web analytics
Connect with us

Opini

QURROTA A’YUN VS FENOMENA CHILDFREE

Published

on

childfree

Muhammad Mansur

Memiliki anak bagi sebagian besar masyarakat kita merupakan anugrah. Kebanyakan kebudayaan timur menganggap anak bagian dari rezeki dari sang maha kuasa yang memberikan banyak kebahagian. Banyak anak banyak rejeki.

Namun paradigma tersebut mulai bergeser, bahwa memiliki anak sekarang menjadi part of problem, menjadi masalah dan beban dalam hidup. Sehingga lahirlah fenomena childfree, sebuah fenomena yang sekarang sedang menjadi buah bibir dikalangan masyarakat kita. Yaitu fenomena sebuah keluarga yang memutuskan tidak memiliki anak didalam keluarga.

Memiliki anak memanglah sebuah tanggung jawab besar, karena sebagai orang tua kita memiliki tanggung jawab untuk memastikan hal terbaik dalam tumbuh kembangnya. Baik itu kebutuhan material, berupa kecukupan gizi, sandang, dan juga tempat tinggal layak. Juga di dalamnya kebutuhan non material seperti kebutuhan afeksi, Pendidikan dan juga lingkungan yang mendukung bagi perkembangannya.

Biaya hidup yang semakin tinggi, dan tuntutan pekerjaan, atau alasan psikologis seperti traumatic masa kecil atau factor kesehatan menjadi sebagian alasan bagi penganut childfree untuk akhirnya memutuskan tidak memiliki anak.  Bagi penulis semua sah-sah saja atas pilihan hidup masing-masing. Tidak berhak rasanya menghakimi orang atas sebuah pilihan yang sudah dipikirkan konsekuensinya.

Karena fakta sosialnya ada, bahwa Ketika memiliki anak tanpa kesiapan mental dan juga finasial yang baik juga berdampak buruk pada anak. Tapi disisi lain, banyak juga yang kemudian merasakan bahwa memiliki anak merupakan sumber kebahagian yang begitu menyenangkan hati walaupun diiringi dengan konsekuensinya masing-masing. Yang pasti bagi penulis penting memiliki pengetahuan yang cukup dalam memilih sebuah pilihan.

Paradigma anak sebagai investasi

Pilihan memiliki anak haruslah diimbangi dengan pengetahuan dan juga mindset yang benar. Karena kalau tidak akhirnya akan menimbulkan masalah. Islam memberikan apresiasi luar biasanya bagi mereka yang memiliki niat menjadi orang tua, karena di dalamnya menyimpan pengetahuan akan esensi sebuah kehidupan. Ada proses pendewasaan dan juga spiritulaitas tinggi dalam proses menjalani kehidupan dengan hadirnya anak dalam kehidupan. Karena dengan hadirnya anak banyak orang kemudian memiliki tujuan hidup, melanjutkan generasi dan juga peradaban manusia. Menjadi bagian dari kebesaran Tuhan dalam proses memelihara kehidupan sebagaimana tuhan juga mensifati diri-Nya dengan “ Al-Muhaimin” yang maha memilihara. Di dalamnya Tuhan memastikan higience, save, secure dan protection, Tuhan memberikan perlindungan kepada kita, memberikan kita rejeki, dan perlindungan sebagai mahluknya.

Sifat ini adalah potensial bagi manusia sebagai ciptaan-Nya, dimana puncaknya sebagai mahluk kita memperagakan itu ketika mengambil peran sebagai orang tua. Dalam paradigma ini memiliki anak  adalah bagian dari cara kita mengagungkan kebesaran Tuhan, melihat anak sebagai karunia, sumber kebahagian yang mewarisi untuk memelihara peradaban. Yang bila dilakukan dengan benar akan memiliki manfaat luar biasa bagi kehidupan pada umumnya dan khsusunya bagi orang tuanya, yang dalam paradigma islam kita sebut “anak sholeh/sholehah”. dimana dengan keshalehan mereka kita memberikan sumbangan besar dalam kehidupan manusia. rasa inilah selamanya tidak akan pernah dimiliki oleh mereka yang memilih menganut childfree.

Namun dibalik segala kebaikan memiliki anak, penulis juga menyampaikan kritik yang memandang memiliki anak adalah sebuah investasi. Paradigma investasi bagi penulis mereduksi kemuliaan dalam memiliki anak. Ivestasi adalah paradigma ekonomi yang transaksional, yang pamrih, yang berharap bahwa harus ada balas jasa yang harus dilakukan oleh anak.

Dalam konsep Alqur’an keluarga (anak dan istri) disebut sebagai “qurrota a’yun” sesuatu yang menyenangkan hati, ini tertuang dalam Q,S Furqon 74. Paradigma ini melihat keluarga termasuk anak sebagai penyenang hati bukanlah asset untuk diinvestasikan. Karena kita seringkali terbalik-balik membedakan yang mana  asset mana Qurrota a’yun.

Acapkali kali kita kurang peka mengenali hal tersebut, mengejar kemudahan hidup dengan mengumpulkan asset, yang harusnya menjadi media malah menjadi tujuan. Sehingga kita melihat keluarga sesuatu yang merepotkan dan menjadi beban, bukan sesuatu yang menyenangkan bagi hati kita.

Jika orang tua terlalu fokus untuk menumbuhkan materi (asset) dan tidak sepenuhnya mendukung tumbuh kembang mereka hanya seperti binatang ternak. Hanya bertumbuh fisiknya, tapi secara kejiwaan tidak bertumbuh. Yang pada akhirnya menjadi generasi yang mengalami, frustasi, terabaikan dan jauh dari kategori “Qurrota A’yun”. Orang tua harus hadir dalam spirit “ almuhaimin” selalu memberikan rasa aman, memberikan kenyamanan, kasih sayang, dan perlindungan sehingga tumbuhlah generasi yang penuh dengan cinta kasih, dan memiliki keshalehan sosial yang siap menjalani kehidupannya. Wallahu A’lam

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Si Cantik, Si Ganteng, dan Kampus Kita

Published

on

Sumber foto: Freepik

Naila Rahma, mahasiswa jurusan Tadris Bahasa Indonesia di Fakultas Adab dan Bahasa, Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta.

Di era digital saat ini, citra kampus dibangun tidak hanya lewat prestasi akademik atau fasilitas yang megah, tetapi juga melalui unggahan di media sosial terutama Instagram. Setiap kegiatan mahasiswa, lomba, dan juga potret keseharian diabadikan untuk memperkuat “Branding” lembaga atau kampus.

Namun, di balik tampilan yang estetik itu, ada fenomena yang sering luput dari perhatian, yaitu akun resmi kampus seperti Instagram yang cenderung menampilkan wajah-wajah yang dianggap menarik secara visual, yang sering diiming-imingi sebagai “Si cantik dan si ganteng.” Sementara itu, mahasiswa lain yang sama-sama berkontribusi, jarang mendapat ruang.

Sebagai mahasiswa, tentu kita senang melihat kampus sendiri tampil secara rapi dan modern di media sosial. Tetapi, jika setiap unggahan hanya menonjolkan satu tipe wajah dan gaya, secara perlahan akan muncul persepsi yang tidak baik. Kampus akan tampak ekslusif, seolah hanya diisi oleh mereka yang tampilannnya “Instagramable.”

Padahal, kenyataan yang terjadi lebih dari itu. Kampus memiliki berbagai ragam tipe mahasiswa, ada yang berprestasi di bidang akademik dan non akademik, ada yang aktif di organisasi sosial, dan juga ada yang diam-diam menginspirasi lewat karya kecilnya.

Fenomena seperti ini tidak akan bisa terlepas dari budaya visual di era digital. Dijelaskan oleh Rahman (2021) dalam penelitianya, bahwa strategi komunikasi digital kampus sering kali lebih berfokus pada pembentukan citra dibanding pada keberagaman.

Ketika media sosial kampus lebih sering menampilkan wajah-wajah visual tertentu, yang akan terbentuk bukan hanya citra lembaga, tetapi juga standar ideal dari “Mahasiswa kampus tersebut.” Akibatnya, media sosial yang seharusnya menjadi ruang representatif malah berubah menjadi etalase selektif.

Penelitian yang dilakukan oleh Rahman (2021) mengenai representasi perguruan tinggi di media sosial juga menunjukkan bahwa komunikasi digital kampus lebih berfokus pada tampilan visual yang dianggap “Menarik” dan “Mengesankan”. Namun, hal ini akan menimbulkan dampak yang cukup besar. Akan ada mahasiswa yang mulai merasa minder karena dirinya tak sesuai dengan standar visual yang ditampilkan di sosial media. Ada juga yang mengukur nilai dirinya dari seberapa sering dia muncul di feed kampus. Pola pikir yang seperti ini dapat menimbulkan kesan eksklusif terhadap identitas mahasiswa.

Padahal, akun kampus seharusnya bisa menjadi ruang inklusif yang mengakui keberagaman mahasiswanya, bukan malah menutupinya dengan filter dan sudut pengambilan gambar yang seragam. Ketika akun resmi kampus hanya menampilkan “Tipe ideal,” pesan yang tersampaikan ke publik pun tidak sepenuhnya netral dan dipandang kalau citra kampus ditentukan oleh tampilan fisik, bukan isi pikirannya. Hal ini bisa berbahaya dalam waktu jangka panjang karena membentuk persepsi eksklusif yang tidak mencerminkan realitas mahasiswa secara utuh.

Maka, sudah saatnya kampus memikirkan kembali strategi komunikasinya di media sosial. Mendorong akun resmi kampus untuk menampilkan keberagaman mahasiswa bukan berarti mengorbankan estetika, melainkan memperluas narasi. Hal seperti ini disampaikan juga oleh Handayani (2022) dalam Jurnal Komunikasi Indonesia, konten visual yang beragam justru memperkuat keterlibatan penonton karena menghadirkan kedekatan dan representasi yang lebih nyata.

Sesuatu yang di unggah bisa memuat tentang mahasiswa yang menang perlombaan akademik maupun non akademik, kemudian mahasiswa yang aktif di komunitas sosial, ataupun yang berkarya di luar kampus. Dengan begitu, setiap postingan yang diunggah tidak hanya menarik secara visual, tetapi juga bermakna secara sosial.

Admin yang memegang media sosial kampus pun memiliki peran penting. Mereka tidak hanya sekadar pembuat konten, tetapi juga penjaga citra kampus. Dengan menampilkan keberagaman mahasiswa, berarti menunjukkan bahwa kampus menghargai setiap individu, tanpa melihat warna kulit, bentuk tubuh, gaya berpakaian, atau latar sosialnya. Justru dari situlah nilai keindahan yang sebenarnya, yaitu pada keberagaman yang nyata, bukan pada keseragaman yang dibuat-buat.

Di tengah budaya visual yang saat ini semakin mendominasi, kampus perlu untuk kembali pada esensi pendidikan yang mampu membentuk mahasiswa berpikir kritis, empatik, dan terbuka. Keindahan sejati kampus tidak terletak pada seberapa “Estetik” unggahannya, tetapi pada seberapa luas ruang yang diberikan kepada mahasiswanya untuk terlihat dan diakui.

Mungkin bukan masalah besar jika akun kampus menampilkan wajah visual yang menarik. Namun, perlu diingat kembali, bahwa di balik setiap unggahan yang tampak sempurna, selalu ada cerita lain yang layak untuk disorot. Karena, keberagaman bukan hanya sekadar konten, tetapi ia adalah cermin dari siapa kita sebagai komunitas akademik.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending