Opini
Simulacra dan Simbolisme: Mengapa Kita Membeli Barang yang Tak Pernah Kita Butuhkan
Published
5 months agoon
By
Mitra WacanaDi era posmodern ini, kita menyaksikan perubahan mendalam dalam cara orang mengkonsumsi barang dan pakaian. Tidak lagi sekadar berfokus pada kegunaan praktis, konsumsi kini didorong oleh simbolisme dan tren. Fenomena ini sejalan dengan teori Jean Baudrillard mengenai simulacra dan hiperrealitas, yang menawarkan wawasan penting tentang bagaimana nilai dan identitas dibentuk dalam masyarakat kontemporer.
Dalam pandangan Baudrillard, simulacra adalah salinan dari sesuatu yang tidak memiliki asal usul nyata, sementara hiperrealitas adalah keadaan di mana realitas dan representasi saling bercampur hingga sulit dibedakan. Dalam konteks konsumsi posmodern, merek dan tren berfungsi sebagai simulacra—representasi simbolik yang lebih penting daripada nilai fungsional dari suatu barang. Sebagai contoh, membeli pakaian tipis dan mahal, meskipun tidak cocok untuk cuaca dingin, adalah manifestasi dari fenomena ini. Konsumen tidak hanya membeli pakaian tersebut karena kebutuhan praktisnya, tetapi karena citra dan status sosial yang melekat padanya.
Konsumerisme dalam masyarakat posmodern sering kali mengutamakan simbolisme dan identitas daripada utilitarianisme. Pakaian yang mahal dan bergaya mungkin tidak memberikan perlindungan dari dingin, tetapi ia menawarkan sesuatu yang lebih: sebuah pernyataan identitas dan penunjuk status sosial. Dengan memakai barang-barang ini, individu mengasosiasikan diri mereka dengan kelompok sosial tertentu dan menunjukkan afiliasi mereka dengan tren terkini, bahkan jika itu berarti mengorbankan kenyamanan pribadi.
Fenomena ini mencerminkan pergeseran besar dalam cara kita memandang barang dan konsumsi. Sebelumnya, barang dipilih berdasarkan fungsi dan kebutuhan praktis. Namun, dalam konteks posmodern, nilai estetika dan simbolik sering kali lebih berpengaruh. Konsumen menjadi lebih tertarik pada pengalaman simbolik dan citra yang ditawarkan oleh barang, daripada manfaat fungsionalnya. Ini adalah cerminan dari perubahan nilai-nilai dalam masyarakat yang lebih luas, di mana pencarian akan identitas dan pengakuan sosial mendominasi keputusan sehari-hari.
Dengan demikian, konsumsi barang yang tampaknya tidak rasional ini adalah refleksi dari dinamika kompleks dalam masyarakat posmodern. Ini menunjukkan bagaimana barang dan merek tidak hanya memenuhi kebutuhan fisik, tetapi juga berfungsi sebagai alat untuk membangun dan mengkomunikasikan identitas sosial. Menggali fenomena ini memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana perubahan budaya dan sosial mempengaruhi perilaku konsumsi kita, dan bagaimana simbolisme telah menjadi pusat dari pengalaman konsumerisme kontemporer.
You may like
Opini
Pengalaman Magang di Mitra Wacana Yogyakarta
Published
1 month agoon
9 December 2024By
Mitra WacanaSaya adalah mahasiswa Universitas Widya Mataram Yogyakarta yang sedang menempuh semester akhir. Kewajiban magang membuat saya harus mencari tempat untuk menghabiskan setidaknya dua bulan berkegiatan di luar kampus. Saya mahasiswa jurusan Sosiologi, saya berminat pada pekerjaan sosial dan isu gender, khususnya perempuan. Maka ketika saya menemukan akun Mitra Wacana pada platform Instagram, saya segera mengonfirmasi tentang kesempatan magang di sana. Akhirnya, saya mendapat kesempatan magang di Mitra Wacana dari tanggal 1 Oktober – 30 November 2024 bersama dua teman saya.
Kesan di hari pertama tiba di kantor Mitra Wacana adalah bingung dan tentu saja, canggung. Tetapi seperti kebanyakan LSM yang saya ketahui, suasana kantornya sangat homey. Kami memilih untuk bergabung ke divisi pendidikan dan pengorganisasian, yang setelah itu saya tahu, dikoordinatori oleh Mas Mansur. Kebingungan berlanjut sampai hari-hari berikutnya, sebab kami harus menentukan sendiri program kerja yang akan kami laksanakan. Dengan kesadaran untuk berkembang dan mencari pengalaman, kami mengajukan tiga proker untuk kegiatan kami selama dua bulan; building capacity, diskusi tematik, dan mini riset.
Kami mulai berkegiatan pada minggu kedua bulan Oktober. Suasana antara staf dan mahasiswa magang mulai mencair. Saya dan kawan-kawan mulai bisa beradaptasi serta berdiskusi tentang latar belakang dan cerita masing-masing—tak lupa juga melontarkan banyak pertanyaan tanpa henti. Magang di Mitra Wacana sangat fleksibel. Jumlah agenda kami turun lapangan selama magang hanya satu kali, yaitu ke Kulon Progo untuk edukasi pencegahan KDRT. Hal ini dikarenakan pada bulan Oktober kemarin Mitra Wacana baru saja menyelesaikan program tahunan dan sedang dalam masa evaluasi. Maka kami berkegiatan sekenanya sambil berusaha mencari apapun yang bisa dijadikan pengalaman.
Banyak ilmu yang saya dapatkan lewat proker yang kami susun. Di diskusi tematik, saya belajar mengorganisir suatu acara, yang pada saat itu bertemakan perempuan marginal, sehingga saya juga mendapat pandangan terkini mengenai isu gender dan marginalisasi perempuan. Pada kegiatan building capacity, saya mengetahui manajemen kerja NGO dan tetek-bengeknya.
Terakhir, yang menjadi pengalaman paling ‘nano-nano’ adalah pembuatan—pertama kalinya—sebuah mini riset. Pengerjaannya menuntut pikiran dan tenaga tetapi hasilnya begitu memuaskan. Kami berhasil merangkum pengetahuan serta pengalaman staf dalam riset yang berjudul “Perspektif Staf Mitra Wacana Terhadap Marginalisasi Perempuan di Desa Dampingan P3A”. Berbagai hasil dan hal-hal menyenangkan di Mitra Wacana tidak luput dari peran seluruh staf yang menciptakan lingkungan suportif dan sikap keterbukaan kepada mahasiswa magang. Magang di Mitra Wacana mendorong saya untuk berpikir lebih praktikal dan mengambil aksi mengenai isu gender yang selama ini hanya saya pahami dalam kepala.
Sekian, yang dapat saya tuliskan mengenai pengalaman ketika menjadi mahasiswa magang di Mitra Wacana. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk pembaca. Terima kasih.