web analytics
Connect with us

Opini

25 Juta Jiwa Jadi Korban Perdagangan manusia

Published

on

Pegiat Mitra Wacana

   Wahyu Tanoto

Oleh Wahyu Tanoto

Perdagangan manusia adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang maha serius dan bersifat global. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), perdagangan manusia adalah “perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang dengan cara seperti ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk lainnya. Pemaksaan, penculikan, penipuan atau penipuan untuk tujuan eksploitasi.” Eksploitasi tersebut dapat berupa kerja paksa, perbudakan, pelacuran, atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya.

Rumit dan Multidimensi

Perdagangan manusia adalah masalah yang terbilang rumit dan multidimensi. Pelakunya boleh jadi berasal dari berbagai latar belakang, termasuk individu, kelompok, atau bahkan organisasi. Korban perdagangan manusia juga berasal dari berbagai latar belakang, termasuk laki-laki, perempuan, dan anak-anak.

Merujuk United Office on Drugs and Crime (UNODC) dan International Labour Office (ILO), terdapat hampir 25 juta korban; perempuan, laki-laki dan anak-anak di seluruh dunia untuk tujuan eksploitasi seksual dan kerja paksa. Karenanya, perdagangan manusia merupakan pelanggaran berat terhadap martabat manusia dan menargetkan kelompok rentan seperti migran, serta pengungsi pada khususnya. Salah satu tren yang paling memprihatinkan adalah meningkatnya jumlah anak-anak yang menjadi korban, meningkat tiga kali lipat dalam 15 tahun. Kejahatan ini dilaporkan menghasilkan lebih dari $150 miliar per tahun di seluruh dunia. Hal ini semakin dianggap sebagai masalah keamanan global karena memicu korupsi, migrasi tidak teratur, dan terorisme.

Pada 2023, Indonesia masih dihadapkan dengan tantangan besar dalam mengatasi kasus Tindak Pidana Perdagangan manusia (TPPO). Menurut data yang dihimpun oleh Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), mencatat dari tahun 2020 sampai dengan tahun 2022, terdapat 1.418 kasus dan 1.581 korban TPPO yang dilaporkan. Dari data tersebut  menunjukkan sebanyak 96% korban perdagangan orang adalah perempuan dan anak

Bahkan, yang paling gres sebanyak 1.047 mahasiswa dari 33 universitas di Indonesia diduga menjadi korban eksploitasi kerja dengan modus magang di Jerman (ferienjob) pada Oktober sampai Desember 2023. Diadaptasi dari Tempo.co, perihal kronologi kejadiannya, para mahasiswa mendapat sosialisasi dari CVGEN dan PT. SHB. Mereka dibebankan biaya pendaftaran sebesar Rp 150.000, dan membayar 150 Euro untuk membuat LOA (Letter of Acceptance).

Dampak yang mengerikan

Perdagangan manusia memiliki dampak yang menghancurkan bagi korban. Mereka, para korban perdagangan manusia kerapkali mengalami kekerasan fisik, psikologis, seksual (termasuk di ranah luring). Mereka juga mengalami kerugian ekonomi dan sosial.

Meskipun perdagangan manusia merupakan masalah yang bersifat global, namun, hal ini sering kali terlupakan dan luput dari perhatian. Ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap ketidaktahuan masyarakat tentang perdagangan manusia, termasuk: (1) Perdagangan manusia sering terjadi di belakang layar dan sulit dideteksi; (2) Korban perdagangan manusia kerap takut untuk bersuara dan melapor; (3) Masyarakat sering tidak menyadari bahwa perdagangan manusia sebagai masalah serius yang bisa menimpa siapa saja; (4) Peraturan perundangan-undangan dan kebijakan belum sepenuhnya dipahami oleh semua lapisan masyarakat, dan (5) Bentuk dan upaya pencegahan biasanya  dianggap seremonial.

Upaya Negara

Untuk mengatasi masalah perdagangan manusia, diperlukan upaya dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga internasional, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat umum. Upaya-upaya tersebut diantaranya mencakup: 1) Peningkatan kesadaran masyarakat tentang perdagangan manusia, 2) Peningkatan dukungan bagi korban perdagangan manusia.  3) Peningkatan upaya penegakan hukum untuk memerangi perdagangan manusia.

Sebagaimana diketahui, pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk menangani masalah perdagangan manusia. Indonesia menetapkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan manusia. Undang-undang tersebut didukung oleh pembentukan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan manusia melalui ditetapkannya Peraturan Presiden No. 69 Tahun 2008.

Meskipun begitu, masih banyak hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah perdagangan manusia di Indonesia. Pemerintah memiliki kewajiban mengoptimalkan pencegahan, pemantauan berkala, mengimplementasikan penegakan hukum, dan berkolaborasi dengan warga masyarakat demi meningkatnya kesadaran tentang kerentanan, bahaya dan dampak perdagangan manusia. Hadirnya organisasi masyarakat sipil yang konsen terhadap isu perdagangan manusia memang relatif belum massif, namun, pemerintah perlu memberikan apresiasi terhadap mereka yang telah berkontribusi-memiliki kepedulian-untuk memerangi perdagangan orang. ***

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Menertawakan Kekuasaan Lewat Bunyi: Analisis Estetika Kontekstual Cerpen Dodolitdodolitdodolibret

Published

on

Oleh: Dhia Qatrunnada Afiluman
Dalam dunia sastra Indonesia kontemporer, Seno Gumira Ajidarma dikenal bukan hanya sebagai penulis yang peka terhadap realitas sosial, tetapi juga sebagai seniman kata yang kerap menjungkirbalikkan logika narasi demi mengeksplorasi makna yang lebih dalam. Salah satu cerpen terkenalnya, Dodolitdodolitdodolibret, adalah contoh nyata bagaimana absurditas, bunyi, dan humor bisa menjadi alat yang ampuh untuk menertawakan kekuasaan yang membatu, terutama kekuasaan yang menjelma dalam bentuk spiritualisme tanpa makna.

Cerpen ini berkisah tentang Kiplik, seorang tokoh yang merenungkan makna dari doa yang benar. Ia mempertanyakan bagaimana mungkin seseorang dapat mencapai “berjalan di atas air” hanya dengan berdoa, sebagaimana diceritakan dalam dongeng yang ia dengar. Namun alih-alih menolak logika spiritual itu, Kiplik justru memperdalam “ilmu berdoa”, sebuah proses yang semakin absurd dan ritualistik. Ia mengajarkan bahwa agar doa berhasil, gerakannya harus tepat, ucapannya tidak keliru, dan waktunya sesuai. Ia pun akhirnya dikenal sebagai Guru Kiplik, sang pengajar “cara berdoa yang benar.”

Namun yang menjadikan cerpen ini luar biasa bukan sekadar premisnya, melainkan bagaimana Seno menggunakan bunyi absurd dalam judul cerpennya dodolitdodolitdodolibret, untuk membongkar absurditas sistem kepercayaan yang kehilangan esensi. Bunyi ini muncul seperti mantra, tidak bisa dijelaskan artinya, namun dipercayai memiliki kekuatan. Di sinilah estetika bunyi menjadi strategi naratif yang kritis. Bunyi-bunyi kosong ini mengejek sistem spiritual atau ideologis yang memaksa ketaatan pada simbol tanpa menjelaskan substansi di baliknya.

Cerpen ini bekerja seperti cermin jenaka yang memantulkan wajah serius para pemuja “doa yang benar.” Lewat Kiplik, Seno menyindir betapa masyarakat kerap mengagung-agungkan tata cara, upacara, dan formula, tetapi melupakan makna. Ritual menjadi teater, dan keyakinan menjadi pertunjukan formal. Guru Kiplik tidak pernah menyebut dirinya nabi, namun dielu-elukan, dimintai izin untuk diikuti, bahkan dipuja seolah ia sumber keselamatan. Seno menghadirkan kritik halus terhadap bagaimana kekuasaan spiritual sering kali dibentuk oleh kharisma dan kebutuhan kolektif akan kepastian, bukan oleh makna sejati yang dirasakan.

Menariknya disini, Seno tidak menyampaikan kritiknya dengan murka atau agitasi. Ia menggunakan humor, ironi, dan absurditas. Dalam satu bagian akhir cerpen, sembilan murid Guru Kiplik yang berhasil “berdoa dengan benar” justru berlari-lari di atas air sambil berteriak panik karena lupa cara berdoa yang benar. Seno menyisipkan pertanyaan mendalam dalam kelucuan itu: apakah yang kita cari dari kekuatan spiritual? Ketenangan, keselamatan, atau sekadar rasa bahwa kita “berada di jalur yang benar”? Dan betapa mudahnya “doa” menjadi beban, bukan pembebasan, jika dimaknai hanya sebagai aturan, bukan relasi batin.

Melalui estetika bunyi dan narasi yang ditenun dari absurditas, Dodolitdodolitdodolibret menghadirkan refleksi tentang kekuasaan: bukan hanya yang berwujud negara atau agama, tapi juga kekuasaan simbol dan kepercayaan yang hidup dalam pikiran kolektif. Ia menertawakan, bukan menghina kekuasaan itu. Tertawa dalam cerpen ini bukan sekadar hiburan, tetapi bentuk resistensi halus, sekaligus pengingat bahwa ketika makna dikunci oleh kekuasaan simbolik, suara manusia akan tetap mencari celah untuk menyelinap keluar, entah lewat satire, entah lewat bunyi tak bermakna: dodolitdodolitdodolibret.

Continue Reading

Trending