web analytics
Connect with us

Opini

Dasar-Dasar Ilmu Hukum (1) :Pengenalan, Urgensi Penulisan, dan Konstruksi Silabus (Kerangka Pembahasan)

Published

on

Adam TS Wuna
Kader Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kota Kendari

Arus perkembangan Teknologi dewasa ini telah membawa dampak yang cukup signifikan dalam menurunkan minat belajar secara klasik bagi Mahasiswa di berbagai wilayah Tanah Air. Metode belajar klasik yang dimaksud adalah kencenderungan mempelajari suatu hal yang sifatnya epistemik melalui berbagai literatur (buku bacaan), kajian, diskusi, dan semacamnya, yang bila ditinjau secara historis metode belajar klasik tersebut telah berhasil melahirkan insan-insan cerdas dengan pemahaman yang kompleks dan multi-disipliner pada masanya.

Sejalan dengan perkembangan teknologi, Ilmu Pengetahuan juga sejatinya mengalami perkembangan yang begitu pesat mengikuti arus modernisasi dan digitalisasi. Sehingga perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi semestinya dikonstruksi dalam satu tarikan nafas sebagai dua dimensi yang saling memiliki relasi dan keterhubungan satu sama lain. Konsekuensi logisnya adalah, perkembangan Teknologi semestinya mampu menyokong proses formulasi keilmuan yang dilakukan secara sadar dan sistematis diberbagai jurusan (fakultas) di berbagai perguruan tinggi. Nyatanya tidak demikian.

Realitas kehidupan mahasiswa menunjukkan hasil yang kontradiktif jika ditinjau dari aspek kepahaman terhadap bidang keilmuan yang di geluti. Mengukur kebenaran argumentasi ini bisa dilakukan dengan mengajukan pertanyaan sederhana terhadap mahasiswa yang berada di jurusan tertentu, semisal pertanyaan yang hendak diajukan adalah _“Seberapa paham anda tentang jurusan yang anda ambil?”_, jawaban yang acap kali dilontarkan adalah _“cukup atau lumayan paham”_, tetapi ketika di uji secara komprehensif mengenai kepahamannya, ia tidak mampu mempertanggungjawabkannya. Inilah fenomena yang kerap dan marak terjadi ditengah-tengah mahasiswa. Pun juga yang dialami oleh penulis sendiri.

Pemahaman Mahasiswa terhadap bidang keilmuan yang dia geluti biasanya terkendala dalam dimensi teoritis (ketidakpahaman tentang teori), yang kemudian berimplikasi terhadap pemahamannya dalam wilayah praktis (penerapan). Hal ini dikarenakan tidak adanya ketekunan dalam mempelajari suatu bidang ilmu secara teoritis dengan teliti dan serius. Padahal Zainal Arifin Muchtar menyatakan bahwa teori begitu penting untuk dipelajari agar kita bisa meminimalisir terjadinya kesalahan dan penyimpangan dalam wilayah praktik.

Ketekunan dan kefokusan mempelajari suatu bidang ilmu ditentukan oleh kecenderungan seseorang, dalam hal ini adalah mahasiswa itu sendiri. Kecenderungan mahasiswa yang membaca buku, mengkaji, mendiskusikan, mempraktekkan, dan sekali-sekali menulis (merumuskan kembali) apa yang menjadi hasil bacaan akan berbeda secara kualitas dengan kecenderungan mahasiswa yang sekedar mengikuti perkuliahan, _scroll tiktok, nongkrong, nonton bioskop, dan bermain game._ Yang ketika ada tugas kampus, jawabannya secara instan dicari melalui AI (Chat GPT). Ini disatu sisi.

Disisi lain, kita juga diperhadapkan dengan fenomena perkembangan teknologi dan arus modernisasi yang secara terang-terangan memperkenalkan budaya baru dalam kehidupan sosial-humanisme melalui media massa, yang kemudian ini membentuk kecenderungan hedonisme dalam diri mahasiswa. Hal ini pula dalam jangka panjang memaksa kita untuk lebih inovatif dan dinamis dalam melakukan transfer keilmuan. Hal ini dilakukan agar kegiatan esensial (belajar) dalam diri mahasiswa tidak luput diterpa perkembangan zaman. Kecenderungan mempelajari sesuatu secara radikal, analitis, kritis, universal, sistematis, dan objektif mesti senantiasa dibumikan.

Berdasarkan uraian singkat diatas, kita menemukan beberapa urgensi (yang tidak perlu lagi dijelaskan) sebagai pijakan mengapa begitu penting mempublikasikan pengetahuan yang dimiliki sebagai upaya refleksi kritis yang nantinya juga berguna jika dikonsumsi oleh berbagai kalangan mahasiswa. Mengenai hal ini, penulis akan memfokuskan tulisan-tulisannya pada materi-materi dasar tentang Ilmu Hukum sebagai wujud kepedulian terhadap dirinya sendiri sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum, dan kepeduliannya kepada mahasiswa lain yang juga memiliki minat yang tinggi untuk mempelajari hukum secara tekun seperti dirinya.

Dalam tulisan ini, terlebih dahulu akan diberikan silabus (kerangka pembahasan) yang nantinya akan dielaborasi dalam tulisan-tulisan berikutnya. Adapun beberapa tema yang akan dielaborasi lebih lanjut dalam tulisan-tulisan berikutnya adalah Mengenal Hukum (Materi pengantar yang meliputi Pengertian Hukum, Kaidah Hukum, dan Peraturan Hukum Konkret). Selanjutnya akan dibahas juga mengenai Pengantar Teori Hukum (yang pembahasannya meliputi Pengertian Teori Hukum, Ciri Teori Hukum, Objek Teori Hukum, dan Tugas/Fungsi Teori Hukum). Serta tema-tema menarik dan esensial lainnya.

 

Selamat Membaca, dan Ayo Menulis !

 

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

RUU PPRT dan Eksploitasi Pekerja Rumah Tangga (Analisis Feminis)

Published

on

Fadhel Fikri Co-Founder di Sophia Insitute dan pegian filsafat dan Sains. Dan pembisnis di Sabda Literasi Palu

Fadhel Fikri Co-Founder di Sophia Insitute dan pegian filsafat dan Sains. Dan pembisnis di Sabda Literasi Palu

Di balik gemerlapnya kehidupan perkotaan dan kemewahan yang dipamerkan oleh sebagian besar keluarga Indonesia, ada satu sektor yang sering terabaikan dan dibiarkan terjerat dalam eksploitasi pekerja rumah tangga (PRT). Bukan hanya pekerjaan yang tidak dihargai, tetapi juga kelompok pekerja ini sering diperlakukan tanpa keadilan. 

Mereka adalah perempuan-perempuan yang menjadi korban dari sistem patriarki dan ketidakpedulian negara, berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan kondisi yang lebih mirip perbudakan modern daripada pekerjaan yang dihargai. Bayangkan, selama lebih dari dua dekade, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang seharusnya memberikan perlindungan bagi mereka, masih diperdebatkan dan tertunda pengesahannya. 

Mengapa? Apakah kita, sebagai masyarakat, begitu terbuai dengan kenyamanan dan kemewahan yang didapat dari eksploitasi kerja mereka hingga tak mampu melihat kesengsaraan di baliknya? 

Saya di sini aakan mencoba membongkar realita pahit di balik pekerjaan rumah tangga berdasarkan data-data yang ada, mengungkap bagaimana ideologi feminis menawarkan jalan keluar, dan mengapa pengesahan RUU PPRT adalah langkah mendesak untuk menciptakan keadilan sosial yang sesungguhnya.

Perspektif feminis sangat relevan dalam memahami isu ini, mengingat mayoritas PRT adalah perempuan. Pekerjaan domestik, yang secara tradisional dianggap sebagai “kerja perempuan,” sering kali tidak dihargai dan dilindungi. 

Eksploitasi PRT dan Perspektif Feminisme

Dalam masyarakat patriarkal, pekerjaan rumah tangga sering kali dipandang sebagai tugas alami perempuan. Hal ini menciptakan stigma bahwa pekerjaan domestik, termasuk yang dilakukan oleh PRT, tidak memiliki nilai ekonomi yang signifikan. 

Perspektif feminis menekankan bahwa pekerjaan domestik adalah elemen penting dalam mendukung aktivitas ekonomi keluarga, terutama bagi kelas menengah dan atas.

Bell hooks, dalam bukunya Feminism is for Everybody, menekankan bahwa feminisme harus mencakup perjuangan untuk keadilan bagi perempuan pekerja dari kelas bawah. Ia mengkritik bagaimana kapitalisme dan patriarki berkontribusi pada marginalisasi pekerjaan domestik, yang mayoritas dilakukan oleh perempuan dari latar belakang ekonomi yang kurang mampu.

Hooks menegaskan bahwa pekerjaan domestik tidak boleh diremehkan atau dieksploitasi​.

Sebagian besar PRT di Indonesia berasal dari pedesaan dan memiliki tingkat pendidikan rendah. Ketimpangan kelas ini memperburuk kerentanan mereka terhadap eksploitasi. 

Banyak PRT yang bekerja lebih dari 12 jam sehari tanpa jaminan sosial atau perlindungan hukum. Ketiadaan regulasi memperparah ketimpangan ini, membuat mereka mudah dieksploitasi oleh pemberi kerja yang tidak bertanggung jawab.

Gambaran Eksploitasi PRT

Salah satu kasus paling menonjol yang menggambarkan pentingnya perlindungan hukum bagi PRT adalah kasus Erwiana Sulistyaningsih. Erwiana adalah PRT asal Indonesia yang bekerja di Hong Kong. 

Selama bekerja, ia mengalami kekerasan fisik dan mental yang parah dari majikannya. Erwiana dipaksa bekerja tanpa istirahat, menerima upah yang sangat minim, dan tidak diberikan akses layanan kesehatan saat ia sakit.

Kasus Erwiana menarik perhatian internasional dan menjadi simbol perjuangan hak PRT. Meskipun terjadi di luar negeri, kasus ini mencerminkan kondisi yang serupa dialami oleh banyak PRT di Indonesia. Tanpa regulasi seperti RUU PPRT, pelanggaran hak terhadap PRT cenderung terus terjadi tanpa ada sanksi tegas bagi pelaku​.

RUU PPRT: Solusi untuk Perlindungan PRT

RUU PPRT muncul sebagai jawaban atas kebutuhan mendesak untuk melindungi pekerja rumah tangga yang selama ini sering kali terabaikan dan dieksploitasi. Rancangan Undang-Undang ini dirancang untuk memberikan perlindungan hukum yang lebih komprehensif, dengan berbagai poin penting yang dapat mengubah nasib para pekerja rumah tangga.

Salah satunya adalah pengaturan mengenai hak atas kontrak kerja formal, yang selama ini menjadi hal yang langka bagi sebagian besar PRT. Tanpa kontrak yang jelas, mereka sering kali dirugikan dalam hal upah, jam kerja, dan hak-hak lainnya.

Selain itu, RUU PPRT juga menetapkan jam kerja yang wajar, sebuah langkah krusial untuk memastikan bahwa PRT tidak dipaksa bekerja tanpa henti, tanpa waktu istirahat yang cukup.

Tidak hanya itu, RUU ini juga menjamin bahwa para pekerja rumah tangga akan mendapatkan upah minimum yang sesuai dengan standar yang berlaku, memberikan mereka hak yang sama untuk mendapatkan penghasilan yang layak.

Pentingnya jaminan sosial dan kesehatan juga diatur dalam RUU ini, memastikan bahwa PRT tidak hanya diakui sebagai pekerja, tetapi juga diberikan perlindungan atas kesehatan mereka yang sering kali terabaikan.

Untuk mendukung hal tersebut, mekanisme pengaduan yang jelas juga disediakan bagi PRT yang menghadapi pelanggaran hak, membuka pintu untuk keadilan yang lebih cepat dan aksesibilitas bagi mereka yang membutuhkan perlindungan.

Namun, lebih dari sekadar perlindungan hukum, RUU PPRT juga bertujuan untuk menghapus stigma terhadap pekerjaan rumah tangga. Pekerjaan ini, yang selama ini dianggap sebagai pekerjaan “tidak penting” dan hanya layak dilakukan oleh perempuan dari lapisan masyarakat bawah, kini akan diakui sebagai sektor formal yang memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian negara.

Dengan demikian, RUU PPRT tidak hanya melindungi hak-hak PRT, tetapi juga mengangkat martabat mereka sebagai pekerja yang berharga dalam struktur sosial dan ekonomi.

Namun, pengesahan RUU PPRT menghadapi berbagai tantangan, mulai dari resistensi politik hingga kurangnya kesadaran publik akan pentingnya regulasi ini. Beberapa pihak berargumen bahwa regulasi ini akan memberatkan pemberi kerja. 

Namun, perspektif feminis menekankan bahwa perlindungan hak PRT bukan hanya tentang kepentingan individu, tetapi juga tentang keadilan sosial dan pengakuan atas kontribusi ekonomi mereka​.

Mengapa Perspektif Feminisme Penting dalam Perjuangan RUU PPRT?

Feminisme menekankan bahwa pekerjaan domestik harus diakui sebagai pekerjaan formal yang memiliki nilai ekonomi dan sosial. Pengesahan RUU PPRT akan menjadi langkah penting dalam menghapus stigma bahwa pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan “tidak penting.” 

Hal tersebut juga akan memberikan pengakuan yang layak bagi perempuan yang selama ini terjebak dalam lingkaran eksploitasi karena pekerjaan mereka tidak dihargai secara formal.

Selain itu, eksploitasi terhadap PRT adalah bagian dari masalah yang lebih besar dalam budaya patriarki yang menganggap pekerjaan perempuan sebagai sesuatu yang dapat dieksploitasi tanpa konsekuensi. 

Pengesahan RUU PPRT tidak hanya akan memberikan perlindungan hukum, tetapi juga membantu mengubah cara pandang masyarakat terhadap pekerjaan domestik, sehingga menciptakan lingkungan yang lebih setara dan adil​.

Dengan demikian, pekerja rumah tangga adalah kelompok yang sangat rentan terhadap eksploitasi dan pelanggaran hak di Indonesia. Perspektif feminis, seperti yang diusung oleh bell hooks, menyoroti pentingnya melawan ketidakadilan ini dengan mengakui pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan formal yang layak dihargai dan dilindungi.

Kasus Erwiana Sulistyaningsih menunjukkan bagaimana kekerasan dan eksploitasi dapat terjadi dalam ketiadaan perlindungan hukum.

Pengesahan RUU PPRT adalah langkah penting untuk memastikan keadilan sosial dan kesetaraan gender. RUU ini akan memberikan perlindungan hukum bagi PRT, meningkatkan kondisi kerja mereka, dan menghapus stigma negatif terhadap pekerjaan domestik.

Dengan demikian, perjuangan untuk pengesahan RUU ini harus menjadi prioritas dalam upaya menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara.

Referensi

  1. hooks, bell. Feminism is for Everybody: Passionate Politics. South End Press, 2000.
  2. Komnas Perempuan. Satu Suara Wujudkan Cita-Cita untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, 2024. https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-peringatan-26-tahun-komnas-perempuan

JALA PRT. Statistik Pelanggaran Hak PRT di Indonesia, 2023.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending