Opini
Disiplin Positif : Mendisiplinkan Anak Tanpa Kekerasan
Published
3 years agoon
By
Mitra Wacana

Ruliyanto
Semua orang tua ingin anaknya tumbuh sebagai pribadi yang disiplin dan bertanggung jawab. Setiap orang memiliki caranya masing-masing dalam membesarkan dan mendidik anak-anaknya. Perlu kita ketahui bahwa pola asuh ini sangat mempengaruhi kepribadian anak. Kita sering berpikir bahwa membesarkan anak dengan perilaku kasar, suara keras, ekspresi wajah yang kaku dan mengintimidasi, atau hukuman fisik. Mereka menganggap itu adalah cara terbaik untuk mendisiplinkan anak. Anggapan tersebut ternyata menyesatkan bahkan berdampak negatif bagi perkembangan fisik dan mental anak. Anak-anak mengalami trauma yang meluas hingga dewasa. Efek yang sering ditimbulkan dari pola asuh ini dapat membuat anak merasa minder, takut salah, bahkan lebih memilih menyendiri daripada bersosialisasi. Tentu saja, efek negatif ini tidak boleh terjadi pada anak-anak kita. Kita perlu mulai mengubah pola pengasuhan menjadi lebih positif.
Disiplin sendiri berasal dari bahasa latin yang berarti belajar. Oleh karena itu, ketika Anda mendisiplinkan anak, Anda juga harus belajar bagaimana cara mendidik anak yang benar. Bagaimana anda mengerti kebutuhan dan kondisi anak sampai dengan memberi contoh kepada mereka. Anak-anak adalah peniru ulung, mereka dapat menyimpan semua yang mereka lihat di alam bawah sadarnya tanpa menyaring mana yang benar atau salah. Memori yang tersimpan kemudian dapat digunakan berdasarkan apa yang dilihatnya. Oleh karena itu, lebih baik kita membekali anak-anak dengan teladan yang baik dan positif.
Disiplin positif adalah cara penerapan disiplin tanpa kekerasan dan ancaman, yang dalam praktiknya berarti orang tua dan anak berkomunikasi dan diajarkan untuk memahami konsekuensi dari perilaku mereka. Selain itu, disiplin positif juga mengajarkan tanggung jawab dan rasa hormat kepada anak dalam menghadapi lingkungannya. Jadi disiplin positif adalah cara penerapan disiplin yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran dan memberdayakan anak untuk melakukan sesuatu tanpa suap, ancaman atau hukuman.
Contoh pengaruh disiplin orang tua yang positif adalah ketika anak menyadari bahwa mereka nyaman membersihkan kamar mereka, bukan karena orang tua menghukum atau memuji mereka. Menerapkan disiplin positif membutuhkan kesepakatan dan aturan yang konsisten, serta pengendalian emosi yang baik. Hal-hal tersebut dapat dimulai sejak dini agar anak memiliki pengalaman yang positif untuk tumbuh kembangnya.
You may like
Opini
Nasib Manuskrip Pasca Banjir: Upaya Penyelamatan dan Restorasi Budaya
Published
1 week agoon
8 December 2025By
Mitra Wacana

Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas2
Ungkapan “Sakali aia gadang, sakali tapian barubah.” bukan hanya sekedar pepatah Minangkabau, melainkan juga memori ekologis masyarakat terhadap alam. Banjir bukan hanya sekedar peristiwa alam, melainkan bagian dari sejarah yang terus berulang dan meninggalkan bekas pada masyarakat. Namun, perubahan yang ditinggalkannya bukan hanya pada bentang alam dan kehidupan sosial, tetapi juga pada jejak intelektual masa lalu masyarakat, salah satunya terekam dalam manuskrip.
Manuskrip merupakan tulisan yang ditulis menggunakan tangan pada lembaran-lembaran kertas, yang didalamnya berisi pemikiran orang-orang pada masa lampau. Sejalan dengan Baried (1985:54) manuskrip adalah medium teks berbentuk konkret dan nyata. Di dalam Manuskrip ditemukan tulisan-tulisan yang merupakan sebuah simbol bahasa untuk menyampaikan sesuatu hal tertentu. Manuskrip dapat dikatakan sebagai salah satu warisan nenek moyang pada masa lampau, berbentuk tulisan tangan yang mengandung berbagai pemikiran dan perasaan tercatat sebagai perwujudan budaya masa lampau. Sehingga akan sayang sekali jika pemikiran nenek moyang kita hilang akibat penanganan yang kurang tepat.
Manuskrip-manuskrip yang tersimpan di surau, rumah gadang, perpustakaan nagari, maupun kediaman para ninik mamak sering kali menjadi korban dari bencana alam, salah satunya banjir. Karena setelah banjir tersebut mulai surut, nasib manuskrip itu dipertaruhkan. Ketika banjir menyapu perkampungan, kertas-kertas manuskrip itu basah oleh air, menyebabkan tulisan pada teks-nya bisa saja pudar. Pada titik inilah penanganan awal menjadi penentu apakah sebuah naskah masih mungkin diselamatkan atau justru rusak.
Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui cara penanganan darurat manuskrip basah. Di beberapa tempat, manuskrip yang terendam justru dijemur langsung di bawah terik matahari yang bisa menyebabkan lembarannya menempel. Ada pula yang mengeringkannya di dekat api untuk mempercepat proses pengeringan, padahal suhu panas justru membuat tinta luntur dan kertas mengerut. Bahkan dalam situasi panik, sebagian manuskrip dibersihkan dengan kain kasar atau disikat karena dianggap kotor, yang pada akhirnya merobek halaman-halaman yang sebenarnya masih mungkin diselamatkan. Kecerobohan kecil seperti itu sering kali menjadi perbedaan antara manuskrip yang dapat bertahan dan punah.
Untuk itu, perlunya peran dan dukungan pemerintah dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya penanganan dan perawatan manuskrip yang benar, karena manuskrip seringkali berada di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, detik-detik pertama setelah air surut sepenuhnya bergantung pada pengetahuan masyarakat setempat. Pemerintah dapat melibatkan masyarakat baik individu maupun lembaga dalam merawat dan melestarikan manuskrip.
Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan edukasi tentang perawatan manuskrip yang baik dan benar sehingga manuskrip yang ada seringkali rusak sebelum sempat di digitalisasi. Padahal langkah-langkah sederhana seperti memisahkan halaman yang menempel, mengeringkan naskah di tempat teduh dan berangin, atau menyerap air dengan tisu tanpa tekanan berlebihan, bisa menjadi penyelamat sebelum tim konservator datang. Edukasi inilah yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah daerah, perpustakaan, dan lembaga kebudayaan.
Bencana banjir sudah berulang kali terjadi, bahkan dari dahulu kala. Hal tersebut seharusnya menjadi pengingat bahwa pengetahuan mengenai perawatan naskah manuskrip sangat penting, tidak hanya bagi satu pihak saja tetapi diperlukan kerjasama dari berbagai pihak. Kerja sama antara pemerintah, akademisi, komunitas budaya, dan masyarakat adalah kunci dalam menjaga keberlangsungan manuskrip. Pemerintah dapat mengambil peran sebagai penyedia edukasi, tentang bagaimana penanganan darurat terhadap manuskrip, serta menyediakan peralatan yang menunjang penyelamatan manuskrip. Sementara masyarakat, sebagai pihak terdekat dengan naskah, menjadi penentu apakah pengetahuan teoretis itu dapat dijalankan dengan benar di lapangan.
Jika manuskrip adalah kunci yang menyimpan ingatan suatu peradaban, maka penyelamatannya adalah urusan berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga, masyarakat adat, dll. Banjir boleh mengubah bentuk geografis daerah, tetapi bukan berarti ia bisa menghapus jejak pemikiran para leluhur yang sudah diwariskan begitu lama. Karena pada akhirnya, yang membuat suatu masyarakat bertahan bukan hanya rumah dan infrastruktur yang diperbaiki, ataupun peradaban yang dibangun ulang, tetapi juga tentang cerita, gagasan, ilmu dan identitas yang mereka wariskan melalui lembaran-lembaran kertas tua.

Mitra Wacana Hadiri Rapat Koordinasi Organisasi Kemasyarakatan Kabupaten Bantul

Mitra Wacana Ikuti Orasi Budaya Hari HAM FISB UII







