Berita
Sosialisasi Pencegahan Terorisme dan Radikalisme Yang Mengeksploitasi Perempuan
Published
3 years agoon
By
Mitra Wacana
Rabu (28/9/22) mewakili perkumpulan Mitra Wacana menjadi pemantik diskusi bersama Kapolres kulonprogo yang diwakili oleh IPDA Zakaria di aula gedung kaca pemkab Kulonprogo, D.I Yogyakarta dengan topik “Sosialisasi Pencegahan Radikalisme dan Terorisme yang Mengeksploitasi Perempuan.
Pertemuan ini diselenggarakan oleh Dinsos PPA Kulonprogo bertempat di Aula Adikarta (gedung kaca) komplek pemkab Kulonprogo.
Dalam sambutannya, Yohannes Irianto, selaku Kadinsos PPA menyatakan bahwa kaum perempuan saat ini menjadi sasaran penyebaran paham radikal yang perlu diwaspadai.
Sedangkan IPDA Zakaria menyebutkan jika orang-orang yang sudah terpengaruh paham radikal cenderung menyalahkan pihak lain dan memaksakan kehendak untuk mengubah ideologi Negara sesuai keinginannya.
Dalam pertemuan yang dihadiri oleh puluhan perempuan yang berasal dari Gabungan Organisasi Wanita (GOW) se kabupaten, saya menyajikan data penelitian dari BNPT dan Mitra Wacana Yogyakarta. Pada 2019 menurut BNPT lebih dari setengah atau 59,1%, pelaku terorisme di bawah 30 tahun alias dari kalangan millenial dan generasi Z.
Sedangkan data dari Mitra Wacana menyebutkan bahwa di Kulonprogo terdapat “embrio” yang jika dibiarkan bisa mengarah pada IRET; Intoleransi, Radikalisme, Ekstremisme dan Terorisme. Hal ini tercermin dari pandangan responden yang sebagian besar melihat dunia secara “hitam-putih”, atau memposisikan dirinya paling benar sedangkan pihak lain salah.
Berita baiknya, dalam penelitian Mitra Wacana tersebut, juga terungkap jika semua responden menolak aksi terorisme, jika mati, pelakunya dianggap tidak mati syahid. Selain itu, solidaritas antar warga dalam bidang sosial dan kultural masih terjaga dengan baik. Misalnya sambatan, gotong royong, sirkeleran, kenduri dan bersih dusun. Ini artinya, insitusi sosial di tingkat masyarakat lokal dapat menjadi tameng IRET.
Dalam paparan, saya juga menyampaikan ada situasi tertentu yang menyebabkan perempuan menjadi korban IRET, yakni: Pertama, perempuan dipaksa hanya memiliki kewenangan hanya ditingkat rumah tangga saja. Akibatnya perempuan menjadi “miskin” akses sumber daya. Kedua, stigma negatif sebagai pendukung terorisme (misalnya suami menjadi napiter). Dalam beberapa kasus, terkadang seorang istri tidak mengetahui jika suami terlibat terorisme. Namun ketika suami tertangkap dan menjadi terpidana, istri yang menanggung beban stigma. Ketiga, perempuan menjadi objek seksual (terutama dalam situasi perang/konflik). Dan keempat, perempuan dituntut melahirkan banyak anak. Itulah beberapa situasi perempuan menjadi korban.
Sebagai catatan penutup, saya menyampaikan bahwa perempuan memiliki peran mencegah IRET, setidaknya di 2 ranah; Individu aka kultural dan Organisasi aka struktural. Misalnya menjadi pendidik, penyampai pesan narasi perdamaian, pendeteksi dini IRET, dan mewarnai proses pengambilan keputusan yang adil dan ramah di berbagai level, misalnya musrenbangkal. (Tnt).
Sumber foto berblangkon: Sri Lestari Dinsos PPA Kab. Kulonprogo
You may like
Berita
Mitra Wacana Dorong Pemerintah Perkuat Pelindungan bagi Pekerja Migran Indonesia
Published
4 days agoon
11 November 2025By
Mitra Wacana
Jakarta, 10 November 2025 — Mitra Wacana turut berpartisipasi aktif dalam Konsultasi Nasional tentang Akses terhadap Pelindungan Sosial yang Layak dan Berkelanjutan bagi Pekerja Migran Indonesia yang diselenggarakan di Swiss-Belresidences Kalibata, Jakarta Selatan. Kegiatan ini diinisiasi oleh Migrant Forum in Asia (MFA) bekerja sama dengan Migrant Care, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), dan Solidaritas Perempuan, dengan dukungan dari IOM melalui program Migration, Business and Human Rights in Asia (MBHR Asia) yang didanai oleh Uni Eropa dan Pemerintah Swedia.
Acara yang dihadiri oleh perwakilan pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan serikat buruh ini bertujuan untuk memperkuat advokasi dan sinergi kebijakan dalam menjamin akses perlindungan sosial bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI), baik di tahap pra-penempatan, selama bekerja di luar negeri, maupun setelah kembali ke tanah air.
Dalam sesi diskusi, berbagai isu krusial mencuat, mulai dari minimnya akses pendidikan dan lapangan kerja yang layak di dalam negeri hingga praktik perekrutan yang tidak adil dan jeratan hutang yang menjerat calon pekerja migran. Kondisi ini, menurut para peserta, memperlihatkan bagaimana kemiskinan struktural masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah.
“Ketika pemerintah tidak menyediakan akses pendidikan dan pekerjaan yang layak, masyarakat akhirnya mencari penghidupan di luar negeri. Tapi di sana pun mereka menghadapi eksploitasi dan kekerasan, bahkan ada yang tidak kembali dengan selamat,” ungkap salah satu peserta diskusi yang menyoroti rentannya posisi pekerja migran di berbagai negara penempatan.
Mitra Wacana, melalui perwakilannya Nurmalia, menegaskan pentingnya tanggung jawab negara dalam memastikan perlindungan menyeluruh bagi PMI. Ia menyoroti pentingnya kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, dan lembaga internasional agar pekerja migran dan keluarganya memperoleh jaminan sosial yang adil.
“Negara harus hadir secara konkret, tidak hanya menjadikan PMI sebagai pahlawan devisa, tetapi juga memastikan mereka terlindungi dari hulu ke hilir. Kami mendesak pemerintah untuk memperkuat kerja sama antara BPJS Ketenagakerjaan dan perwakilan Indonesia di luar negeri, agar sistem perlindungan berjalan efektif dan tidak ada lagi korban yang dipulangkan tanpa pemulihan yang layak,” tegas Nurmalia, mewakili Mitra Wacana.
Konsultasi nasional ini juga merekomendasikan penguatan kebijakan jaminan sosial lintas negara serta sistem reimbursement yang memungkinkan pekerja mendapatkan layanan kesehatan sebelum dipulangkan. Para peserta berharap hasil diskusi ini menjadi pijakan bagi advokasi regional dalam memperjuangkan kebijakan yang lebih adil, berkelanjutan, dan berpihak pada pekerja migran.
Kegiatan ditutup dengan komitmen bersama untuk memperluas jaringan advokasi dan mendorong pembentukan kebijakan yang tidak hanya melindungi pekerja migran, tetapi juga memberikan jaminan kesejahteraan bagi keluarga mereka di tanah air.








