web analytics
Connect with us

Opini

Catatan Pelajar

Published

on

Catatan. Gambar: https://pixabay.com
Windi Meilita

Windi Meilita

Oleh Windi Meilita (Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Semua manusia diciptakan dari “bahan” yang sama, proses yang sama, dengan kemampuan yang tidak sama. Label sifat yang kerap disematkan terhadap manusia merupakan hasil dari pemahaman kesepakatan umum tentang karakter manusia yang selama ini telah terkonstruk di lingkungan sosial. Misalnya, dalam percakapan sehari-hari atau dalam sebuah perkumpulan, pertemanan, bahkan lingkungan keluarga, terbentuk pemahaman mengenai sifat seseorang. Seperti ramah, sabar, pemarah, cuek, sombong, pelit, dermawan, ganjen, genit, pemalas, rajin, bodoh, pintar, gesit, dan lain sebagainya.

Dalam bahasa inggris, kata-kata di atas mungkin dikenal dengan kata sifat. Biasanya, sifat seseorang disimpulkan dari kebiasaan yang terus dilakukannya setiap hari. Kebiasaannya merespon kejadian, memahami situasi, dan aksi yang dipilih untuk menjelaskan isi pikiran.

Terkait kata bodoh dan pintar, dua kata ini sering kali ditemukan dan di dengar saat masa-masa pertumbuhan, di sekolah, lingkungan bermain, bahkan di rumah. Di lingkungan sekolah, skala yang digunakan untuk membedakan antara kata bodoh dan pintar adalah kemampuan para siswa dalam menerima pelajaran, keberanian untuk berbicara di depan, dan pengorganisasian bakat kearah akademis. Segala hal yang berada di sekolah ditinjau dari sisi akademis.

Sehingga terbentuk sebuah konsep bahwa keberhasilan seseorang ditentukan dari; sekolah apa yang ia pilih, bagaimana akreditasnya, dan bagaimana prestasi si anak di sekolah. Tentu saja hal ini tidak berlaku untuk sekolah yang mengutamakan keterampilan. Seperti teknik, tata boga, media, medis, seni, tapi kembali lagi pada stereotip berfikir yang lebih mengunggulkan keilmuan eksak di usia pertumbuhan.

Selanjutnya, di lingkungan bermain. Bodoh dan pintar adalah kata yang digunakan dalam pengambilan keputusan. Hal ini jarang sekali disadari oleh orang tua yang memiliki prioritas di bidang akademik. Bahwa lingkungan bermain justru memberikan pengalaman lebih besar dan membuka wawasan. Umumnya, bodoh adalah gambaran untuk orang yang selalu diam saat ditindas, kalah dalam bermain, dan menarik diri. Kondisi sebaliknya; bodoh merupakan label yang digunakan pada sekelompok anak yang terlalu banyak mengeksplore dunia, terjerumus masalah, atau hidup tanpa aturan. Karena itu, masa remaja dan lingkungan bermain selalu berkaitan dalam pengambilan keputusan. Sehingga kata yang lebih sering muncul untuk menggambarkan kondisi pada lingkungan bermain adalah bodoh dan bijak.

Terakhir, mengenai bodoh dan pintar di lingkungan keluarga. Skala yang digunakana untuk membandingkan adalah prestasi dan kemampuan saudara. Orang tua cenderung berharap agar anak menjadi orang sukses, berhasil, dan selalu menceritakan bagaimana masa mudanya. Harapan yang besar tersebut memunculkan kebiasaan untuk membanding-bandingkan kemampuan.

Manusia terlahir dari bahan dasar yang sama, namun memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Orang tua yang memiliki prioritas dibidang akademik, pernah memiliki mimpi tinggi yang tidak tercapai justru memberikan pengawasan ketat dan tidak jarang tindakan diskriminasi pada anak yang lebih unggul di bakat bukan prestasi. Dari konsep bakat dan prestasi inilah tercipta bodoh dan pintar.

Pada dasarnya tiga lingkungan tersebut saling berkaitan. Orang-orang yang terlibat dalam proses sosial baik di lingkungan sekolah, rumah, ataupun bermain cenderung adalah orang-orang yang sama. Bodoh atau pintar hanya kata sifat, dan tidak menentukan bagaimana masa depan seseorang. Bodoh dan pintar hanya kata sifat dan label yang diberikan seseorang berdasarkan pemahamannya mengenai kedua kata tersebut. Tidak secara mutlak menjadi kata sifat yang selalu mengekor.

Seperti halnya belajar, dalam belajar tidak ada salah atau benar. Kesalahan menyebabkan kegagalan dan kebenaran mengantarkan pada kesuksesan. Dua konsep tersebut terbentuk di lingkungan sekolah yang selalu menutut adanya kebenaran di waktu yang sudah ditentukan. Belajar adalah proses untuk menjadi tau, bukan menjadi benar.

Pengetahuan yang benar mengenai ilmu didapat dari hasil pemahaman yang dalam dan dalam waktu yang tidak dapat ditentukan. Karena itu tidak ada pelajar yang bodoh, mereka hanya memiliki kemampuan dan bakat yang berbeda. Tidak ada metode yang paling benar dan paling efektif saat belajar. Semua kembali pada diri sendiri, kembali pada pengambilan keputusan.

Data penulis
Nama                           : Windi Meilita Wiryanti
Tempat/Tanggal Lahir  : Jambi, 15 Mei
Agama                         : Islam
Jenis Kelamin              : Perempuan
Pendidikan saat ini      : UIN Sunan Kalijaga jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Peran Sastra Populer dalam Meningkatkan Literasi di Kalangan Remaja

Published

on

Penulis : Fatin Fashahah, Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas

Sastra populer sering dipandang rendah, dianggap hanya untuk hiburan, dangkal, atau terlalu komersial. Sikap seperti ini muncul dari pendapat bahwa karya populer tak setara dengan karya-karya yang biasanya dipelajari di bangku perkuliahan. Padahal, bagi banyak remaja, sastra populer justru menjadi pintu pertama untuk mulai suka membaca. Mengabaikan atau mengecilkan peran sastra populer berarti menutup kesempatan bagi generasi muda untuk jatuh cinta pada dunia tulisan.

UNESCO menyebut Indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya diangka 0,001% atau dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) dalam laman resminya juga pernah merilis hasil Riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Fakta ini menunjukkan bahwa masih rendahnya minat membaca rekreasi di banyak kelompok usia.

Namun, ketika pembaca terutama remaja diberi kebebasan memilih bacaan yang sesuai selera dan pengalaman mereka, minat membaca bisa saja meningkat. Dengan kata lain, relevansi isi buku terhadap kehidupan pembaca muda sangat menentukan apakah mereka akan terus membaca atau tidak. Sastra populer seperti buku young adult, novel roman remaja, dan cerita fantasi ringan sering kali menawarkan tema dan tokoh yang mudah dipahami remaja karena ceritanya seringkali dihubungkan dengan kehidupan remaja, sehingga mereka lebih tertarik untuk membaca.

Selain itu, sastra populer lebih mudah diakses lewat platform digital, cerita-cerita di aplikasi dan situs bacaan daring seperti Ipusnas, google play book, wattpad, karyakarsa dll. membuat remaja menemukan teks yang mereka suka kapan saja dengan mudah. Bentuk online juga mendorong interaksi pembaca bisa memberi komentar, berdiskusi, atau bahkan menulis kembali cerita mereka sendiri. Pengalaman berinteraksi seperti ini memberi dorongan kuat untuk terus membaca dan menulis. Beberapa karya yang awalnya populer di dunia maya kemudian diterbitkan secara cetak atau diadaptasi menjadi film dan serial menunjukkan bahwa bacaan populer punya peran penting dalam membangun ekosistem budaya yang lebih luas.

Penolakan terhadap sastra populer sering kali datang dari dua alasan utama. Pertama, alasan estetika, anggapan bahwa karya populer kurang bermutu secara sastra. Kedua, alasan moral atau konten bahwa beberapa cerita mengandung nilai yang dipertanyakan. Kritik seperti ini tidak salah jika tujuannya untuk memperbaiki kualitas karya. Namun, cara menanggapinya yang kurang tepat bisa membuat minat membaca remaja menjadi surut, seharusnya kita bukan melarang atau merendahkan bacaan tersebut. Akan lebih baik jika pembaca pemula diajarkan bagaimana cara membaca yang kritis. Dengan membimbing remaja membaca secara kritis, kita membantu mereka mengenali kekuatan dan kelemahan sebuah teks, sehingga pengalaman membaca menjadi lebih bermakna.

Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan minat membaca remaja diantaranya. Pertama, perpustakaan sekolah dan umum perlu menata koleksi yang seimbang baik karya klasik dan akademik berdampingan dengan bacaan populer. Pendekatan ini mengakui bahwa pembaca punya selera berbeda, dan memberi ruang bagi remaja yang sedang mencari gaya baca dan minat mereka. Kedua, guru dan pustakawan harus dilatih untuk memfasilitasi diskusi yang mengaitkan tema populer dengan konsep sastra dasar. Misalnya, dari sebuah novel populer, kita bisa mengajak pembaca membahas tokoh, alur, sudut pandang, atau pesan yang tersirat yanga terdapat di dalam novel tersebut. Langkah sederhana ini bisa mengubah bacaan ringan menjadi bahan belajar yang efektif.

Ketiga, adanya kegiatan klub baca dan lomba menulis berbasis minat yang bisa menghubungkan pembaca muda dengan mentor dan teman sebaya. Suasana komunitas yang saling mendukung membuat kegiatan membaca terasa lebih menyenangkan. Selain itu, adanya lomba menulis membuat remaja merasa diberi ruang kreatif untuk mengekspresikan dirinya. Keempat, harus ada kerja sama antara sekolah dengan platform digital. Hal ini penting untuk menyediakan akses yang aman dan terkurasi. Akses digital tanpa bimbingan bisa berisiko negatif dengan memperkenalkan konten yang kurang sesuai untuk pembaca dibawah umur. Oleh karena itu, peran pendidik dan orang tua tetap penting dalam menumbuhkan minat membaca terutama pembaca anak-anak dan remaja.

Secara budaya, sikap berhati-hati atau keraguan terhadap sastra populer sering kali membuat masyarakat melewatkan cerita-cerita yang sebenarnya dekat dengan kehidupan banyak orang, khususnya para remaja dari berbagai latar belakang. Karya populer dapat menjadi ruang untuk bereksperimen dengan bahasa, identitas, dan pengalaman sehari-hari. Ketika karya semacam ini dibahas di sekolah atau komunitas, karya tersebut berpotensi memperkaya imajinasi serta cara pandang masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. Dengan demikian, sastra populer tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga menjadi bagian dari wacana budaya yang turut membentuk cara berpikir dan berinteraksi dalam kehidupan sosial.

Kesimpulannya, alih-alih memandang sastra populer secara sebelah mata, akan lebih bermanfaat jika masyarakat mencoba melihat potensinya dalam meningkatkan minat baca dan memperkuat budaya literasi. Pendekatan yang inklusif dapat dimanfaatkan untuk menjadikan daya tarik sastra populer sebagai pintu masuk bagi pembaca pemula. Tentu saja, hal ini tetap perlu disertai dengan bimbingan dan adanya pengenalan terhadap keterampilan membaca kritis serta jenis bacaan yang lebih beragam. Dengan begitu, kebiasaan membaca tidak hanya meningkat, tetapi juga dapat mendorong perkembangan kemampuan berpikir dan berbahasa generasi muda.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending