laki yang ada dalam tokoh tersebut. Seakan-akan penggiringan konteks mengenai interaksi antara laki-laki dan perempuan hanya sebatas hubungan seksual saja tanpa adanya perantara yang lain.

Buku ini memang sangat menakjubkan dan pastinya membuat para pembaca mendapatkan kenikmatannya sendiri dalam setiap moment yang ditunjukkan oleh Nowergian Wood. Namun kekeliruaanya adalah bagaiaman ia membangun interaksi tersebut membuat saya begitu jengkel terkait bagaimana tokoh setiap perempuan dalam karya tersebut.

Saya sangat merasakan kekeliruan tersebut dengan bagaimana salah satu tokoh utama dalam Novel ini dibantai dalam keadaan emosional yang tidak begitu mendukung, namun harus dihadapkan dengan alur cerita yang membangun interaksi sosial yang bagi penulis inilah interaksi perempuan dan laki-laki yang seharusnya.

Saya hanya fokus mengkritik interaksi laki-laki dan perempuan, walaupun banyak hal yang perlu kita bahas dengan bagaiaman sisi gelap kehidupan yang dijalani setiap tokoh. Menjadikan ini hal yang sangat penting bagi kita yang sangat amat kurang memahami interaksi tersebut. Dengan ini saya sangat berharap bagaimana kita bisa lebih menghargai hal tersebut.

Alangkah kelirunya jika kita hanya memahami peradaban sejarah laki-laki dan perempuan hanya sebatas interaksi yang timpang yang terjadi diperadaban saat ini. Dengan begitu kita harus membuka lebar mata kita dalam setiap kehadiran perempuan baik dalam karya sastra, ekonomi dan politik. Dengan mengesampingkan egoentrik masing-masing individu yang ingin terlihat lebih dominan. Setiap manusia memiliki porsinya masing-masing dalam diri yang hanya diraih atau mampu diasah dengan memberikan kesempatan dalam artian memberi ruang untuk menunjukkan hal tersebut tanpa adanya batasan hanya karena dia perempuan.

Jadi, saya hanya ingin menyampaikan keterbelakangan kita dalam hal memahami perjuangan yan dilakukan oleh teman-teman Feminisme mengenai betapa pentingnya kehadiran Perempuan dalam setiap keterlibatannya di dunia social yang setiap hari kita tidak pernah terlepas oleh hal tersebut.

Saya mendiskusikan novel ini dengan beberpa teman saya yang telah membacanya, kita paham bagaimana laki-laki dan Perempuan memiliki pandangan yang berbeda mengenai hal-hal yang urgent untuk membahas persoalan yang mengglobal yang tidak pernah ada habisnya kita bahas ketika masih terjadi ketimpangan hubugan. Dan ya, memang tidak begitu mengejutkan mengenai kesimpulan yang dikatakan oleh rekan saya, bahwasanya ya begitu memang adanya antara laki-laki dan perempuan dalam membangun peradaban. Dan bukan persoalan yang amat sangat mengejutkan jika perempuan dijadikan sebagai objek seksual.

Namun hal ini menjadikan saya begitu bersemangat untuk membahas Novel tersebut karena penggambaran Haruki mengenai setiap tokoh yang ada dalam karyanya. Apalagi kesimpulan yang telah diberikan oleh rekan saya mengenai Novel tersebut. Seoalah-olah peradaban akan terhenti jika seksualitas tidak terjadi antara interaksi laki-laki dan perempuan terhenti.

Saya tidak mengatakan bahwasanya seksualitas tidak baik untuk kesehatan, namun saya hanya tidak menyukai jika pemaknaan interaksi harus melibatkan seksualitas. Jika teman-teman telah selesai membaca Novel tersebut, saya berkenan untuk berdialektika dengan pemahaman atau kesimpulan yang teman-teman dapatkan dalam karya Haruki Murakami- Norwegian Wood. Selamat membaca.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Nasib Manuskrip Pasca Banjir: Upaya Penyelamatan dan Restorasi Budaya

Published

on

Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas2

Ungkapan “Sakali aia gadang, sakali tapian barubah.” bukan hanya sekedar pepatah Minangkabau, melainkan juga memori ekologis masyarakat terhadap alam. Banjir bukan hanya sekedar peristiwa alam, melainkan bagian dari sejarah yang terus berulang dan meninggalkan bekas pada masyarakat. Namun, perubahan yang ditinggalkannya bukan hanya pada bentang alam dan kehidupan sosial, tetapi juga pada jejak intelektual masa lalu masyarakat, salah satunya terekam dalam manuskrip.

Manuskrip merupakan tulisan yang ditulis menggunakan tangan pada lembaran-lembaran kertas, yang didalamnya berisi pemikiran orang-orang pada masa lampau. Sejalan dengan Baried (1985:54) manuskrip adalah medium teks berbentuk konkret dan nyata. Di dalam Manuskrip ditemukan tulisan-tulisan yang merupakan sebuah simbol bahasa untuk menyampaikan sesuatu hal tertentu. Manuskrip dapat dikatakan sebagai salah satu warisan nenek moyang pada masa lampau, berbentuk tulisan tangan yang mengandung berbagai pemikiran dan perasaan tercatat sebagai perwujudan budaya masa lampau. Sehingga akan sayang sekali jika pemikiran nenek moyang kita hilang akibat penanganan yang kurang tepat.

Manuskrip-manuskrip yang tersimpan di surau, rumah gadang, perpustakaan nagari, maupun kediaman para ninik mamak sering kali menjadi korban dari bencana alam, salah satunya banjir. Karena setelah banjir tersebut mulai surut, nasib manuskrip itu dipertaruhkan. Ketika banjir menyapu perkampungan, kertas-kertas manuskrip itu basah oleh air, menyebabkan tulisan pada teks-nya bisa saja pudar. Pada titik inilah penanganan awal menjadi penentu apakah sebuah naskah masih mungkin diselamatkan atau justru rusak.

Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui cara penanganan darurat manuskrip basah. Di beberapa tempat, manuskrip yang terendam justru dijemur langsung di bawah terik matahari yang bisa menyebabkan lembarannya menempel. Ada pula yang mengeringkannya di dekat api untuk mempercepat proses pengeringan, padahal suhu panas justru membuat tinta luntur dan kertas mengerut. Bahkan dalam situasi panik, sebagian manuskrip dibersihkan dengan kain kasar atau disikat karena dianggap kotor, yang pada akhirnya merobek halaman-halaman yang sebenarnya masih mungkin diselamatkan. Kecerobohan kecil seperti itu sering kali menjadi perbedaan antara manuskrip yang dapat bertahan dan punah.

Untuk itu, perlunya peran dan dukungan pemerintah dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya penanganan dan perawatan manuskrip yang benar, karena manuskrip seringkali berada di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, detik-detik pertama setelah air surut sepenuhnya bergantung pada pengetahuan masyarakat setempat. Pemerintah dapat melibatkan masyarakat baik individu maupun lembaga dalam merawat dan melestarikan manuskrip. 

Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan edukasi tentang perawatan manuskrip yang baik dan benar sehingga manuskrip yang ada seringkali rusak sebelum sempat di digitalisasi. Padahal langkah-langkah sederhana seperti memisahkan halaman yang menempel, mengeringkan naskah di tempat teduh dan berangin, atau menyerap air dengan tisu tanpa tekanan berlebihan, bisa menjadi penyelamat sebelum tim konservator datang. Edukasi inilah yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah daerah, perpustakaan, dan lembaga kebudayaan.

Bencana banjir sudah berulang kali terjadi, bahkan dari dahulu kala. Hal tersebut seharusnya menjadi pengingat bahwa pengetahuan mengenai perawatan naskah manuskrip sangat penting, tidak hanya bagi satu pihak saja tetapi diperlukan kerjasama dari berbagai pihak. Kerja sama antara pemerintah, akademisi, komunitas budaya, dan masyarakat adalah kunci dalam menjaga keberlangsungan manuskrip. Pemerintah dapat mengambil peran sebagai penyedia edukasi, tentang bagaimana penanganan darurat terhadap manuskrip, serta menyediakan peralatan yang menunjang penyelamatan manuskrip. Sementara masyarakat, sebagai pihak terdekat dengan naskah, menjadi penentu apakah pengetahuan teoretis itu dapat dijalankan dengan benar di lapangan.

Jika manuskrip adalah kunci yang menyimpan ingatan suatu peradaban, maka penyelamatannya adalah urusan berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga, masyarakat adat, dll. Banjir boleh mengubah bentuk geografis daerah, tetapi bukan berarti ia bisa menghapus jejak pemikiran para leluhur yang sudah diwariskan begitu lama. Karena pada akhirnya, yang membuat suatu masyarakat bertahan bukan hanya rumah dan infrastruktur yang diperbaiki, ataupun peradaban yang dibangun ulang, tetapi juga tentang cerita, gagasan, ilmu dan identitas yang mereka wariskan melalui lembaran-lembaran kertas tua.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending