Opini
Cerita Menjadi Pendamping Komunitas
Published
8 years agoon
By
Mitra WacanaOleh Saktyaksa Restu Baskara
Saya menjadi pendamping Komunitas di Kecamatan Kokap, Kulon Progo sejak Desember 2016 sampai sekarang. Saya mendampingi kelompok P3A (Pusat Pembelajaran Perempuan dan Anak) di 3 desa yaitu di Hargotirto (P3A Putri Menoreh), Hargorejo (P3A Sekar Melati), dan Kalirejo (P3A Anggun Rejo).
P3A Putri Menoreh di Hargotirto yang pertama terbentuk di Kokap. Isilah Putri Menoreh merujuk pada kelompok perempuan yang berada di barisan pegunungan Menoreh. Hargotirto merupakan desa di sebelah utara waduk Sermo. Di Hargotirto terdapat area wisata berupa air terjun, pemandangan alam. Di desa ini tumbuh subur tanaman buah-buahan; durian, manggis, kelapa dan enau (aren). Sebagian warganya memiliki mata pencaharian sebagai penderes dan pengolah gula serbuk.
P3A Putri Menoreh terbentuk sekitar empat (4) tahun lalu. Saat ini Bu Parimah yang menjadi ketua P3A sejak Desember 2016. Jumlah anggota P3A Putri Menoreh saat ini 18 orang. P3A, sebagai sebuah organisasi perempuan untuk tepat belajar berorganisasi, seringkali bersinggungan dengan masalah-masalah yang terjadi di desa, misalnya masalah buruh migran, perdagangan manusia, dan KDRT.
Bersama Mitra Wacana P3A mengadakan pendidikan berkelanjutan dengan bentuk OPSD (Omah Perempuan Sinau Desa), serta membangun kemitraan dengan pemerintah desa dan kecamatan untuk mengampanyekan perlindungan perempuan dan anak. P3A juga melakukan dokumentasi pendataan buruh migran dan warga yang pernah menjadi korban KDRT yang dilakukan di desa masing-masing. P3A juga bermitra dengan pemerintah desa di dalam melakukan perlindungan, pemberdayaan perempuan dan anak.
Di Hargotirto dan desa lainnya, ada organisasi pemuda yang pernah mengikuti pelatihan media untuk membuat film bertema pencegahan trafficking. Film tersebut dibuat oleh pelajar dan pemuda di tiga kecamatan (Kokap, Galur dan Sentolo) sebagai media pencegahan trafficking. Film tersebut mengajak masyarakat untuk merespon pentingnya pemahaman bahaya perdagangan orang serta pencegahannya. Hal tersebut perlu dilakukan mengingat angka pekerja migran di Kabupaten Kulon Progo relatif tinggi. Para pemuda di tiga kecamatan menyadari pentingnya kesetaraan gender, pencegahan perdagangan manusia dan perlindungan terhadap perempuan setelah P3A hadir dan memberikan pemahaman kepada mereka.
P3A bersama Mitra Wacana WRC melakukan pemahaman dan penyadaran kritis melalui diskusi rutin. Di Kalirejo ada P3A Anggun Rejo yang terbentuk sekitar 3 tahun lalu. P3A Anggun Rejo baru saja melakukan pergantian pengurus, dengan ketua Bu Titik. Anggota P3A Kalirejo berjumlah 19 orang yang tersebar di 4 pedukuhan Desa Kalirejo. Di Desa Kalirejo sudah terbit dua (2) SK Kepala Desa; Keputusan Kepala desa Kalirejo kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo nomor 13 Tahun 2015 Tentang Pembentukan Gugus Traficking dan KDRT dan Keputusan Kepala desa Kalirejo kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo Nomor 14 Tahun 2015 Tentang Pembentukan Satuan Tugas Revitalisasi Gerakan Sayang Ibu (GSI).
Desa Kalirejo mempunyai kontur tanah yang cukup curam, sehingga rentan terhadap bencana alam seperti tanah longsor. Di desa ini terdapat tambang batu andesit dan tambang emas yang dikelola masyarakat sekitar. Adanya kelompok masyarakat yang berperan di desa perlu melakukan kerja sama dengan pemerintah melalui pelaksanaan pembangunan desa sesuai UU Desa sangat dibutuhkan. Kelompok perempuan seperti P3A perlu menyalurkan aspirasinya melalui musyawarah dusun, musyawarah desa, yang akan dituangkan dalam Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDes) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) serta APBDes.
Selanjutnya P3A Sekar Melati desa Hargorejo terbentuk sekitar 2 tahun yang lalu. Pada 2017 dilaksanakan musyawarah pergantian pengurus dan terpilihlah Ibu Siti Saudah menjadi ketua baru menggantikan Bu Suprihatin. P3A Sekar Melati sudah memiliki Surat Keputusan Kepala Desa Nomor 70 tahun 2007 tentang Pembentukan Pusat pembelajaran Perempuan dan Anak (P3A) Sekar Melati Desa Hargorejo. Dengan surat keputusan Kepala desa maka P3A diakui dan disahkan sebagai organisasi perempuan. Di desa Hargorejo sudah terbentuk Forum Penanganan Korban Kekerasan (FPKK) yang menangani korban kekerasan melalui koordinasi dan komunikasi terpadu antar elemen desa.
Peran P3A Sekar Melati cukup penting sebagai salah satu subyek pembangunan di desa. Mengingat, perempuan sebagai kelompok yang rentan dan terpinggirkan maka keerja-kerja untuk membangun desa yang mensyaratkan kerjasama antar kelompok seperti PKK, karang taruna, organisasi keagamaan, organisasi sosial, dan aparat desa perlu dilakukan.
Selain itu juga ada TBM (Taman Bacaan Masyarakat) yang terletak di tiga (3) P3A Kecamatan Kokap. TBM ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan masyarakat. Kehadiran TBM ini juga mewarnai kegiatan literasi di desa. Kebiasaan membaca yang belum merata bisa terbangun dengan mengakses buku bacaan. Dalam praktiknya, ketika ada pertemuan P3A, para peserta mengajak anak-anak membaca, menggambar dan melukis menggunakan referensi buku TBM.
Inilah cerita pengalaman mendampingi kelompok P3A di kecamatan Kokap beserta dinamikanya. Saya sendiri merasa senang sekaligus tertantang untuk bersama-sama belajar dan berjuang bersama P3A. Harapan saya sebagai pendamping, P3A mampu menjalankan perananya sebagai kelompok perempuan yang mandiri di dalam melakukan pembelajaran, perlindungan dan pemberdayaan perempuan, sehingga terlibat di dalam pembangunan desa. P3A bisa menjadi salah satu pelopor perubahan di tingkat desa untuk menciptakan kesetaraan, perlindungan dan kesejahteraan masyarakat desa.
You may like
Opini
Nasib Manuskrip Pasca Banjir: Upaya Penyelamatan dan Restorasi Budaya
Published
1 week agoon
8 December 2025By
Mitra Wacana

Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas2
Ungkapan “Sakali aia gadang, sakali tapian barubah.” bukan hanya sekedar pepatah Minangkabau, melainkan juga memori ekologis masyarakat terhadap alam. Banjir bukan hanya sekedar peristiwa alam, melainkan bagian dari sejarah yang terus berulang dan meninggalkan bekas pada masyarakat. Namun, perubahan yang ditinggalkannya bukan hanya pada bentang alam dan kehidupan sosial, tetapi juga pada jejak intelektual masa lalu masyarakat, salah satunya terekam dalam manuskrip.
Manuskrip merupakan tulisan yang ditulis menggunakan tangan pada lembaran-lembaran kertas, yang didalamnya berisi pemikiran orang-orang pada masa lampau. Sejalan dengan Baried (1985:54) manuskrip adalah medium teks berbentuk konkret dan nyata. Di dalam Manuskrip ditemukan tulisan-tulisan yang merupakan sebuah simbol bahasa untuk menyampaikan sesuatu hal tertentu. Manuskrip dapat dikatakan sebagai salah satu warisan nenek moyang pada masa lampau, berbentuk tulisan tangan yang mengandung berbagai pemikiran dan perasaan tercatat sebagai perwujudan budaya masa lampau. Sehingga akan sayang sekali jika pemikiran nenek moyang kita hilang akibat penanganan yang kurang tepat.
Manuskrip-manuskrip yang tersimpan di surau, rumah gadang, perpustakaan nagari, maupun kediaman para ninik mamak sering kali menjadi korban dari bencana alam, salah satunya banjir. Karena setelah banjir tersebut mulai surut, nasib manuskrip itu dipertaruhkan. Ketika banjir menyapu perkampungan, kertas-kertas manuskrip itu basah oleh air, menyebabkan tulisan pada teks-nya bisa saja pudar. Pada titik inilah penanganan awal menjadi penentu apakah sebuah naskah masih mungkin diselamatkan atau justru rusak.
Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui cara penanganan darurat manuskrip basah. Di beberapa tempat, manuskrip yang terendam justru dijemur langsung di bawah terik matahari yang bisa menyebabkan lembarannya menempel. Ada pula yang mengeringkannya di dekat api untuk mempercepat proses pengeringan, padahal suhu panas justru membuat tinta luntur dan kertas mengerut. Bahkan dalam situasi panik, sebagian manuskrip dibersihkan dengan kain kasar atau disikat karena dianggap kotor, yang pada akhirnya merobek halaman-halaman yang sebenarnya masih mungkin diselamatkan. Kecerobohan kecil seperti itu sering kali menjadi perbedaan antara manuskrip yang dapat bertahan dan punah.
Untuk itu, perlunya peran dan dukungan pemerintah dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya penanganan dan perawatan manuskrip yang benar, karena manuskrip seringkali berada di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, detik-detik pertama setelah air surut sepenuhnya bergantung pada pengetahuan masyarakat setempat. Pemerintah dapat melibatkan masyarakat baik individu maupun lembaga dalam merawat dan melestarikan manuskrip.
Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan edukasi tentang perawatan manuskrip yang baik dan benar sehingga manuskrip yang ada seringkali rusak sebelum sempat di digitalisasi. Padahal langkah-langkah sederhana seperti memisahkan halaman yang menempel, mengeringkan naskah di tempat teduh dan berangin, atau menyerap air dengan tisu tanpa tekanan berlebihan, bisa menjadi penyelamat sebelum tim konservator datang. Edukasi inilah yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah daerah, perpustakaan, dan lembaga kebudayaan.
Bencana banjir sudah berulang kali terjadi, bahkan dari dahulu kala. Hal tersebut seharusnya menjadi pengingat bahwa pengetahuan mengenai perawatan naskah manuskrip sangat penting, tidak hanya bagi satu pihak saja tetapi diperlukan kerjasama dari berbagai pihak. Kerja sama antara pemerintah, akademisi, komunitas budaya, dan masyarakat adalah kunci dalam menjaga keberlangsungan manuskrip. Pemerintah dapat mengambil peran sebagai penyedia edukasi, tentang bagaimana penanganan darurat terhadap manuskrip, serta menyediakan peralatan yang menunjang penyelamatan manuskrip. Sementara masyarakat, sebagai pihak terdekat dengan naskah, menjadi penentu apakah pengetahuan teoretis itu dapat dijalankan dengan benar di lapangan.
Jika manuskrip adalah kunci yang menyimpan ingatan suatu peradaban, maka penyelamatannya adalah urusan berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga, masyarakat adat, dll. Banjir boleh mengubah bentuk geografis daerah, tetapi bukan berarti ia bisa menghapus jejak pemikiran para leluhur yang sudah diwariskan begitu lama. Karena pada akhirnya, yang membuat suatu masyarakat bertahan bukan hanya rumah dan infrastruktur yang diperbaiki, ataupun peradaban yang dibangun ulang, tetapi juga tentang cerita, gagasan, ilmu dan identitas yang mereka wariskan melalui lembaran-lembaran kertas tua.

Mitra Wacana Hadiri Rapat Koordinasi Organisasi Kemasyarakatan Kabupaten Bantul

Mitra Wacana Ikuti Orasi Budaya Hari HAM FISB UII





