web analytics
Connect with us

Ekspresi

Refleksi Kasih Sayang Orang Tua dalam Puisi “Menunggangi Ayah” Karya Dandri Hendika

Published

on

 

Penulis : Maryatul Kuptiah (Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia dan Anggota Labor Kepengurusan Kreatif FIB Unand)

Masa kecil merupakan periode perkembangan manusia, yang dialami oleh anak-anak melewati proses pertumbuhan dan perkembangan secara fisik, sosial, psikologis, dan kognitif. Menurut Freud, masa kanak-kanak adalah periode penting dalam pengembangan kepribadiann, di mana anak-anak harus menerima sekaligus merespon apa saja yang terjadi disekitarnya, serta dapat memengaruhi kepribadian mereka di masa depan. Masa kecil sering kali memberikan pengalaman dalam membentuk karakter dan sudut pandang seseorang. Masa kecil selalu menjadi kesan pertama yang mudah melekat dalam benak akan kenangan-kenangan bahagia, sedih, takut, kecewa, hingga melihat kemurnian cinta orang tua kepada sang buah hati.

Beralas pada hal tersebut, sebagaimana karya sastra yang tidak pernah berangkat dari kekosongan (A. Teeuw, 1986). Puisi adalah media yang tepat untuk menuangkan, mengungkapkan serta mengabadikan segala kenangan emosional masa kecil. Menurut Aminuddin (2013) puisi diartikan “membuat” dan “pembuatan” karena pada dasarnya seorang telah menciptakan suatu dunia sendiri berisi pesan. Mengungkapkan setiap kejadian masa kecil dalam sebuah puisi memberikan nilai estetika yang dibalut dalam imajinasi. Salah satu puisi yang menyoroti masa kecil adalah puisi “Menunggangi Ayah” karya Dandri Hendika. Puisi ini merupakan satu dari dua puisi yang terbit di platform media Kurung Buka pada April lalu. Dalam puisi “Menunggangi Ayah” ini secara kontras menggambarkan kesan nostalgia masa kecil seorang anak bersama kedua orang tuanya.

Secara etimologis, istilah “estetika”  berasal dari bahasa Latin yaitu “aestheticus” atau berasal dari bahasa Yunani yaitu “aestheticos” yang berarti persepsi indera atau sensitif terhadap indera. Dalam puisi “Menunggangi Ayah” berbalut dalam lingkup diksi sederhana yang mudah dipahami. Pengambilan diksi yang sering digunakan sehari-hari tetapi sangat mewakili penyampaian masa kecil serta imaji sebagai gambaran emosional. Gaya tutur yang lugas berhasil menggambarkan masa kecil seorang anak dengan keluarga kecilnya tanpa menggunakan bahasa klise sehingga rumit dipahami oleh pembaca. Hal tersebut membuktikan bahwa bahasa yang lugas sangat cocok untuk mengungkapkan puisi bertema masa kecil.

Menunggangi Ayah

dari toko mainan sampai keluar pasar

aku terisak sepanjang jalan

 

saat itu ayah dan ibu membawaku ke pasar raya

untuk pertama kalinya ketika aku mulai lepas dari susuan

dan bedung tak pernah lagi aku kenakan

 

ibu bilang aku sudah besar

jangan menangis tak karuan

air mataku makin jatuh bertebaran

tapi ibu malah memiuh perutku

 

ayah menjauhkan tangan ibu

seperti memisah tulang dari daging ikan

“anak laki-laki tak boleh cengeng”

lalu aku diangkat ke pundaknya

 

aku tak tahu

kenapa ayah selalu begitu membujukku

namun ketika aku dipundaknya

kepala ayah berdenyut-panas

serupa ubun-ubunku yang kadang lunak

kadang mengeras

lalu rambut ayah berguguran di pahaku

sampai tangisku reda

 

walaupun pundak ayah yang hanya

terbungkus kulit itu

tak lebih bagus dari mobil-mobilan dan kuda mainan

pembuat aku menangis di pasar raya

yang kata ibu harganya setara gaji ayah

sebulan penuh

namun, antara pundak ayah

dengan mainan yang tak mampu kami

sama-sama bisa aku tunggangi

dari rumah ke pasar raya

dari pasar raya ke toko mainan

dari toko mainan ke toko mainan lainnya.

Puisi “Menunggangi Ayah” karya Dandri Hendika menceritakan tentang masa kecil seorang anak laki-laki yang berada dalam cara mendidik dari kedua orang tuanya yang berbeda. Sang ibu yang memberikan didikan untuk tidak memanjakannya. Didikan tersebut sangat lumrah dilontarkan seorang ibu kepada anaknya, terutama seorang anak laki-laki. Ibu dalam puisi ini ingin mendidik anak laki-laki sejak kecil untuk menjadi laki-laki yang tangguh dan tidak boleh cengeng. Berbeda dengan ayah terhadap anaknya dalam puisi ini. Sedangkan ayah menunjukkan bagaimana cara membujuk anaknya dengan embel-embel sesuatu. Dalam puisi ini terlihat sikap seorang anak laki-laki menangis karena tidak mendapatkan mainan, sampai pada akhirnya sang ayah harus menenangkannya dengan kasih sayang.

Diksi (Pilihan Kata)

Diksi adalah pilihan kata-kata oleh penyair dalam puisi, yang berperan penting dalam menciptakan ketegasan makna. Adanya pemilihan diksi dalam puisi bertujuan untuk menuangkan gagasannya kepada pembaca agar tidak terjadinya multitafsir, sehingga pesan yang ingin disampaikan oleh pengarangnya dapat dirasakan (Munir et al, 2013). Diksi dalam puisi “Menunggangi ayah” ini menggunakan kata-kata sederhana, tetapi sangat mewakili perasaan, seperti tersisak, memiuh, tunggangi, denyut-panas, dan berguguran. Kata-kata yang digunakan tidak sekedar dapat ditafsirkan secara deskriptif, melainkan memberikan kesan yang konkret sekaligus metaforis untuk memperkuat pesan dalam puisi ini. Dari beberapa diksi puisi ini, pengarang menggambarkan hal-hal yang identik dengan dunai anak yang belum  sepenuhnhya paham mengenai situasi ekonomi keluarga. Meskipun begitu, anak tersebut masih bisa merasakan cinta dan kasih sayang emosional kedua orang tuanya.

Citraan  

Citraan merupakan representasi mental atau upaya yang dapat divisualisasikan dalam pikiran (Maghfiroh et al, 2016). Citraan dalam puisi didominasi oleh citraan visual (penglihatan) , citraan taktil (perabaan), dan citraan perasaan. Hal tersebut dalam dilihat pada baris (17-18) “kepala ayah berdenyut-panas / serupa ubun-ubunku yang kadang lunak” yang merasakan adanya kekuatan spiritual antara anak dari anggota tubuh sang ayah yang ditungganinya. Kemudian pada baris  ke (20-21) “rambut ayah jatuh berguguran di pahaku / sampai tangisku reda” yang menunjukkan bahwa sang anak bisa merasakan kelelahan sang ayah. Citraan yang diciptakan pengarang menggambarkan objek, tindakan, perasaan, atau pengalaman indera secara mendalam, sehingga membangkitkan gambaran ikatan emosional anak dan ayah.

 

Gaya bahasa

Style atau gaya bahasa adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seseorang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan (Abrams dalam Nurgiyantoro. 1995-1995:76). Dalam puisi ini menggunakan beberapa gaya bahasa diantaranya:

  1. Majas Metafora adalah majas yang membandingkan di antara dua hal yang berbeda tanpa menggunakan kata-kata pembanding. Misalnya:

walaupun pundak ayah yang hanya

terbungkus kulit itu

tak lebih bagus dari mobil-mobilan dan kuda mainan

pembuat aku menangis di pasar raya

yang kata ibu harganya setara gaji ayah

sebulan penuh

Ketiga baris ini adalah metafora antara kenyataan yang jauh berbeda dengan impian.

  1. Majas simile adalah majas yang membandingkan dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan senjaga dianggap sama dengan kata-kata pembanding. Misalnya:

ayah menjauhkan tangan ibu

seperti memisah tulang dari daging ikan

bait puisi ini adalah simile yang menggambarkan sulitnya ayah menghentikan cara mendidik ibu kepada sang anak yang disamakan dengan sulitnya memisahkan daging dari tulang ikan. Selain itu, juga sebagai simbol seorang ayah menjaga anaknya dari kekerasaan dengan memberikan kasih sayang.

  1. Majas Repetisi adalah majas perulangan bunyi, suku kata atau frasa ataupun bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi penegasan sebuah konteks.

dari rumah ke pasar raya

dari pasar raya ke toko mainan

dari toko mainan ke toko mainan lainnya

Repetisi pada bait puisi ini menandakan adanya kisah perjalanan sang anak antara kenyataan yang sesungguhnya dengan keinginan impiannya tentang mainan.

Nada (Tone)

Nada dalam puisi “Menunggangi Ayah” awalnya bersifat getir, lalu berubah secara perlahan-lahan menjadi lembut dan tegas. Suasana tangis yang mengiringi perjalanan sebuah keluarga ini dibalut dengan kehangatan dan kasih sayang. Walaupun demikian, masih tetap menyisakan rasa sedih dan kecewa seorang anak kepada orang tua, tetap akan penerimaan yang tumbuh dalam didikan orang tua untuk memahami keadaan.

Melalui pendekatan stilistika, puisi “Menunggangi Ayah” karya Dandri Hendika memperlihatkan jelas bagaimana bahasa dalam mengungkapkan kekuatan hubungan manusia secara kompleks. Dalam puisi ini, hal tersebut digambarkan dalam tiga lingkup yaitu, kasih sayang, keterbatasan ekonomi, dan didikan orang tua. Pengarang menggunakan diksi sederhaa yang sarat dengan kedalaman makna.

Referensi 

Dunia Kusuma Wardani, W. H. (2025). Analisis Stilistika Pada Puisi “Tuhan harus Mengabdi” Karya E.A Nadjib. Jurnal Bima: Pusat Publikasi Ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra, 257-269.

Topan Adinigrat, T. S. (2022). Analisis Stilistika Dalam Puisi “Sajak Doa Orang Lapar” Karya WS. Rendra. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, 28-37.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Ekspresi

Narasi Cinta yang Terbelah di Simpang Keyakinan Dalam Lagu “Mangu”

Published

on

Penulis Yuliani Tiara (Mahasiswi jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)

Abstrak

Lagu Mangu karya Fourtwnty dan Charita Utami menampilkan dinamika cinta yang tidak sekadar kandas oleh konflik biasa, melainkan oleh perbedaan spiritual yang fundamental. Artikel ini mengeksplorasi makna lirik sebagai bentuk refleksi eksistensial, dan memperluas pemahaman melalui pendekatan musikologis. Musik populer dalam hal ini menjadi medium kontemplatif terhadap isu-isu kepercayaan, identitas, dan spiritualitas.

Pendahuluan

Di tengah arus musik populer yang kerap menyederhanakan tema cinta, Mangu hadir sebagai pengecualian yang memikat. Kata mangu, yang berarti tertegun atau diam dalam kebimbangan, menjadi landasan emosional dari lagu ini. Dirilis dalam album Linimasa (2017) dan kembali viral pada 2025, lagu ini menandai kebangkitan musik reflektif di tengah masyarakat yang semakin haus makna.

Cinta dalam Simpang Spiritualitas

Lirik Mangu menyampaikan tragedi cinta yang tidak bisa dipertahankan karena benturan spiritual.

