web analytics
Connect with us

Opini

Simulacra dan Simbolisme: Mengapa Kita Membeli Barang yang Tak Pernah Kita Butuhkan

Published

on

Akbar Pelayati
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Makassar

Di era posmodern ini, kita menyaksikan perubahan mendalam dalam cara orang mengkonsumsi barang dan pakaian. Tidak lagi sekadar berfokus pada kegunaan praktis, konsumsi kini didorong oleh simbolisme dan tren. Fenomena ini sejalan dengan teori Jean Baudrillard mengenai simulacra dan hiperrealitas, yang menawarkan wawasan penting tentang bagaimana nilai dan identitas dibentuk dalam masyarakat kontemporer.

Dalam pandangan Baudrillard, simulacra adalah salinan dari sesuatu yang tidak memiliki asal usul nyata, sementara hiperrealitas adalah keadaan di mana realitas dan representasi saling bercampur hingga sulit dibedakan. Dalam konteks konsumsi posmodern, merek dan tren berfungsi sebagai simulacra—representasi simbolik yang lebih penting daripada nilai fungsional dari suatu barang. Sebagai contoh, membeli pakaian tipis dan mahal, meskipun tidak cocok untuk cuaca dingin, adalah manifestasi dari fenomena ini. Konsumen tidak hanya membeli pakaian tersebut karena kebutuhan praktisnya, tetapi karena citra dan status sosial yang melekat padanya.

Konsumerisme dalam masyarakat posmodern sering kali mengutamakan simbolisme dan identitas daripada utilitarianisme. Pakaian yang mahal dan bergaya mungkin tidak memberikan perlindungan dari dingin, tetapi ia menawarkan sesuatu yang lebih: sebuah pernyataan identitas dan penunjuk status sosial. Dengan memakai barang-barang ini, individu mengasosiasikan diri mereka dengan kelompok sosial tertentu dan menunjukkan afiliasi mereka dengan tren terkini, bahkan jika itu berarti mengorbankan kenyamanan pribadi.

Fenomena ini mencerminkan pergeseran besar dalam cara kita memandang barang dan konsumsi. Sebelumnya, barang dipilih berdasarkan fungsi dan kebutuhan praktis. Namun, dalam konteks posmodern, nilai estetika dan simbolik sering kali lebih berpengaruh. Konsumen menjadi lebih tertarik pada pengalaman simbolik dan citra yang ditawarkan oleh barang, daripada manfaat fungsionalnya. Ini adalah cerminan dari perubahan nilai-nilai dalam masyarakat yang lebih luas, di mana pencarian akan identitas dan pengakuan sosial mendominasi keputusan sehari-hari.

Dengan demikian, konsumsi barang yang tampaknya tidak rasional ini adalah refleksi dari dinamika kompleks dalam masyarakat posmodern. Ini menunjukkan bagaimana barang dan merek tidak hanya memenuhi kebutuhan fisik, tetapi juga berfungsi sebagai alat untuk membangun dan mengkomunikasikan identitas sosial. Menggali fenomena ini memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana perubahan budaya dan sosial mempengaruhi perilaku konsumsi kita, dan bagaimana simbolisme telah menjadi pusat dari pengalaman konsumerisme kontemporer.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Puisi ‘Dendam’ Karya Chairil Anwar: Estetika dan Semiosis Peirce Cinta Aulia Margaretha Habeahan

Published

on

Cinta Aulia Margaretha Habeahan
Mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Andalas

Estetika adalah cabang filsafat yang mempelajari keindahan. Estetika merupakan bagian dari seni, seni yang berhubungan dengan keindahan. Menurut Aristoteles (1993:28) keindahan menyangkut pada keseimbangan dan keteraturan ukuran, yakni ukuran material, dan pandangannya dengan ini berlaku untuk benda-benda alam maupun untuk karya seni buatan manusia. Bagi karya sastra, estetika sebagai aspek-aspek keindahan sastra yang didominasi oleh gaya bahasa. Keindahan bahasa tidak terkandung dalam bentuk huruf melainkan dalam isi suatu karya. Maka dari itu, estetika dan sastra memiliki hubungan yang begitu erat, di mana estetika berperan sebagai landasan dalam memahami dan menciptakan keindahan suatu karya sastra.

Karya sastra begitu banyak memiliki keindahan gaya bahasa terutama yaitu puisi. Puisi merupakan ungkapan atau curahan hati penyair dan kumpulan bahasa yang setiap baitnya memiliki makna. Salah satu puisi yang memiliki keindahan bahasa yaitu puisi ‘Dendam’ karya Chairil Anwar, yang ditulis pada 13 Juli 1943, dalam buku kumpulan puisi yang berjudul Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949).

Dalam puisi ‘Dendam’ karya Chairil Anwar ini bukan hanya sebuah lontaran emosi saja, melainkan suatu luapan kata-kata kelam, kegelisahan batin, dan pencarian makna dalam kehidupan. Melalui larik-larik yang pendek dan iteratif, Chairil menggambarkan dendam batin manusia yang tidak dapat diluapkan secara langsung.

Namun, melihat lebih jauh, puisi ini dapat dibedah melalui elemen estetika – dari segi pendekatan estetika dan semiosis (tanda dan makna). Berikut puisi ‘Dendam’ karya Chairil Anwar:

Dendam

Berdiri tersentak

Dari mimpi aku bengis dielak

Aku tegak

Bulan bersinar sedikit tak nampak

Tangan meraba ke bawah bantalku

Keris berkarat kugenggam di hulu

Bulan bersinar sedikit tak nampak

Aku mencari

Mendadak mati kuhendak berbekas di jari

Aku mencari

Diri tercerai dari hati

Bulan bersinar sedikit tak nampak

13 Juli 1943

Sumber: Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949)

 

Semiosis yang digunakan Charles Sanders Peirce sebagai tindak pertandaan, proses pertandaan, atau proses semiotis. Sehingga, dapat menelusuri bagaimana makna-makna tersembunyi dalam puisi yang dibentuk melalui system tanda.

  • Dari mimpi aku bengis dielak

Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kata bengis yaitu kejam, penderitaan, tajam dan pedas; sedangkan kata dielak ialah imbuhan yang membentuk kata kerja pasif dari kata elak yaitu menghindar. Maka, dari bait ini dapat disimpulkan ia terbangun dari mimpinya dengan perasaan yang kejam dan ada keinginan untuk membalas dendam.

  • Bulan bersinar sedikit tak nampak

Dalam bait ini bulan melambangkan perasaan, kemampuan, bahkan harapan, dan puisi ini ditandai dengan kegelapan, cahaya bulan yang tak terlihat lagi. Maka, dimaknai sebagai harapan yang nyaris hilang.

  • Keris berkarat kugenggam di hulu

Kata keris sebagai simbol warisan, kekuatan, dan sekaligus kekerasan. Karat di keris menyiratkan bahwa dendam itu lama tersimpan, bukan sekadar amarah sesaat. Maka, kata keris dan berkarat membawa konotasi kekerasan, dan warisan dendam lama.

  • Diri tercerai dari hati

Bait ini menandakan ia tak hanya marah, tapi juga mendapatkan kehampaan dari hati, sekaligus kehilangan hubungan dengan jiwanya sendiri.

 

Maka, melalui pendekatan estetika dapat ditemukan bahwa keindahan dalam puisi ‘Dendam’ ini adanya kegelapan, dendam, dan kekosongan. Chairil Anwar tidak menunjukkan kedamaian, tapi memperlihatkan luka dan menghadirkan perasaan dan penderitaan dalam puisinya. Melalui semiosis Peirce, dapat dipahami bahwa puisi ini dapat system tanda yang kompleks. Dari kata-kata seperti keris, bulan, dan diri tercerai menjadi tanda-tanda yang menciptakan makna begitu terikat dengan trauma, kegelisahan batin, dan kekosongan hidup.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending