web analytics
Connect with us

Opini

Toleransi Keberagaman

Published

on

Mitra wacana

Ruliyanto

Seluruh umat muslim di dunia dengan suka cita menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Kita berlomba-lomba dalam kebaikan untuk mendapatkan pahala yang berlimpah di bulan yang suci ini. Akan tetapi sering sering sekali kita mendengar berita tentang aksi-aksi main hakim sendiri dari sekelompok masyarakat yang melakukan sweeping. Mereka melakukan sweeping mulai dari mendatangi rumah makan yang buka di siang hari agar menutupnya atau menyampaikan keberatan atas simbol-simbol keagamaan lain dengan dalih toleransi dalam beragama.

Sebetulnya apa sih yang dimaksud dengan toleransi dalam beragama ? Dilansir dari laman Kementerian Agama Republik Indonesia yang dimaksud dengan toleransi beragama adalah sikap saling menghormati, menghargai setiap keyakinan orang, tidak memaksakan kehendak dan menghina agama lain dengan alasan apapun.

Dari devinisi tersebut sangat jelas disebutkan bahwa sikap toleransi yang harus kita tunjukkan dalam bermasyarakat. Setiap orang harus saling menghargai dan menghormati orang lain yang memiliki kepercayaan atau keyakinan yang berbeda dengan kita. Kita tidak bisa memaksakan kehendak kita agar orang lain mengikuti apa yang kita “anggap” benar. Negara telah menjamin kebebasan beragama yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia 1945 pasal 29 ayat 2 yang berbunyi : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

Tingkat toleransi kita dalam beragama menjadi barometer seberapa dewasa kita dalam menjaga kerukunan umat beragama. Bhineka Tunggal Ika sebagai moto Indonesia harus terus diejawantahkan dalam kehidupan sehari hari. Moto tersebut harus tercermin dalam setiap pola pikir, pola laku dan pola tindakan dalam bermasyarakat. Setiap warga masyarakat yang berkesadaran kebhinekaan harus terwujud dalam cara pandang, sikap dan perilaku untuk menerima, menghargai dan saling menjaga keragaman dilingkungan kita.

Untuk menjaga keharmonisan antar umat beragama dapat kita lakukan dengan membuka komunikasi antar umat beragama. Kita semua tahu bahwa komuniksi merupakan cara yang ampuh untuk lebih mengerti satu sama lain baik secara pribadi maupun kelompok / golongan. Komunikasi menjadi poin penting yang harus dilakukan apabila kita ingin menaikkan level kedewasaan kita dalam beragama. Komunikasi antar umat beragama harus sering dipupuk dan dilestarikan. Dengan komunikasi tersebut kita akan lebih memahami dan menengerti satu sama lain tanpa memaksakan kehendak kita untuk menciptakan keharmonisan dalam keberagaman.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

Dasar-Dasar Ilmu Hukum (2) : Urgensi, Pengertian dan Kaidah Hukum

Published

on

Adam Tri Saputra
Kader Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Haluoleo Kendari.

Dewasa ini, diera kompleksitas kehidupan umat manusia, keberadaan hukum ditengah-tengah masyarakat tentu sangat dibutuhkan. Selain sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan, kebahagiaan, dan kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, hukum juga bisa menjadi instrumen dalam mewujudkan masyarakat yang maju dan sejahtera _(tool of social engineering)_ dalam berbagai aspek, termasuk dalam aspek sosial, ekonomi, dan politik.

 

Secara filosofis historis, keberadaan hukum ditengah-tengah masyarakat memang tidak dapat berdiri sendiri. Artinya, hukum memiliki relasi yang erat dengan kehidupan masyarakat itu sendiri. Berkaitan dengan ini, kita mengenal adagium yang berbunyi Ubi Societas Ibi Ius (dimana ada masyarakat disitu ada hukum). Dalam kenyataannya, hukum senantiasa mengikuti perkembangan pola perilaku yang ada dalam masyarakat, begitupun sebaliknya. Menurut Drs. Sudarsono, S.H., Keterhubungan antara hukum dan masyarakat bertalian erat dengan adanya beberapa kebutuhan dasar manusia yang harus dilindungi oleh hukum. Diantaranya adalah kebutuhan fisiologis (makan-minum), kebutuhan keamanan, kerja sama, kehormatan diri, dan kebutuhan eksistensial. (Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, 1991 : hal. 46).

 

Lebih lanjut, Sudikno Mertokusumo dalam bukunya berjudul Mengenal Hukum Suatu Pengantar mengetengahkan bahwa sejatinya manusia adalah makhluk yang sepanjang hidupnya dibarengi oleh berbagai macam kepentingan. Dan konsekuensi logis sebagai penyandang kepentingan, manusia menginginkan agar kepentingan-kepentingannya terlindungi dari bahaya yang mengancamnya. Oleh karena itu dibutuhkan adanya hukum atau pedoman hidup yang bisa mengatur secara proporsional kehidupan masyarakat, hal ini dilakukan untuk menghindari adanya tingkah laku seorang manusia yang secara potensial maupun aktual merugikan manusia lain. (Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, 2010 : 6).

 

Berdasarkan urgensi yang telah diuraikan diatas, kita bisa menarik suatu konklusi dengan mengartikan hukum sebagai sekumpulan pedoman hidup yang mengatur tata tertib suatu masyarakat secara seimbang dengan tujuan melindungi kepentingan masyarakat yang ada. Berkaitan dengan hal ini, Sudikno menjelaskan bahwa hukum adalah keseluruhan kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dengan suatu sanksi bagi yang melanggarnya. Lebih lanjut, hukum menurut Jeffrey Brand adalah aturan yang disepakati secara bersama untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya. (Jeffrey Brand, Philosphy Of Law, 1976 : hal. 58).

 

Menurut Drs. C. Utrecht, S.H., Hukum adalah himpunan peraturan yang berisi perintah-perintah dan larangan-larangan yang mengurus tata tertib suatu masyarakat yang harus ditaati oleh masyarakat tersebut. Pengertian ini hampir sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Rosceo Pound yang mengartikan hukum sebagai keseluruhan norma-norma yang mengikat hubungan kepentingan antar manusia dalam masyarakat. Dalam kenyataannya memang, ada banyak sekali definisi hukum dari para ahli yang mewarnai perkembangan ilmu hukum, namun para ahli tersebut juga memberikan definisi yang berbeda-beda. Sehingga tidak ada satu definisi yang bisa diafirmasi secara mutlak sebagai definisi tunggal tentang hukum.

 

Sebagaimana yang telah di uraikan sebelumnya, bahwa untuk mewujudkan kondisi masyarakat yang tertib dan berkeadilan, dibutuhkan suatu pedoman hidup atau kaidah sosial yang disepakati secara bersama-sama sebagai patokan dalam bertingkah laku. Pada hakikatnya, kaidah sosial merupakan perumusan suatu pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seharusnya dilakukan dan sikap yang tidak seharusnya dilakukan dalam masyarakat. (Soedjono Dirjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, 1987 : hal. 9). Dalam kehidupan masyarakat, paling tidak ditemukan empat kaidah sosial, masing-masing adalah kaidah agama, kaidah kesusilaan, kaidah kesopanan, dan kaidah hukum. Bila kaidah agama dan kaidah kesusilaan bersifat otonom (berasal dari dalam diri manusia), maka kaidah kesopanan dan kaidah hukum bersifat heteronom (berasal dari luar diri manusia).

 

Secara sederhana, ada dua alasan mengapa kaidah hukum masih dibutuhkan padahal sudah ada tiga kaidah sosial sebelumnya. Alasan pertama, sanksi kaidah sosial lainnya (kaidah agama, kaidah kesusilaan, dan kaidah kesopanan) dianggap kurang tegas dan kurang dirasakan secara langsung. Dimana disisi lain sanksi adalah elemen esensial dalam upaya menegakkan hukum. Atas dasar kelemahan ketiga kaidah sosial tersebut, sehingga kaidah hukum diperlukan agar kepatuhan masyarakat terhadap hukum dapat terimplementasi secara optimal. Sebagaimana adagium obedientia est legis essential (kepatuhan merupakan inti dari hukum). Alasan yang kedua adalah kaidah hukum dibutuhkan secara normatif untuk melindungi kepentingan pribadi dan masyarakat secara proporsional. (Dasar-Dasar Ilmu Hukum, 2021 : hal. 12).

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending