Opini
Estetika Luka dan Perlawanan dalam Puisi “Duri di Balik Janji” Karya Nada Aura Syakilla
Published
4 months agoon
By
Mitra Wacana
oleh : Ferdi Ardian Saputra
Duri di Balik Janji
Oleh: Nada Aura Syakilla
Kata manis yang kau ucap di hati
Seperti angin lembut di musim pagi
Namun kini terasa getir dan hampa
Karena di balik janji kau sisipkan dusta.
Kau menjauh tanpa kata
Meninggalkan jejak luka yang sangat mendalam
Di mana tawa yang dulu kita cipta?
Kini hanya bayang-bayang kelam.
Kau sembunyikan pisau di balik senyum
Menusuk perlahan tanpa peringatan
Kepercayaan yang dulu utuh dan teguh
Kini berserak hancur tak beraturan
Namun, dari pengkhianatan ini
Aku belajar untuk bangkit kembali
Meski luka menyisa dalam hati
Kau takkan lagi menghancurkan diri ini
Puisi adalah medium yang tak hanya menyuarakan isi hati, tetapi juga membingkai emosi dalam lapisan estetika yang penuh makna. Dalam puisi “Duri di Balik Janji” karya Nada Aura Syakilla, pengalaman emosional yang getir dikemas dalam bentuk yang halus, menciptakan resonansi mendalam bagi pembaca. Nada membawa kita pada perjalanan batin yang menyakitkan, namun justru melalui luka itu, keindahan dan keteguhan ditampilkan secara subtil dan menggugah.
Puisi ini dibuka dengan metafora yang terasa manis dan lembut—“kata manis yang kau ucap di hati / seperti angin lembut di musim pagi.” Namun kelembutan ini segera dibenturkan dengan kenyataan bahwa di balik janji itu ternyata tersembunyi dusta. Keindahan awal hanya menjadi gerbang menuju ironi yang lebih dalam. Estetika puisi ini bekerja melalui kontras: antara harapan dan pengkhianatan, antara senyum dan luka. Dalam ruang estetikanya, puisi ini seolah mengajak pembaca untuk turut merasakan perih yang perlahan namun nyata.
Nada tidak bermain dengan diksi rumit. Ia menyusun larik-larik yang lugas, namun efek emosionalnya justru lebih kuat karena kesederhanaannya. Baris “kau sembunyikan pisau di balik senyum” adalah contoh bagaimana simbol digunakan untuk menyampaikan penderitaan secara tidak langsung namun menghujam. Pisau di balik senyum bukan hanya pengkhianatan, tapi juga metafora dari dunia yang terlihat aman di permukaan namun menyimpan luka dalam diam. Estetika simbolik ini memperlihatkan bagaimana tubuh dan rasa bekerja dalam puisi, dan bagaimana keduanya tidak selalu diungkap secara eksplisit.
Melalui struktur yang mengalir, puisi ini membentuk semacam gerak batin: dari harapan, luka, hingga pemulihan. Bukan pemulihan yang gegap gempita, tapi pemulihan yang sunyi dan terukur. Bait terakhir—“aku belajar untuk bangkit kembali”—menjadi klimaks emosional sekaligus etis. Di titik ini, pembaca tidak hanya melihat “aku puitik” sebagai korban, tetapi sebagai subjek yang mengambil kembali kendali atas dirinya. Inilah estetika eksistensial yang hadir dalam puisi ini: keindahan muncul dari keberanian untuk menyatakan luka, dan untuk bangkit melampaui luka itu.
Yang menarik dari puisi Nada adalah bagaimana ia tidak menyederhanakan rasa sakit menjadi semata-mata kesedihan. Ia hadirkan luka sebagai pengalaman yang utuh: kompleks, menyakitkan, tapi juga membentuk. Estetika dalam puisi ini bukan hanya soal keindahan bentuk, tapi soal kejujuran isi. Ia tidak menjilat luka agar terasa indah, tapi membiarkan luka itu terbuka agar bisa dipahami, diterima, dan akhirnya dilampaui.
“Duri di Balik Janji” adalah contoh bagaimana puisi bisa menjadi ruang penyembuhan. Ia tidak berteriak, tapi berbisik. Dan dalam bisikannya, kita mendengar suara yang sangat manusiawi: bahwa rasa sakit bisa diubah menjadi kekuatan, dan bahwa estetika bisa lahir dari kehancuran yang dijalani dengan kesadaran. Dalam konteks ini, puisi ini sangat relevan untuk diangkat dalam media seperti Mitra Wacana, karena menyuarakan pengalaman yang banyak dialami perempuan dan mereka yang pernah merasa dihancurkan oleh janji—namun memilih untuk tetap berdiri.
Opini
Peran Sastra Populer dalam Meningkatkan Literasi di Kalangan Remaja
Published
1 week agoon
7 November 2025By
Mitra Wacana

Penulis : Fatin Fashahah, Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas
Sastra populer sering dipandang rendah, dianggap hanya untuk hiburan, dangkal, atau terlalu komersial. Sikap seperti ini muncul dari pendapat bahwa karya populer tak setara dengan karya-karya yang biasanya dipelajari di bangku perkuliahan. Padahal, bagi banyak remaja, sastra populer justru menjadi pintu pertama untuk mulai suka membaca. Mengabaikan atau mengecilkan peran sastra populer berarti menutup kesempatan bagi generasi muda untuk jatuh cinta pada dunia tulisan.
UNESCO menyebut Indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya diangka 0,001% atau dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) dalam laman resminya juga pernah merilis hasil Riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Fakta ini menunjukkan bahwa masih rendahnya minat membaca rekreasi di banyak kelompok usia.
Namun, ketika pembaca terutama remaja diberi kebebasan memilih bacaan yang sesuai selera dan pengalaman mereka, minat membaca bisa saja meningkat. Dengan kata lain, relevansi isi buku terhadap kehidupan pembaca muda sangat menentukan apakah mereka akan terus membaca atau tidak. Sastra populer seperti buku young adult, novel roman remaja, dan cerita fantasi ringan sering kali menawarkan tema dan tokoh yang mudah dipahami remaja karena ceritanya seringkali dihubungkan dengan kehidupan remaja, sehingga mereka lebih tertarik untuk membaca.
Selain itu, sastra populer lebih mudah diakses lewat platform digital, cerita-cerita di aplikasi dan situs bacaan daring seperti Ipusnas, google play book, wattpad, karyakarsa dll. membuat remaja menemukan teks yang mereka suka kapan saja dengan mudah. Bentuk online juga mendorong interaksi pembaca bisa memberi komentar, berdiskusi, atau bahkan menulis kembali cerita mereka sendiri. Pengalaman berinteraksi seperti ini memberi dorongan kuat untuk terus membaca dan menulis. Beberapa karya yang awalnya populer di dunia maya kemudian diterbitkan secara cetak atau diadaptasi menjadi film dan serial menunjukkan bahwa bacaan populer punya peran penting dalam membangun ekosistem budaya yang lebih luas.
Penolakan terhadap sastra populer sering kali datang dari dua alasan utama. Pertama, alasan estetika, anggapan bahwa karya populer kurang bermutu secara sastra. Kedua, alasan moral atau konten bahwa beberapa cerita mengandung nilai yang dipertanyakan. Kritik seperti ini tidak salah jika tujuannya untuk memperbaiki kualitas karya. Namun, cara menanggapinya yang kurang tepat bisa membuat minat membaca remaja menjadi surut, seharusnya kita bukan melarang atau merendahkan bacaan tersebut. Akan lebih baik jika pembaca pemula diajarkan bagaimana cara membaca yang kritis. Dengan membimbing remaja membaca secara kritis, kita membantu mereka mengenali kekuatan dan kelemahan sebuah teks, sehingga pengalaman membaca menjadi lebih bermakna.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan minat membaca remaja diantaranya. Pertama, perpustakaan sekolah dan umum perlu menata koleksi yang seimbang baik karya klasik dan akademik berdampingan dengan bacaan populer. Pendekatan ini mengakui bahwa pembaca punya selera berbeda, dan memberi ruang bagi remaja yang sedang mencari gaya baca dan minat mereka. Kedua, guru dan pustakawan harus dilatih untuk memfasilitasi diskusi yang mengaitkan tema populer dengan konsep sastra dasar. Misalnya, dari sebuah novel populer, kita bisa mengajak pembaca membahas tokoh, alur, sudut pandang, atau pesan yang tersirat yanga terdapat di dalam novel tersebut. Langkah sederhana ini bisa mengubah bacaan ringan menjadi bahan belajar yang efektif.
Ketiga, adanya kegiatan klub baca dan lomba menulis berbasis minat yang bisa menghubungkan pembaca muda dengan mentor dan teman sebaya. Suasana komunitas yang saling mendukung membuat kegiatan membaca terasa lebih menyenangkan. Selain itu, adanya lomba menulis membuat remaja merasa diberi ruang kreatif untuk mengekspresikan dirinya. Keempat, harus ada kerja sama antara sekolah dengan platform digital. Hal ini penting untuk menyediakan akses yang aman dan terkurasi. Akses digital tanpa bimbingan bisa berisiko negatif dengan memperkenalkan konten yang kurang sesuai untuk pembaca dibawah umur. Oleh karena itu, peran pendidik dan orang tua tetap penting dalam menumbuhkan minat membaca terutama pembaca anak-anak dan remaja.
Secara budaya, sikap berhati-hati atau keraguan terhadap sastra populer sering kali membuat masyarakat melewatkan cerita-cerita yang sebenarnya dekat dengan kehidupan banyak orang, khususnya para remaja dari berbagai latar belakang. Karya populer dapat menjadi ruang untuk bereksperimen dengan bahasa, identitas, dan pengalaman sehari-hari. Ketika karya semacam ini dibahas di sekolah atau komunitas, karya tersebut berpotensi memperkaya imajinasi serta cara pandang masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. Dengan demikian, sastra populer tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga menjadi bagian dari wacana budaya yang turut membentuk cara berpikir dan berinteraksi dalam kehidupan sosial.
Kesimpulannya, alih-alih memandang sastra populer secara sebelah mata, akan lebih bermanfaat jika masyarakat mencoba melihat potensinya dalam meningkatkan minat baca dan memperkuat budaya literasi. Pendekatan yang inklusif dapat dimanfaatkan untuk menjadikan daya tarik sastra populer sebagai pintu masuk bagi pembaca pemula. Tentu saja, hal ini tetap perlu disertai dengan bimbingan dan adanya pengenalan terhadap keterampilan membaca kritis serta jenis bacaan yang lebih beragam. Dengan begitu, kebiasaan membaca tidak hanya meningkat, tetapi juga dapat mendorong perkembangan kemampuan berpikir dan berbahasa generasi muda.










