web analytics
Connect with us

Berita

Sinau Bareng Mitra Wacana dan Seruni: Gender dan Kekerasan Terhadap Perempuan.

Published

on

Pada hari jum’at lalu (6/12), Mitra Wacana mengadakan diskusi live streaming di akun facebooknya, bekerja sama dengan Seruni. Topik diskusi kali ini mengenai “Gender dan Kekerasan terhadap Perempuan”.  Nuke Kuni, perwakilan dari Seruni, mengatakan bahwa diskusi ini sebagai salah satu bentuk kampanye hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang diperingari setiap tangal 25 November hingga 10 Desember. Khusus pada tanggal 6 Desember, bertepatan pada hari “Tidak Ada Toleransi bagi Kekerasan terhadap Perempuan”.

Ia juga mengatakan, adanya kekerasan terhadap perempuan disebabkan adanya pelemahan perempuan, baik secara ekonomi, politik, maupun sosial. Sedangkan bentuk-bentuk dari kekerasan seksual sendiri bermacam-macam. Bisa dari segi fisik, psikis, dan lain-lain.

Menurut Komnas Perempuan, ada 15 jenis kekerasan seksual yang ditemukan dari hasil pemantauannya selama 15 tahun (1998– 2013), yaitu:

  1. Perkosaan.
  2. Intimidasi Seksual termasuk Ancaman atau Percobaan Perkosaan.
  3. Pelecehan Seksual.
  4. Eksploitasi Seksual.
  5. Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual.
  6. Prostitusi Paksa.
  7. Perbudakan Seksual.
  8. Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung.
  9. Pemaksaan Kehamilan.
  10. Pemaksaan Aborsi.
  11. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi.
  12. Penyiksaan Seksual.
  13. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual.
  14. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan.
  15. Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.

 

Ia melanjutkan, perempuan ditindas oleh sistem patriarki di semua aspek kehidupan. Jika dilihat dari segi ekonomi atau produksi, buruh perempuan hanya mendapat 10% dari hasil produksi.

Selain itu, ia menambahkan, dari segi pendidikan pun laki-laki lebih diutamakan dari pada perempuan.  Semisal dalam akses pendidikan, jika ada dua anak yaitu laki-dan perempuan, maka yang lebih didahulukan adalah si anak laki-laki, sedangkan anak perempan tidak diprioritaskan. Sebab, masih adanya konstruksi bahwa laki-laki adalah pemimpin dan tulamg punggung keluarga, sedangkan perempuan cukup mengurus urusan domestik saja.

Nuke mengimbuhkan, sedangkan perempuan-perempuan yang mendududuki kursi perlemen mayoritas dari kalangan atas atau kelas elit.  Mereka yang bukan berasal dari ekonomi kelas bawah, tidak bisa mewakili suara-suara perempuan kalangan bawah, yang itu jumlahnya lebih banyak di tanah air ini.

Muadzim menambahkan, masih adanya pembedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Berkenaan dengan itu, Nuke menanggapi, hal tersebut dikarenakan belum adanya edukasi tentang perbedaan kodrat (bersifat biologis/ tidak bisa dipertukarkan), dan gender (konstruks sosial yang itu bisa dipertukarkan). Dan, Nuke mengimbuhkan, musuh kita bukanlah laki-laki, melainkan sistem patriarki yang menindas laki-laki dan perempuan di dalamnya.

Muadzim menanggapi, ketidaksetaraan gender tersebut sangatlah berdampak pada kekerasan terhadap perempuan. Sebagaimana data yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan di setiap tahunnya, kekerasan terhadap perempuan semakin hari semakin mengkhawatirkan.  “Fenomena tersebut ibarat gunung es,” tuturnya.

Hak atas keamanan adalah hak semua manusia, sebagaimana yang dipaparkan oleh Nuke. Dalam akhir diskusinya ia berpesan, perjuangan pembebasan perempuan penting untuk kemajuan suatu bangsa, baik laki-laki dan perempuan harus bekerja sama dan menjadi partner dalam kehidupan yang lebih bermanfaat.

“Patriarki juga tidak bagus untuk laki-laki,” lanjut Muadzim. Sebelum diskusi ditutup, ia menegaskan, bahwa yang menjadi persolan bukan laki-laki atau perempuannya, melainkan kultur patriarki itu sendiri. “Dan, perjuangan perempuan tidak bisa dijauhkan dari sistem ekonomi maupun politik,” lanjutnya.

Melansir  buku yang berjudul “Literary Criticism: An Introduction to Theory and Practice”, karya Charles  E. Bressler, patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti.. []

Penulis: Septia Annur Rizkia

 

 

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Berita

Perempuan Indonesia Merajut Solidaritas: Suara dari Akar Rumput untuk Keadilan dan Kemanusiaan

Published

on

Oleh Nurmalia Ika Widiasari, S.H., MKn (Dewan Pengurus Mitra Wacana)

Jakarta, 24 Mei 2025 — Di tengah tantangan kesetaraan gender dan ketidakadilan sosial yang masih mengemuka di Indonesia, para perempuan dari berbagai penjuru tanah air berkumpul di lantai 4 Grha Pemuda Katedral Jakarta dalam forum diskusi bertajuk “Perempuan Indonesia Merajut Solidaritas Bersama.” Acara ini merupakan serial ketiga dari Bonum Commune Forum (BCF) yang diselenggarakan oleh Keuskupan Agung Jakarta dan 5P Global Movement. Mitra Wacana hadir sebagai tamu istimewa dan duduk di barisan depan forum tersebut.

Mengusung semangat Hari Perempuan Internasional bertema “For All Women and Girls: Rights. Equality. Empowerment,” forum ini menegaskan bahwa perjuangan perempuan bukan sekadar selebrasi simbolik, melainkan panggilan untuk aksi nyata. Acara dibuka dengan sambutan hangat dan selingan humor oleh Inaya Wahid, aktivis dan seniman, yang menghidupkan suasana diskusi sejak menit pertama.

Tiga narasumber utama hadir dengan cerita dan perjuangan yang menyentuh. Sumini, pengelola hutan adat dari Aceh, membagikan kisah perjuangannya menjaga hutan dengan pendekatan damai. “Kami tidak melawan para pembakar hutan dengan kekerasan, kami ajak makan, lalu berdialog,” ungkapnya, sambil menegaskan bahwa keberlanjutan lingkungan bisa dimulai dari tindakan kecil dan konsisten.

Suster Laurentina, yang dikenal sebagai “Suster Cargo,” membagikan realitas pahit para Buruh Migran (BM) asal NTT. Ia menyinggung banyaknya BM yang meninggal di luar negeri tanpa perlindungan hukum yang memadai. “Kadang saya disebut perempuan kurang kerjaan karena urus jenazah. Tapi ini panggilan hati,” tegasnya, yang disambut tawa haru peserta ketika ia menjawab guyonan Inaya dengan spontan dan jenaka.

Sementara itu, Octavia Wuri dari Sekolah Tanpa Batas menuturkan perjuangannya mendirikan sekolah inklusif bagi anak-anak difabel dan marjinal. Ia nyaris menyerah, hingga seorang siswanya mengaku ingin bunuh diri. “Saat itu saya tahu, saya tidak bisa berhenti,” katanya, lirih namun penuh daya.

Diskusi semakin kuat ketika penanggap seperti Karlina Supeli dan Andar Nubowo menekankan pentingnya memperluas solidaritas lintas isu dan gender. Karlina menyoroti bahwa perubahan sosial bisa memakan waktu hingga 2000 tahun jika tidak ada intervensi nyata. Sedangkan Andar menyebut tiga perempuan pembicara sebagai “Power Rangers perubahan.”

Isu-isu penting seperti larangan pendirian rumah ibadah, diskriminasi Ahmadiyah, hingga pembongkaran makam juga mengemuka dalam sesi tanya jawab. Inaya Wahid merespons dengan tegas bahwa perjuangan Gusdurian adalah membela yang minoritas dan terpinggirkan, karena “mereka yang kerap dilupakan negara.”

Forum ditutup dengan pernyataan solidaritas dari peserta lintas iman, termasuk Pak Kusbini yang menyampaikan duka atas wafatnya Paus dan harapan atas pemilihan Paus Leo. “Kita mungkin tidak seiman, tapi kita sejalan dalam perjuangan kemanusiaan,” ujarnya mantap.

Kegiatan ini menjadi bukti bahwa suara perempuan dari akar rumput adalah kunci untuk membangun Indonesia yang inklusif, adil, dan berkelanjutan.

Continue Reading

Trending