“Cerita kita sulit dicerna,

Tak lagi sama,

Cara berdoa”

Bait ini memperlihatkan pergulatan antara perasaan dan keyakinan. Penggunaan diksi seperti “kiblat” dan “berdoa” menunjukkan bahwa relasi ini berhenti bukan karena hilangnya rasa, melainkan karena jalan spiritual yang tidak searah. Lagu ini mengangkat dilema etis yang jarang disentuh oleh musik populer bahwa cinta kadang harus tunduk pada iman.Musikologis: Ketika Aransemen Menjadi Medium Sunyi Secara musikal, Mangu mengusung pendekatan minimalistik dengan warna akustik yang kuat. Lagu ini dibangun di atas progresi akor yang repetitif dan lembut, yang menciptakan ruang emosional yang kontemplatif. Beberapa poin penting dari analisis musikologis:

  1. Tempo dan Ritme:

Lagu ini berjalan dalam tempo lambat (sekitar 70–75 BPM), mendekati karakter ballad. Ritme yang datar dan tenang mendukung nuansa meditasi dan renungan. Tidak ada ketukan tajam atau dinamika mendadak; semua bergerak dengan lembut, menciptakan suasana mangu itu sendiri—diam, termenung, dan berat.

  1. Harmoni dan Progresi Akor:

Progresi akor lagu ini tidak kompleks, namun sangat efektif dalam menciptakan resonansi emosional. Akor minor mendominasi, dengan sesekali modulasi ke akor mayor yang memberikan kesan “harapan yang gagal”. Struktur ini mencerminkan situasi emosional lirik: cinta yang pernah hangat, namun perlahan surut tanpa bisa dicegah.

  1. Vokal dan Ekspresi:

Kekuatan utama Mangu terletak pada teknik vokal yang mengandalkan restrain (penahanan). Vokal Fourtwnty tidak pernah meledak; justru dengan desahan dan nada rendah itulah kesedihan tersampaikan lebih dalam. Kehadiran Charita Utami sebagai kolaborator menambah dimensi naratif: suara laki-laki dan perempuan yang sama-sama lirih, menandakan keterlibatan emosional dua pihak secara setara dalam perpisahan ini.

  1. Instrumentasi:

Dominasi gitar akustik dan ambience suara latar seperti efek reverb menciptakan ilusi ruang hampa—seolah narasi ini terjadi dalam ruangan kosong yang penuh gema. Unsur musik ambient menjadi semacam pengingat bahwa yang hadir bukan hanya manusia, tapi juga kesadaran spiritual yang tak terlihat.

Simbolisme Arah Kiblat: Antara Religiusitas dan Identitas

Frasa “arah kiblat” menjadi titik kunci dalam lirik. Secara literal, ia merujuk pada arah shalat umat Islam. Namun secara simbolik, kiblat adalah arah hidup: nilai, tujuan, dan orientasi eksistensial. Dua insan yang saling mencintai tetapi kehilangan arahkiblat yang sama adalah dua jiwa yang berpotensi saling mencintai, namun tak bisa berjalan bersama.

Penutup: Musik Populer sebagai Ruang Perenungan

Lagu Mangu bukan hanya karya musik, tetapi juga artefak kultural. Ia berbicara tentang ketegangan antara cinta dan spiritualitas dalam masyarakat plural. Analisis musikologis memperkuat kenyataan bahwa kesedihan dan kontemplasi tidak hanya datang dari lirik, melainkan juga dari bagaimana musik dibangun secara struktural. Dalam dunia yang semakin tergesa, Mangu hadir untuk mengajak kita berhenti sejenak, memikirkan ulang makna cinta, keyakinan, dan diam. Lagu ini tidak memberikan jawaban, melainkan ruang untuk memahami luka yang sunyi namun

dalam.

Referensi

  • Kierkegaard, S. (1843). Fear and Trembling.
  • Meyer, Leonard B. (1956). Emotion and Meaning in Music. University of Chicago Press.
  • Tagg, Philip. (2013). Music’s Meanings: A Modern Musicology for Non-Musos.
  • Spotify. (2017). Mangu – Fourtwnty ft. Charita Utami.
  • Liputan6. (2025). Di Balik Viralnya Lagu Mangu dari Fourtwnty.
  • Detik. (2025). Lirik Lagu Mangu Fourtwnty ft. Charita Utami

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending