Opini
Estetika Luka dan Perlawanan dalam Puisi “Duri di Balik Janji” Karya Nada Aura Syakilla
Published
5 months agoon
By
Mitra Wacana
oleh : Ferdi Ardian Saputra
Duri di Balik Janji
Oleh: Nada Aura Syakilla
Kata manis yang kau ucap di hati
Seperti angin lembut di musim pagi
Namun kini terasa getir dan hampa
Karena di balik janji kau sisipkan dusta.
Kau menjauh tanpa kata
Meninggalkan jejak luka yang sangat mendalam
Di mana tawa yang dulu kita cipta?
Kini hanya bayang-bayang kelam.
Kau sembunyikan pisau di balik senyum
Menusuk perlahan tanpa peringatan
Kepercayaan yang dulu utuh dan teguh
Kini berserak hancur tak beraturan
Namun, dari pengkhianatan ini
Aku belajar untuk bangkit kembali
Meski luka menyisa dalam hati
Kau takkan lagi menghancurkan diri ini
Puisi adalah medium yang tak hanya menyuarakan isi hati, tetapi juga membingkai emosi dalam lapisan estetika yang penuh makna. Dalam puisi “Duri di Balik Janji” karya Nada Aura Syakilla, pengalaman emosional yang getir dikemas dalam bentuk yang halus, menciptakan resonansi mendalam bagi pembaca. Nada membawa kita pada perjalanan batin yang menyakitkan, namun justru melalui luka itu, keindahan dan keteguhan ditampilkan secara subtil dan menggugah.
Puisi ini dibuka dengan metafora yang terasa manis dan lembut—“kata manis yang kau ucap di hati / seperti angin lembut di musim pagi.” Namun kelembutan ini segera dibenturkan dengan kenyataan bahwa di balik janji itu ternyata tersembunyi dusta. Keindahan awal hanya menjadi gerbang menuju ironi yang lebih dalam. Estetika puisi ini bekerja melalui kontras: antara harapan dan pengkhianatan, antara senyum dan luka. Dalam ruang estetikanya, puisi ini seolah mengajak pembaca untuk turut merasakan perih yang perlahan namun nyata.
Nada tidak bermain dengan diksi rumit. Ia menyusun larik-larik yang lugas, namun efek emosionalnya justru lebih kuat karena kesederhanaannya. Baris “kau sembunyikan pisau di balik senyum” adalah contoh bagaimana simbol digunakan untuk menyampaikan penderitaan secara tidak langsung namun menghujam. Pisau di balik senyum bukan hanya pengkhianatan, tapi juga metafora dari dunia yang terlihat aman di permukaan namun menyimpan luka dalam diam. Estetika simbolik ini memperlihatkan bagaimana tubuh dan rasa bekerja dalam puisi, dan bagaimana keduanya tidak selalu diungkap secara eksplisit.
Melalui struktur yang mengalir, puisi ini membentuk semacam gerak batin: dari harapan, luka, hingga pemulihan. Bukan pemulihan yang gegap gempita, tapi pemulihan yang sunyi dan terukur. Bait terakhir—“aku belajar untuk bangkit kembali”—menjadi klimaks emosional sekaligus etis. Di titik ini, pembaca tidak hanya melihat “aku puitik” sebagai korban, tetapi sebagai subjek yang mengambil kembali kendali atas dirinya. Inilah estetika eksistensial yang hadir dalam puisi ini: keindahan muncul dari keberanian untuk menyatakan luka, dan untuk bangkit melampaui luka itu.
Yang menarik dari puisi Nada adalah bagaimana ia tidak menyederhanakan rasa sakit menjadi semata-mata kesedihan. Ia hadirkan luka sebagai pengalaman yang utuh: kompleks, menyakitkan, tapi juga membentuk. Estetika dalam puisi ini bukan hanya soal keindahan bentuk, tapi soal kejujuran isi. Ia tidak menjilat luka agar terasa indah, tapi membiarkan luka itu terbuka agar bisa dipahami, diterima, dan akhirnya dilampaui.
“Duri di Balik Janji” adalah contoh bagaimana puisi bisa menjadi ruang penyembuhan. Ia tidak berteriak, tapi berbisik. Dan dalam bisikannya, kita mendengar suara yang sangat manusiawi: bahwa rasa sakit bisa diubah menjadi kekuatan, dan bahwa estetika bisa lahir dari kehancuran yang dijalani dengan kesadaran. Dalam konteks ini, puisi ini sangat relevan untuk diangkat dalam media seperti Mitra Wacana, karena menyuarakan pengalaman yang banyak dialami perempuan dan mereka yang pernah merasa dihancurkan oleh janji—namun memilih untuk tetap berdiri.
You may like
Opini
Nasib Manuskrip Pasca Banjir: Upaya Penyelamatan dan Restorasi Budaya
Published
1 week agoon
8 December 2025By
Mitra Wacana

Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas2
Ungkapan “Sakali aia gadang, sakali tapian barubah.” bukan hanya sekedar pepatah Minangkabau, melainkan juga memori ekologis masyarakat terhadap alam. Banjir bukan hanya sekedar peristiwa alam, melainkan bagian dari sejarah yang terus berulang dan meninggalkan bekas pada masyarakat. Namun, perubahan yang ditinggalkannya bukan hanya pada bentang alam dan kehidupan sosial, tetapi juga pada jejak intelektual masa lalu masyarakat, salah satunya terekam dalam manuskrip.
Manuskrip merupakan tulisan yang ditulis menggunakan tangan pada lembaran-lembaran kertas, yang didalamnya berisi pemikiran orang-orang pada masa lampau. Sejalan dengan Baried (1985:54) manuskrip adalah medium teks berbentuk konkret dan nyata. Di dalam Manuskrip ditemukan tulisan-tulisan yang merupakan sebuah simbol bahasa untuk menyampaikan sesuatu hal tertentu. Manuskrip dapat dikatakan sebagai salah satu warisan nenek moyang pada masa lampau, berbentuk tulisan tangan yang mengandung berbagai pemikiran dan perasaan tercatat sebagai perwujudan budaya masa lampau. Sehingga akan sayang sekali jika pemikiran nenek moyang kita hilang akibat penanganan yang kurang tepat.
Manuskrip-manuskrip yang tersimpan di surau, rumah gadang, perpustakaan nagari, maupun kediaman para ninik mamak sering kali menjadi korban dari bencana alam, salah satunya banjir. Karena setelah banjir tersebut mulai surut, nasib manuskrip itu dipertaruhkan. Ketika banjir menyapu perkampungan, kertas-kertas manuskrip itu basah oleh air, menyebabkan tulisan pada teks-nya bisa saja pudar. Pada titik inilah penanganan awal menjadi penentu apakah sebuah naskah masih mungkin diselamatkan atau justru rusak.
Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui cara penanganan darurat manuskrip basah. Di beberapa tempat, manuskrip yang terendam justru dijemur langsung di bawah terik matahari yang bisa menyebabkan lembarannya menempel. Ada pula yang mengeringkannya di dekat api untuk mempercepat proses pengeringan, padahal suhu panas justru membuat tinta luntur dan kertas mengerut. Bahkan dalam situasi panik, sebagian manuskrip dibersihkan dengan kain kasar atau disikat karena dianggap kotor, yang pada akhirnya merobek halaman-halaman yang sebenarnya masih mungkin diselamatkan. Kecerobohan kecil seperti itu sering kali menjadi perbedaan antara manuskrip yang dapat bertahan dan punah.
Untuk itu, perlunya peran dan dukungan pemerintah dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya penanganan dan perawatan manuskrip yang benar, karena manuskrip seringkali berada di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, detik-detik pertama setelah air surut sepenuhnya bergantung pada pengetahuan masyarakat setempat. Pemerintah dapat melibatkan masyarakat baik individu maupun lembaga dalam merawat dan melestarikan manuskrip.
Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan edukasi tentang perawatan manuskrip yang baik dan benar sehingga manuskrip yang ada seringkali rusak sebelum sempat di digitalisasi. Padahal langkah-langkah sederhana seperti memisahkan halaman yang menempel, mengeringkan naskah di tempat teduh dan berangin, atau menyerap air dengan tisu tanpa tekanan berlebihan, bisa menjadi penyelamat sebelum tim konservator datang. Edukasi inilah yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah daerah, perpustakaan, dan lembaga kebudayaan.
Bencana banjir sudah berulang kali terjadi, bahkan dari dahulu kala. Hal tersebut seharusnya menjadi pengingat bahwa pengetahuan mengenai perawatan naskah manuskrip sangat penting, tidak hanya bagi satu pihak saja tetapi diperlukan kerjasama dari berbagai pihak. Kerja sama antara pemerintah, akademisi, komunitas budaya, dan masyarakat adalah kunci dalam menjaga keberlangsungan manuskrip. Pemerintah dapat mengambil peran sebagai penyedia edukasi, tentang bagaimana penanganan darurat terhadap manuskrip, serta menyediakan peralatan yang menunjang penyelamatan manuskrip. Sementara masyarakat, sebagai pihak terdekat dengan naskah, menjadi penentu apakah pengetahuan teoretis itu dapat dijalankan dengan benar di lapangan.
Jika manuskrip adalah kunci yang menyimpan ingatan suatu peradaban, maka penyelamatannya adalah urusan berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga, masyarakat adat, dll. Banjir boleh mengubah bentuk geografis daerah, tetapi bukan berarti ia bisa menghapus jejak pemikiran para leluhur yang sudah diwariskan begitu lama. Karena pada akhirnya, yang membuat suatu masyarakat bertahan bukan hanya rumah dan infrastruktur yang diperbaiki, ataupun peradaban yang dibangun ulang, tetapi juga tentang cerita, gagasan, ilmu dan identitas yang mereka wariskan melalui lembaran-lembaran kertas tua.

Mitra Wacana Hadiri Rapat Koordinasi Organisasi Kemasyarakatan Kabupaten Bantul

Mitra Wacana Ikuti Orasi Budaya Hari HAM FISB UII







