web analytics
Connect with us

Opini

Kekerasan Berbasis Gender di Australia: Penyebab dan Jawaban

Published

on

Oleh India Lewis

Salah satu isu gender yang terkini menjadi buah bibir orang Australia adalah kekerasan terhadap perempuan. Dalam artikel ini, saya ingin membahas bagaimana ini menjadi topik yang sering dibahas di Australia, dan bagaimana ini seharusnya diatasi.

Wacana ini dipicu oleh serangan yang terjadi pada tanggal 13 April di sebuah mall di Sydney, di mana 6 orang dibunuh. Dari mereka, 5 adalah perempuan. Menurut tanggapan masyarakat di Australia, sangat jelas bahwa ini dimotivasi oleh kebencian perempuan. Walaupun orang yang menyerang sudah dibunuh oleh polisi, bapaknya sudah mengaku bahwa anaknya merasa frustrasi terhadap perempuan karena dia sangat ingin mencari pacar. Namun, polisi sangat rentan menganggap ini sebagai kejadian terorisme yang dimotivasi oleh kebencian perempuan. Ini semakin memarahkan kalau dibandingkan dengan serangan lain yang terjadi hanya beberapa hari setelahnya. Dalam serangan ini, seorang pendeta dan beberapa orang lain diserang di sebuah gereja. Ini segera dianggap terorisme oleh polisi, karena ini dimotivasi agama. Jadi pertanyaannya adalah; mengapa serangan terhadap perempuan tidak dianggap terorisme, tetapi serangan terhadap orang beragama dianggap terorisme?

Protes melawan kekerasan berbasis gender di Melbourne.
Sumber: McMillan, Ashleigh. “Thousands March in Melbourne Rally against Gendered Violence ‘National Disgrace.’” The Age, 28 April 2024. https://www.theage.com.au/national/victoria/thousands-march-in-rally-against-gendered-violence-in-melbourne-20240428-p5fn39.html.

Sebagai jawaban, ada protes di setiap kota besar di Australia, untuk meningkat kesadaran dan kepedulian atas masalah kekerasan terhadap perempuan, memperingati perempuan yang sudah meninggal, dan menuntut bahwa pemerintah bertindak untuk mengatasi masalah ini. Tahun ini, rata-rata satu perempuan dibunuh setiap empat hari. Statistik ini telah melonjak dari tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya. Dari awal tahun 2024 sampai tanggal 23 April, 25 perempuan sudah dibunuh akibat kekerasan berbasis gender. Dalam kurun waktu yang sama tahun lalu, 14 perempuan dibunuh. Jelas ada peningkatan drastis, dan isu ini menjadi semakin parah. Sekarang, orang Australia bertanya; mengapa ini sudah meningkat drastis? Dengan jumlah korban ini, ini  harus dianggap darurat.

Sampai sekarang, pemegang kepentingan di Australia seperti pemerintah dan polisi sangat rentan mengaku parahnya isu kekerasan terhadap perempuan. Masyarakat Australia menjadi semakin sadar dan menuntut bahwa isu ini dianggap sebagai darurat. Sebagai jawaban kepada wacana ini, Perdana Menteri Australia Anothony Albanese mengadakan pertemuan darurat dengan National Cabinet (yaitu kelompok pemimpin di Australia) pada tanggal 1 Mei. Mereka mengambil keputusan untuk menginvestasikan $925 juta untuk membantu perempuan yang melarikan diri dari kekerasan. Namun, untuk mengatasi masalah ini dalam jangka waktu panjang, kita harus berfokus pada penyebab kekerasan, bukan hanya menjawab kepada akibatnya. Penelitian telah menunjukkan bahwa kekerasan berbasis gender terjadi sebagai akibat dari pandangan laki-laki terhadap perempuan. Inilah pandangan yang menganggap perempuan sebagai objek, dengan posisi yang lebih rendah daripada laki-laki. Pandangan ini diajar oleh norma-norma maskulinitas, di mana laki-laki diajar untuk tidak bertindak secara feminin seperti perempuan. Dengan ini, femininitas dikaitkan dengan kerendahan atau keburukan, dan laki-laki diajar untuk membenci perempuan, bahkan kalau mereka tidak sadar akan kebencian ini. Karena ini, jawaban pemerintah seharusnya berfokus pada pendidikan dari masa kecil yang menekankan kesetaraan gender, supaya laki-laki tidak lagi dibesarkan sebagai orang yang membenci perempuan.

Walaupun topik ini sekarang sering dibicarakan di Australia, ini pasti menjadi isu di negara mana pun di mana ada norma-norma perbedaan gender. Dengan saling belajar dan mengajar, kita sebagai warga dunia harus mencari solusi terhadap kebencian perempuan melalui pendidikan kesetaraan gender yang cocok dalam budaya negara masing-masing.

Daftar Sumber :

ABC News. “Samantha Murphy Was 13th, Hannah McGuire the 18th: The Violent Deaths of Women This Year Is a ‘Crisis.’” 23 April 2024.

https://www.abc.net.au/news/2024-04-24/eleven-more-women-have-died-violently-compared-to-last-year/103759450.

Beazley, Jordyn, dan Karen Middleton. “‘Enough’: Thousands to Join Protests across Australia Opposing Violence against Women.” The Guardian, 26 April 2024, bag. Society.

https://www.theguardian.com/society/2024/apr/26/australia-violence-against-women-rallies-what-were-you-wearing-sydney-adelaide-newcastle-ballarat.

Chrysanthos, Natassia. “$925m Escape Money Pledge Just ‘One Piece of the Puzzle.’” The Age, 1 Mei 2024. https://www.theage.com.au/politics/federal/albanese-promises-1b-leaving-violence-payment-program-and-online-safety-measures-20240501-p5fnyg.html.

Jordan, Jan. “Surveying the womanscape: Objectification, self-objectification and intimate partner violence.” Dalam Intimate Partner Violence, Risk and Security. Routledge, 2018.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

Dasar-Dasar Ilmu Hukum (2) : Urgensi, Pengertian dan Kaidah Hukum

Published

on

Adam Tri Saputra
Kader Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Haluoleo Kendari.

Dewasa ini, diera kompleksitas kehidupan umat manusia, keberadaan hukum ditengah-tengah masyarakat tentu sangat dibutuhkan. Selain sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan, kebahagiaan, dan kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, hukum juga bisa menjadi instrumen dalam mewujudkan masyarakat yang maju dan sejahtera _(tool of social engineering)_ dalam berbagai aspek, termasuk dalam aspek sosial, ekonomi, dan politik.

 

Secara filosofis historis, keberadaan hukum ditengah-tengah masyarakat memang tidak dapat berdiri sendiri. Artinya, hukum memiliki relasi yang erat dengan kehidupan masyarakat itu sendiri. Berkaitan dengan ini, kita mengenal adagium yang berbunyi Ubi Societas Ibi Ius (dimana ada masyarakat disitu ada hukum). Dalam kenyataannya, hukum senantiasa mengikuti perkembangan pola perilaku yang ada dalam masyarakat, begitupun sebaliknya. Menurut Drs. Sudarsono, S.H., Keterhubungan antara hukum dan masyarakat bertalian erat dengan adanya beberapa kebutuhan dasar manusia yang harus dilindungi oleh hukum. Diantaranya adalah kebutuhan fisiologis (makan-minum), kebutuhan keamanan, kerja sama, kehormatan diri, dan kebutuhan eksistensial. (Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, 1991 : hal. 46).

 

Lebih lanjut, Sudikno Mertokusumo dalam bukunya berjudul Mengenal Hukum Suatu Pengantar mengetengahkan bahwa sejatinya manusia adalah makhluk yang sepanjang hidupnya dibarengi oleh berbagai macam kepentingan. Dan konsekuensi logis sebagai penyandang kepentingan, manusia menginginkan agar kepentingan-kepentingannya terlindungi dari bahaya yang mengancamnya. Oleh karena itu dibutuhkan adanya hukum atau pedoman hidup yang bisa mengatur secara proporsional kehidupan masyarakat, hal ini dilakukan untuk menghindari adanya tingkah laku seorang manusia yang secara potensial maupun aktual merugikan manusia lain. (Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, 2010 : 6).

 

Berdasarkan urgensi yang telah diuraikan diatas, kita bisa menarik suatu konklusi dengan mengartikan hukum sebagai sekumpulan pedoman hidup yang mengatur tata tertib suatu masyarakat secara seimbang dengan tujuan melindungi kepentingan masyarakat yang ada. Berkaitan dengan hal ini, Sudikno menjelaskan bahwa hukum adalah keseluruhan kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dengan suatu sanksi bagi yang melanggarnya. Lebih lanjut, hukum menurut Jeffrey Brand adalah aturan yang disepakati secara bersama untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya. (Jeffrey Brand, Philosphy Of Law, 1976 : hal. 58).

 

Menurut Drs. C. Utrecht, S.H., Hukum adalah himpunan peraturan yang berisi perintah-perintah dan larangan-larangan yang mengurus tata tertib suatu masyarakat yang harus ditaati oleh masyarakat tersebut. Pengertian ini hampir sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Rosceo Pound yang mengartikan hukum sebagai keseluruhan norma-norma yang mengikat hubungan kepentingan antar manusia dalam masyarakat. Dalam kenyataannya memang, ada banyak sekali definisi hukum dari para ahli yang mewarnai perkembangan ilmu hukum, namun para ahli tersebut juga memberikan definisi yang berbeda-beda. Sehingga tidak ada satu definisi yang bisa diafirmasi secara mutlak sebagai definisi tunggal tentang hukum.

 

Sebagaimana yang telah di uraikan sebelumnya, bahwa untuk mewujudkan kondisi masyarakat yang tertib dan berkeadilan, dibutuhkan suatu pedoman hidup atau kaidah sosial yang disepakati secara bersama-sama sebagai patokan dalam bertingkah laku. Pada hakikatnya, kaidah sosial merupakan perumusan suatu pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seharusnya dilakukan dan sikap yang tidak seharusnya dilakukan dalam masyarakat. (Soedjono Dirjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, 1987 : hal. 9). Dalam kehidupan masyarakat, paling tidak ditemukan empat kaidah sosial, masing-masing adalah kaidah agama, kaidah kesusilaan, kaidah kesopanan, dan kaidah hukum. Bila kaidah agama dan kaidah kesusilaan bersifat otonom (berasal dari dalam diri manusia), maka kaidah kesopanan dan kaidah hukum bersifat heteronom (berasal dari luar diri manusia).

 

Secara sederhana, ada dua alasan mengapa kaidah hukum masih dibutuhkan padahal sudah ada tiga kaidah sosial sebelumnya. Alasan pertama, sanksi kaidah sosial lainnya (kaidah agama, kaidah kesusilaan, dan kaidah kesopanan) dianggap kurang tegas dan kurang dirasakan secara langsung. Dimana disisi lain sanksi adalah elemen esensial dalam upaya menegakkan hukum. Atas dasar kelemahan ketiga kaidah sosial tersebut, sehingga kaidah hukum diperlukan agar kepatuhan masyarakat terhadap hukum dapat terimplementasi secara optimal. Sebagaimana adagium obedientia est legis essential (kepatuhan merupakan inti dari hukum). Alasan yang kedua adalah kaidah hukum dibutuhkan secara normatif untuk melindungi kepentingan pribadi dan masyarakat secara proporsional. (Dasar-Dasar Ilmu Hukum, 2021 : hal. 12).

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending